Naruto fanfiction
Karizz-taka (Karizzta) Present
You Know Me
Disclaimer: Naruto ©Masashi Kishimoto
Warning: OOC, typo(s), alur speed, dll
Don’t like, don’t read.
.
.
.
Enjoy It^^
.
.
Langit gelap tanpa cahaya
kecil gemerlap yang biasa menghiasi langit. Hawa dingin mulai menerpa setiap
orang yang keluar dari rumah mereka. Salju pertengahan bulan
Desember nampaknya tak lagi malu-malu hadir di antara penduduk desa. Saat malam
seperti ini, orang-orang lebih memilih duduk di dekat perapian di rumah mereka
sambil meminum sesuatu yang hangat dan mengobrol menghilangkan penat setelah
lelah bekerja sepanjang hari.
Di sebuah taman di tengah
desa nampak seorang gadis berambut panjang sedang duduk di kursi panjang yang
tersedia. Ia terlihat sedang menggosokkan kedua tangannya yang dirasanya mulai mendingin. Uap udara mulai keluar dari
hidungnya ketika ia menghembuskan nafas lelah. Malam ini dingin karena salju
mulai menjatuhkan diri. Hinata berkali-kali menengok ke arah sekitarnya. Dirinya
sekarang sedang duduk di kursi panjang yang berada di taman desa. Ia sedang
duduk sendirian menunggu seseorang di taman ini. Tapi seseorang yang ia tunggu
tak kunjung datang.
Hinata mengernyitkan dahi.
Mencoba berpikir mengenai sebuah alasan yang membuat pemudanya datang terlambat.
Hinata menepuk kedua pipinya pelan ketika ia merasa darahnya seakan mengalir
deras ke pipinya membuat pipinya menghangat ketika menyebut pemuda pirang itu
dengan kata pemudanya. Rasanya aneh, mendebarkan sekaligus menggelikan. Hinata
tidak pernah terbiasa tetapi Hinata menyukai sebutan itu.
Terkadang, Hinata merasa
dirinya mungkin masih dalam pengaruh genjutsu,
karena pemuda itu mengatakan menyukainya. Menyukai dirinya yang bukanlah
siapa-siapa. Seperti mimpi indah, ketika kau menyukai seseorang dan
terbalaskan.
Hinata memandang sebuah
kotak yang ia taruh di pangkuannya saat ini. Sebuah kotak yang ingin ia berikan
pada pemuda itu, sebuah hadiah kecil yang ia buat untuk hari istimewa ini.
Gadis itu berpikir lagi mengenai pemuda itu. Mungkinkah pemuda itu lupa?
Mungkinkah ia tidak ingat akan janjinya? Hinata menggeleng pelan. Itu tidak
mungkinkan, pikirnya. Ia tahu bagaimana pemuda itu dan mungkin lebih dari
sekedar mengenal karakternya.
Hinata mencoba mengingat
ketika ia membuat janji. Pikirannya berkelana pada pagi hari kemarin.
Hinata berdiri di depan
pintu apartemen Naruto. Tidak benar-benar di depan pintu kamarnya karena kamar
Naruto berada di lantai dua sedang Hinata berada di bawah. Hinata meremas kedua
jarinya, kebiasaan yang tanpa ia sadari muncul ketika dirinya mulai dilanda
gugup.
“Naik, tidak, naik,
tidak,”gumamnya lirih. Hinata menggeleng pelan. Tentu saja dirinya harus ke
lantai atas untuk menemui pemuda itu, setidaknya ia punya alasan untuk itu
bukan. walaupun dirinya ragu, Hinata meyakinkan dirinya. Ini bukan pertama
kalinya ia datang kemari, tapi ini pertama kalinya ia datang ke tempat ini
sendirian, apalagi sepagi ini.
Setelah berada di depan
pintu kamar pemuda pirang itu, Hinata mengetuk pintu dengan ragu-ragu. Hinata
harus mengetuk cukup lama sampai akhirnya pintu itu terbuka. Terbuka dengan
diawali sebuah wajah yang menguap lebar.
Hinata harus menahan kekehan
gelinya ketika melihat Naruto masih berpakaian tidur lengkap dengan atributnya.
Benar-benar polos seperti anak kecil. Hinata ingin mencubit pipinya andai saja
tidak ada bekas air lengket yang juga ikut menempel, sayang Hinata tidak
membawa sapu tangan.
Pemuda itu mengerjapkan
mata, kemudian memicingkan mata. Walau samar-samar tapi ia melihat Hinata sedang berada di depannya.
“Hinata,” sapa Naruto pelan.
Hinata mengangguk. Melihat
Naruto yang terdiam, Hinata kemudian melanjutkan,” Na-naruto-kun.”
Naruto terlihat masih
mengantuk, terbukti dari matanya yang mulai terpejam. Hinata ingin mendengus
geli untuk ini. Ternyata melihat Naruto bangun di pagi hari adalah hiburan
tersendiri untuknya.
“Apa Naruto-kun ada waktu
besok malam? “ Tanya Hinata.
Naruto terlihat mengangguk.
“Besok malam, tolong pergi
ke taman yang biasa, ne Naruto-kun. Aku akan menunggumu disana.” Hinata berujar
kemudian berlalu pergi setelah melihat Naruto mengangguk lagi.
Hinata menghembuskan nafas
lelah ketika mengingat pertemuannya saat membuat janji dengan Naruto kemarin
pagi. Seharusnya dirinya tahu kalau Naruto tak benar-benar mengingat
perkataannya. Tapi ia sudah terlanjur menunggu Naruto disini cukup lama, cukup
lama untuk membuat bibirnya membeku. Hinata baru saja akan pergi ke apartemen
Naruto untuk melihat pemuda itu ketika seseorang pemuda berambut raven yang
tertutup kain yang mengelilingi kepalanya, duduk di sebelahnya sehingga
menghentikan Hinata untuk bangkit berdiri.
“Ini untukmu.” Kata Sasuke
setelah melepas sesuatu yang melilit di lehernya.
.
.
“Sasuke,”ujar Naruto ketika
melihat seorang pemuda berambut raven duduk di sebelah seorang gadis berambut
panjang.
Naruto mengepalkan tangannya
ketika ia tidak dapat menahan dirinya saat ia melihat Sasuke memasangkan
sesuatu yang tidak ia ketahui, karena jarak dirinya berdiri cukup jauh dari
Hinata dan Sasuke.
Naruto memutuskan mendekat,
kemudian sebelum ia sempat berkata,
Hinata memanggilnya, “Na-naruto-kun.” Tapi pandangan Naruto beralih pada apa
yang dipasangkan oleh Sasuke tadi. Sebuah syal ternyata, pikir Naruto.
Entah apa yang merasukinya,
Naruto melepas kasar syal itu kemudian melemparkan kembali pada Sasuke. Entah
kenapa, ia benar-benar tidak suka dengan hal itu. Ia tidak tahu pasti, yang jelas Naruto
hanya tidak suka saja.
“Setelah Sakura, kau juga
ingin merebut Hinata dariku, begitu Sasuke?” Tanya Naruto sambil memandang
tajam tepat ke bola mata hitam milik Sasuke.
Sasuke yang namanya disebut
memilih menjauh pergi tanpa menghiraukan teriakan Naruto.
.
.
Hinata mendongakkan wajahnya
ketika melihat Naruto datang. Ia merasa senang ketika melihat Naruto yang datang
setelah ia menunggu sekian lama. Hinata berpikir, penantiannya tak lagi
sia-sia. Namun tiba-tiba dirinya terkejut ketika melihat apa yang dilakukan
Naruto. Dan lebih terkejut lagi ketika mendengar perkataan pemuda pirang itu.
Hinata merasa jantungnya mulai berdetak melambat dan seolah ingin berhenti.
Bagian dari dadanya terasa sakit seolah diremas sesuatu tak kasat mata.
Hampir-hampir kotak di tangannya terjatuh ketika ia bangkit berdiri.
Hinata berdiri sambil
memandang miris ke arah Naruto. Jadi, begini akhir penantiannya. Pemuda yang
ditunggunya itu pada akhirnya menyebut nama gadis lain tepat dihadapannya. Tentu
saja Hinata tak berhak untuk melarang, entah mengapa Hinata menjadi sadar kalau
dari dulu hingga sekarang nama gadis itu selalu melekat pada pemuda itu, seolah
menjadi bagian hidup dan sulit terhapuskan.
Rasa sakit di bagian dalam
organ tubuhnya membuat mata Hinata memanas. Ia memandang sendu ke arah Naruto,
kemudian mendekat pada pemuda itu membuat perhatian Naruto benar-benar terpusat
padanya. Hinata tak dapat mengetahui arti dari tatapan Naruto dan tak ingin
mencari tahu saat ini. Hinata maju
mendekat untuk memberikan sebuah kotak yang digenggamnya erat dengan sebelah
tangan kanannya agar tidak terlepas saat ia terkejut tadi.
Hinata memberikan kotak itu
dengan penekanan pada perut Naruto. Ia tak peduli apakah cara ia memberikannya
tadi kasar atau tidak, yang dirinya tahu, Hinata ingin segera pulang ke rumah
dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Saat ini hatinya sedang panas namun
beku secara bersamaan. Hinata berlari pergi tanpa melihat bagaimana raut wajah
pemuda itu.
Hinata hanya ingin memberi cinta yang tulus sepenuh hati. Dan ia sadar kalau sebuah
cinta yang tulus adalah memberi, memberi, dan memberi tanpa mengharap menerima.
Namun ternyata tak semudah itu, tak sesederhana itu untuk melakukannya.
.
.
Mata Naruto membulat seolah
tersadar sesuatu ketika Hinata menyodorkan sebuah kotak hingga menekan
perutnya. Ia melihat gadis itu telah pergi sambil berlari. Naruto kemudian
membuka kotak itu. Dilihatnya sebuah bingkai foto kaca terpampang manis dengan
sebuah surat di dalam kotak tersebut. Ia kemudian mengerjap pelan, ia tahu apa
maksud gadis itu memberi ini.
Naruto teringat saat dirinya dan Hinata
berjalan-jalan berdua. Saat itu mereka hanya berkeliling desa tanpa tujuan
pasti dan tanpa sengaja melihat banyak pernak-pernik hiasan di pasar. Saat itu,
Hinata bertanya padanya apa yang disukainya. Saat Naruto menjawab Ramen, Hinata
mendengus kesal dan Naruto tertawa geli melihat wajah Hinata. Naruto melihat
bingkai foto dan ia menemukan ide agar
Hinata tak cemberut lagi.
Saat itu Naruto berkata,
“Aku suka bingkai foto. Bukankah bagus kalau kita mematri kenangan indah di
tempat yang indah juga?”
Naruto tersenyum lebar
ketika melihat Hinata yang mengangguk senang. Kenangan yang indah, pikir
Naruto.
“Dasar Dobe.” Lamunan Naruto
buyar ketika mendengar suara seseorang yang familiar. Ia menengok ke arah sekitar dan melihat Sasuke yang ternyata masih berada
tidak jauh darinya.
“Kau belum pergi juga?”
Sasuke mendengus kesal, “Sebenarnya aku sudah ingin pergi. Tapi ada satu hal yang ingin aku katakan.”
“Apa?” Naruto
yakin sebentar lagi bola matanya bisa keluar kalau terus-terusan berhadapan
dengan Sasuke.
“Tidak usah
menjadi Hokage kalau kau masih saja Baka mitai.”
“Apa maksudmu?”Tanya Naruto
dengan nada yang meninggi.
Naruto terlihat terpancing
emosi namun juga penasaran akan kalimat Sasuke yang sudah sering ia dengar
namun dengan alasan yang berbeda pula di setiap tempat, di setiap kali ia
mengucapkannya.
“Ingatlah perkataanmu padaku
tadi,” ujar Sasuke lalu berbalik pergi. Kali ini
Sasuke benar-benar pergi tanpa menengok ke belakang.
Naruto yang masih berada di tempatnya mengerjap, kemudian bergumam
pelan, “perkataanku tadi?”
Saat tersadar akan
perkataannya sendiri, mata Naruto melebar. Shappire Naruto sendu saat ia kemudian
memandang jalan yang tadi dilalui Hinata saat pergi. Sungguh ia menyesal,
sungguh ia tidak serius dengan perkataannya. Sungguh ia berharap Hinata tahu
kalau dirinya hanya terpancing emosi sesaat. Ia hanya tidak suka kedekatan
gadis itu dengan Sasuke.
Naruto mengangguk
menyemangati dirinya sendiri, “Yosh.” Naruto mengenal Hinata, ia tahu gadis
itu. ia berharap gadis itu akan memahaminya, pasti akan mengerti dirinya, iya
kan? Walaupun ia menyemangati dirinya, Naruto tahu pasti kalau hatinya merasa
gelisah tanpa sebab. Oh, ia tahu sebab pastinya.
.
.
.
Sedangkan di
lain tempat, Hinata berlari pulang dengan tergesa-gesa hingga ia terjatuh.
Kebiasaannya dari dulu memang susah diubah, ia sering terjatuh saat berlari.
Hinata meringis, ia merasa lututnya terasa sakit. Namun sesuatu di hatinya
terasa lebih sakit.
Setelah sampai
di rumah, tak ia hiraukan Hanabi yang ternyata masih terjaga entah untuk
melakukan hal apa. Sekarang ini Hinata hanya butuh menenangkan pikirannya. Dan
satu-satunya yang bisa ia andalkan adalah kamarnya. Iya mungkin, kamarnya dapat
membuatnya tenang. Karena ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Hinata,
sesuatu yang ia tahu sebabnya. Pikiran-pikiran aneh merasuk dalam otaknya,
membuat Hinata berpikir hal yang tidak-tidak. Hinata berpikir, apa dirinya hanya seorang pengganti? Apa benar begitu? Lalu untuk semua waktu selama ini, apakah Hinata tidak
ada dalam pikiran Naruto? Bola mata Hinata memanas. Air matanya telah meleleh membasahi pipi.
Esoknya pagi-pagi
sekali terlihat seorang pemuda berada di depan sebuah perumahan kuno. Naruto
berdiri sambil bersandar pada dinding kayu rumah. Naruto tak berani masuk, kali ini walaupun hanya untuk mengetuk pintu pun,
Naruto tak berani. Ia kemudian melangkah pergi menjauhi rumah itu. Pemuda
berambutpirang itu memutuskan untuk kembali puang ke rumah.
Namun di
tengah jalan, sesuatu menarik perhatian Naruto. Naruto
melihat sebuah benda toko. Naruto pikir, mungkin saja
hal itu dapat membuat Hinata senang dan memaafkannya. Naruto
akan bekerja keras untuk hal ini. Yosh, ucapnya dalam hati. Meskipun hal itu juga akan menguras dompet
kataknya.
.
.
.
Di kediaman
Hyuuga, nampak seseorang yang berambut panjang coklat sedang berdiri di depan
kamar dengan melipat dada. Tatapannya nampak khawatir pada orang yang berada di
dalam kamar tersebut. Hanabi melihat kakaknya dengan pandangan cemas. Sudah seminggu
lebih kakaknya Hinata, tidak mau keluar rumah. Saat ditanya kenapa, Hinata
hanya menggeleng. Ini mengkhawatirkan, pikir Hanabi. Tiba-tiba Hanabi merasa
mempunyai ide untuk masalah ini, ia sepertinya tahu siapa penyebab yang membuat
kakak tersayangnya seperti ini dan jalan keluar untuk itu.
“Nee-san besok
pagi, temani Hanabi keluar yah?”tanya Hanabi pada Hinata.
Saat Hinata
akan menggeleng, Hanabi memasang wajah memelasnya sedemikian rupa. Hingga
akhirnya Hinata hanya mengangguk pelan tanpa semangat, meskipun ada perasaan
aneh ketika melihat Hanabi yang meminta permintaan seperti itu. Saat Hinata
mengangguk, Hanabi tersenyum senang meskipun dalam hati memaki-maki nama
seorang pemuda pirang, kekasih kakaknya, yang membuatnya menampilkan ekspresi
seperti itu.
Esoknya,
Hinata pergi bersama Hanabi. Dan hal yang membuat Hinata terkejut ialah Hanabi
mengajaknya ke pasar. Sekali lagi... ke pasar. Hanabi mengajaknya membeli
bahan-bahan untuk memasak dan hal itu membuat Hinata merasa aneh. Hanabi biasanya
tak suka ikut campur urusan masak-memasak, ia biasanya menyerahkannya pada
semua pembantu rumah tangga di kediaman Hyuuga. Dan satu hal lagi yang membuat
Hinata merasa aneh, saat ditanya alasannya adalah karena Hanabi rindu masakan
Hinata.
Pagi itu,
tatapan gadis berambut biru tua itu bertemu dengan pemuda berambut pirang yang
berjalan ke arahnya dan Hinata segera membalikkan badan.
.
.
Saat Naruto
pergi ke luar rumah untuk sarapan. Naruto tak menyangka akan melihat Hinata.
Naruto melihat gadis itu dan membuat perasaan rindu yang telah ia pendam menghampirinya.
Naruto memanggilnya dan memanggilnya lagi tapi gadis itu tak kunjung berbalik.
Naruto merasa hatinya ngilu, rasanya perih tak tertahankan.
Tiba-tiba dadanya merasa sesak. Perasaan ini lagi, perasaan yang sama saat dulu
Hinata memberinya sebuah syal dan pergi bersama Toneri waktu itu. Naruto sudah
berjanji pada dirinya untuk tidak mengalami perasaan ini, tetapi nyatanya ini terjadi lagi untuk kedua kalinya.
“Hinata...”
Naruto memanggilnya lirih.
“Hinata...
Hinata...” Naruto memanggilnya lagi dengan nada suara yang lebih keras namun
gadis itu tak kunjung berbalik.
“HINATAAA...”
teriak Naruto keras. Hinata berhenti di tempat, dirinya masih memunggungi
Naruto yang berjarak kurang lebih dua meter darinya. Teriakan Naruto membuat
orang-orang yang berada di pasar mengalihkan atensinya pada mereka berdua dan
itu membuat Hinata malu.
“Hinata Berbalik
atau—“ ucapan Naruto terputus saat Hinata berbalik dan berjalan menuju ke
arahnya, kemudian dengan cepat menggenggam pergelangan tangan Naruto dan
membawanya pergi. Naruto yang terkejut hanya mengikuti kemanapun Hinata akan
membawanya pergi.
.
.
Hinata terus berjalan tanpa
memperhatikan arahnya. Hinata hanya merasa malu dengan pandangan orang-orang. Bagaimana
kalau beredar rumor yang aneh? Bagaimana kalau para fans Naruto menggunakan
kesempatan ini? Bagaimana kalau? Hinata menggelengkan kepalanya, merasa aneh
dirinya masih sempat memikirkan hal yang tidak-tidak. Hinata membawa Naruto
pergi bukan karena ia malu dengan kelakuan Naruto, yah walaupun harus ia akui dirinya
sedikit malu.
“Hinata... kita mau kemana?”
“Eh?” pertanyaan Naruto membuat langkah
kaki Hinata terhenti.
Hinata tersadar, kalau ternyata ia dan
Naruto telah berada di luar gerbang desa. Sungguh, Hinata bahkan tidak
menyadarinya sedari tadi dan yang lebih penting sudah berapa lama ia berjalan
dengan menggenggam tangan Naruto. Saat Hinata akan melepaskan tautan tangannya,
Naruto menolak. Naruto memandang Hinata dengan tatapan sendu.
Baru saja Naruto ingin meminta maaf,
kalimat yang diucapkan Hinata membuatnya tercekat.
“Aku tahu kalau Sakura-san itu cantik
dan hebat, mungkin karena itu juga Naruto-kun—“ Hinata tak dapat melanjutkan
perkataannya lagi dan kemudian memilih menunduk.
—menyukainya, lirih Hinata
dalam hati.
“Begitukah? Apa menurutmu memang begitu?”
Naruto melepas tautan tangan Hinata dan memilih memandang Hinata tajam.
Hinata tidak berani memandang Naruto,
dari auranya saja bisa ia rasakan kalau Naruto marah. Tunggu sebentar, bukankah
seharusnya Hinata yang marah disini? Waktu itu Naruto dengan kasar melepas syal
yang diberikan oleh Sasuke karena Hinata terlalu lama menunggu Naruto. Dan
setelah Naruto muncul, Naruto mengucapkan nama Sakura. Kalau saja, Naruto hanya
melihatnya bersama Sasuke, Hinata akan menjelaskan.
“Kalau begitu bisa Hinata tatap aku dan jawab pertanyaan ini.”
Perkataan dari Naruto kali ini membuat
Hinata mendongak. Sedikit ragu tapi tetap ia lakukan seperti yang diperintahkan
Naruto.
“Apa kamu tahu siapa penyebab sampai aku berubah wujud saat penyerangan Pain?”
“Apa kamu tahu penyebab mengapa aku tak bertenaga dan gagal melawan Toneri saat
itu?”
“Apa
kamu tahu penyebab yang membuatku pingsan selama 3 hari berturut-turut?”
“Juga apa kamu tahu penyebab yang membuatku hilang semangat karena seorang
perempuan untuk pertama kalinya?”
Naruto mengatakan semua pertanyaan itu dengan nada sedikit keras dan penuh
tekanan. Naruto tidak peduli jika Hinata terkejut. Naruto hanya ingin kali ini
saja mengeluarkan semua yang ada diotaknya.
“Tahu
siapa penyebabnya?”
“Itu
kamu... Hinata.” Ucap Naruto dengan lirih.
Hinata tersentak kaget. Semua yang diucapkan Naruto memang benar, meski
Hinata tidak melihat kondisi Naruto pada saat itu. Hinata merasa dirinya tidak
pernah ada di saat-saat tergenting untuk Naruto. Hinata kalah saat penyerangan
Pain. Hinata pergi dan membuat Naruto terluka saat Tonei datang. Hinata egois
dan tak hebat, karena itu terkadang Hinata merasa dirinya tak cukup pantas
untuk berada di sisi Naruto.
Melihat Hinata yang terkejut, dilihat dari bola matanya yang melebar,
Naruto tak kunjung menyerah dan melanjutkan perkataannya.
“Lalu
kenapa Hinata tidak menyukai Sasuke yang jelas-jelas lebih tampan?”
“Lalu
kenapa tidak memilih Shikamaru yang jelas-jelas lebih pintar?”
“Atau
memilih Kiba yang jelas-jelas selalu berada di sampingmu?”
Naruto terdiam sebentar dan kemudian
menjawab pertanyaan yang ia buat sendiri, yang ditujukan pada Hinata.
“Karena cantik atau tampan itu relatif Hinata. Itu
relatif. Aku tahu kalau Hinata bukan orang yang melihat satu sisi. Tahu kalau
Hinata bukan orang seperti itu. Karena aku mengenal Hinata... jadi kalau kamu
mengenalku juga... maka—“ ucapan Naruto terputus saat merasakan seseorang yang
berada di depannya memeluknya erat.
“Gomen,” ucap gadis itu lirih. Naruto
tersenyum dari balik dekap hangat dari Hinata.
“Seharusnya aku yang mengatakannya.”
Naruto mengusap rambut Hinata pelan.
“Gomen ne, Hinata.” Kemudian membalas
pelukan Hinata tak kalah eratnya.
Naruto melepaskan pelukan Hinata dan
kemudian merogoh sesuatu di celananya. Naruto beruntung karena membawanya kali
ini saat dirinya bertemu Hinata. Naruto mengambil tangan kanan Hinata dan
memberikannya sesuatu, sebuah kotak yang di dalamnya berisi sesuatu.
“Karena aku tahu Hinata tak begitu bahagia selama ini.
Tolong, kali ini, bahagialah denganku.”
Hinata mengerjap, kesadarannya seolah
baru kembali akibat kalimat-kalimat panajang yang Naruto lontarkan sedari tadi.
“Ini untuk Hinata?”
Naruto mengangguk dan tersenyum lebar.
Naruto merasa Hinata lucu, karena setiap kali Naruto memberikannya sesuatu maka
Hinata akan bertanya terlebih dahulu apakah itu untuk dirinya atau bukan. Tentu
saja untuk Hinata, untuk siapa lagi Naruto membeli sesuatu.
“Buka saat di rumah ya. Saat ini, temani
aku makan.” Naruto berkata sambil menepuk perutnya dengan tangan kananya,
sedang tangan kirinya ia gunakan untuk mengenggam tangan Hinata.
“Naruto-kun, terima kasih.”
“Kembali kasih.”
Naruto akhirnya kembali berjalan dengan
Hinata menuju tempat tujuan awalnya. Meski begitu ia senang akhirnya ia
semuanya kembali seperti awal dengan Hinata.Oh, sepertinya bangun di pagi hari
membawa Naruto pada keberuntungan. Naruto harus sering-sering melakukan itu.
Naruto yang awalnya berjalan sendirian kemudian kembali dengan menggenggam
tangan millik Hinatanya.
“Naruto-kun.”
“ya?”
“Sepertinya aku melupakan sesuatu.”
Oh, Hinata lupa dengan adik kecilnya
yang ia tinggal sendirian di tengah pasar.
.
.
.
Hinata berjalan
dengan tersenyum pagi ini setelah menemani Naruto. Sebelum sampai di rumahnya,
ia berhenti di tengah jalan pertigaan menuju rumahnya kemudian memandang
langit. Entah sejak kapan, Hinata menyukai kristal-kristal air yang membeku dan
berjatuhan dari atas langit. Musim dingin memang membuat banyak orang kesusahan
atasnya, namun setidaknya tidak begitu banyak bagi Hinata.
Entah Hinata harus
seberapa banyak bersyukur atas adanya musim dingin. Di musim dingin, Hinata terlahir ke dunia. Di
musim dingin, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Naruto. Dan di musim
dingin pula cintanya terbalaskan.
Setibanya di rumah, Hinata mendapati
Hanabi yang membuka pintu rumah dengan wajah kesal. Adik kesayangannya itu
mengikutinya sampai ke dalam kamar dengan bersidekap di dada. Hinata hanya
tersenyum kemudian mengusap rambut Hanabi dan mengucapkan maaf.
Hinata duduk di tempat tidur setelah
melepaskan jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik saku
jaketnya tadi. Hanabi yang penasaran kemudian merebut kotak itu dari tangan
kakaknya. Hinata hanya menghembuskan nafas lelah, atas tingkah laku Hanabi.
“Hwoaaa apa itu?” Hanabi membuka kotak
hitam itu dan melihat benda di dalamnya.
Hinata yang tepat berada di depan Hanabi
tentu saja ikut melihatnya, karena Hanabi hanya berdiri di depannya, bukan
dengan jarak yang jauh. Hinata melihat di dalam kotak itu terdapat sebuah
kalung, gelang dan juga anting-anting berhiaskan bunga mawar merah muda. Hinata
tersenyum. Dari sekian warna, kenapa memilih warna merah muda? Pikir Hinata.
Hinata menemukan jawaban atas pertanyaannya di selembar kertas yang juga berada
di dalam kotak tersebut.
“Itu artinya Naruto-nii melamar
Nee-san. Benarkan?”
Pertanyaan dari Hanabi membuat Hinata terkejut. Ia arahkan tatapannya pada
Hanabi. Eh apa? Coba ulangi... Melamar?
“Itu indah.. biar Hanabi mencobanya Nee-san.”
“Eh?”
Hinata terkejut untuk kedua kalinya atas
ucapan Hanabi. Tu-tunggu, tadi Hanabi yang sudah membuka kotak itu. Lalu kalau
Hanabi juga yang memakainya, itu artinya Naruto bukannya melamar dirinya tapi
melamar Hanabi kan? Itu tidak bisa dibiarkan.
Belum hilang keterkejutan Hinata, Hanabi
sudah membawa pergi kotak tersebut. Hanabi punya ide cerdik untuk menunjukkan
kotak itu pada Tou-sannya.
“Hanabi... Chotto matte.” Hinata
bangkit dari duduknya, lalu mengejar Hanabi. Hinata mempunyai feeling aneh jika
sampai ia tidak bisa menangkap Hanabi.
.
.
Rose (pink) = Please believe
me, Perfect Happiness.
END
AN :
Baka
mitai’ (バカみたい) : ‘Dasar bodoh!’ atau ‘Seperti orang bodoh’.
Chotto matte :
Tunggu sebentar.
Hai, I’m come
back. Ini fic-ku yang ke empat. Awas jangan sampai mual-mual bacanya karena
kebanyakan isinya rayuan. Fic ini terkesan seperti Jealouse Versi 2.
Oh ya, kalau
yang mau lihat contoh gelang, kalung bentuk bunga rose pinknya bisa dilihat di
foto profil aku ya :D
Arigatou yang
sudah menyempatkan diri untuk membaca.