Selasa, 02 Mei 2017

Flashback



Hal pertama yang aku sadari adalah bahwa aku sedang terbaring di dalam kamarku. Aku merasa sedang dalam keadaan yang tidak baik. . Kucoba untuk bangun dari tidurku, tetapi kepalaku terasa berat. Rasa pusing menderaku, seperti benda di sekelilingku berbayang dan berputar ke segala penjuru. Kucoba berkata-kata tapi lidahku terasa kelu. Aku dapat mendengar suara berisik yang konstan dan terus menerus, seperti bunyi air yang jatuh dengan kapasitas yang besar dari arah jendela di sebelah kananku yang tertutup korden. Bunyi itulah yang membangunkanku.

Aku mencoba membuka mataku sekali lagi. Kurasakan ada sinar yang membutakan penglihatanku. Ketika mataku tertutup lagi, aku mendengar suara pintu yang tergeser.Sekali lagi kubuka mataku, tetapi kini lebih perlahan. Semuanya terlihat buram, namun lama kelamaan aku dapat menangkap warna langit-langit kamarku dengan jelas. Saat aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat, aku mencoba menengok ke arah kiri, tapi kurasakan leherku terasa kaku. Sebenarnya, berapa lama aku tertidur?! tanyaku pada diri sendiri.

Sekali lagi kucoba untuk berbicara, namun tenggorokanku terasa kering. Kucoba menelan ludah dan membasahi kerongkonganku tetapi mulutku terasa bagai ada sesuatu yang mengganjal, seperti aku telah menelan duri ikan, rasanya sangat sakit. Aku tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Ku pikir hari telah malam, tidak ada sinar matahari yang masuk dari sela-sela korden. Saat aku mencoba bangun dengan bertumpu pada kedua tangan yang masing-masing berada di sisi tubuhku, aku merasa akan jatuh kembali sebelum ada tangan seseorang yang menyangga punggungku. Aku mendongak ke atas, seseorang itu seorang gadis mungil yang memandangku dengan tatapan khawatir. Dia adikku, Hanabi.

Aku mendengar suara air yang dituang di gelas. Hanabi menyangga bantal di belakang kepalaku, agar posisi kepalaku lebih tinggi, membuatku berbaring dengan lebih nyaman kemudian menyuruhku meminum air. Aku menurut. Lagipula aku merasa haus dan sakit hampir di seluruh bagian tubuhku, mungkin efek dari tidur lama. Kualihkan perhatianku untuk mengenali sekelilingku. Ini benar kamarku, karena aku melihat jendela besar di sebelah kananku dan rangkaian bunga lavender, bunga favoritku, di atas sebuah meja.

"Sudah merasa lebih baik Kak?" tanya Hanabi kepadaku, dengan suara berbisik.
Aku mengangguk. Aku sebetulnya ingin bertanya kepadanya mengenai beberapa hal yang terjadi, tapi kuurungkan karena tenggorokanku masih terasa sakit.
"Jangan dipaksa Kak. Aku keluar dulu, sebentar lagi makan malam. Akan kusiapkan untuk Kakak juga." Dengan itu, Hanabi keluar dari kamarku diiringi suara pintu yang tertutup.

Aku menatap langit-langit kamarku, warna keabu-abuan memenuhi penglihatanku. Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memoriku. Aku masih ingat, hari itu, di suatu sore yang mendung, aku sama sekali tidak mempunyai firasat apapun. Aku berdiri di sebuah halte dekat sekolah. Sendirian, menunggu seseorang yang katanya akan menjemputku. Melewatkan bis terakhir yang melewati sekolahku. Bola mataku berkali-kali melirik dengan gelisah ke arah telepon genggam yang ku pegang. Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubungi kakakku, tapi tak ada balasan. Kakakku tadi mengirimkan pesan, mengatakan bahwa ia akan menjemputku. Tapi ini hampir satu jam berlalu dan ia tak kunjung datang. Gelisah mulai menghampiriku, ini sudah hampir malam. Matahari mulai tenggelam, menyisakan warna merah bercampur jingga di langit.

Tuk.Tuk.Tuk. suara yang terbentuk dari sepatu yang terbentur aspal jalanan akibat buah dari ketidaksabaranku mulai memenuhi telingaku. Ku ketuk-ketuk kaki kananku yang diselubungi sepatu hitam berkaos kaki putih, mencoba mengalahkan detak jantungku sendiri. Aku juga menggigit-gigit kuku ibu jari kananku ketika yang ditunggu tak kunjung muncul. Bulir-bulir keringat mulai hadir di pelipisku, entah kenapa aku merasa cemas bukan main, pasalnya kakakku hampir tak pernah mengingkari janji. Jika kakakku itu tidak bisa datang maka ia akan mengatakan atau menghubungiku terlebih dahulu. Aku mengedarkan pandangan lurus ke depan, jalanan sepi, tak biasanya.

Angin bertiup, menerbangkan beberapa helai rambut hitam panjangku. Aku melihat ke atas, langit sekarang gelap diliputi awan, padahal tadinya masih cerah walau tak dihiasi bintang. Rintik hujan turun perlahan, membasahi jalan. Teringat, bus yang lewat tadi adalah bus terakhir yang melewati jalan di sekolah. Perasaanku mulai tak enak. Lagi, aku melihat ke jalanan yang sepi. Aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. Berlari pelan sambil melihat sekeliling, barangkali aku dapat bertemu kakakku di jalan.
Aku berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahku yang basah. Hujan turun dengan deras. Mungkin orang-orang yang nantinya melihat, akan berpikir aku bodoh, dimana aku bisa naik bus atau berteduh di depan toko. Tapi bagiku saat itu sudah terlanjur. Jika basah, basah saja sekalian. Lagipula aku tadi berniat sekalian mencari kakakku. Syukur-syukur ketemu.

Melewati jalan yang biasa aku lalui untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba langkah kakiku berhenti. Telingaku mendengar suara aneh, seperti suara benda terjatuh dan teriakan seseorang. Aku merasa familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan panca inderaku, aku mendengar suara-suara itu dari gang di depanku. Ada banyak gang di perumahan ini. Tapi suara itu berasal dari gang sebelah kiri di depanku.

Tap. Tap. Tap. Pelan, pelan, pelan. Kulangkahkan kakiku sepelan mungkin, aku mencoba menengokkan kepalaku. Dan yang aku lihat adalah sekumpulan pemuda yang babak belur. Satu orang yang mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup, tiga orang yang masih memukuli seseorang yang sudah terbaring tidak berdaya. Dan yang paling membuat mataku terbelalak, ku yakini orang yang terbaring bersimbah darah itu adalah kakakku.

Benar, aku memang menemuinya di jalan, hampir sekarat berlumuran darah di sebuah gang sepi di pinggir
jalan.

Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandanganku beralih dari tubuh Kakakku ke wajah orang-orang di sekitarnya yang mulai menghentikan kegiatannya kemudian berlari pergi. Kemudian, satu hal yang ku ingat hari itu adalah suara teriakanku yang memekakkan telinga, menembus suara derai air hujan yang jatuh.
Lalu semuanya gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium