Everything Has Changed
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Don’t like, don’t read.
Jika sudah membaca dan tidak suka, anggap saja
Anda mendapat kupon undian,
yang isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.
Walau semuanya telah
berubah,
Aku tahu hatiku masih
tetap untukmu…
Hinata tidak tahu bagaimana ia bisa terjebak dalam
situasi ini. Mereka berempat, dirinya, Ino, Sakura dan Tenten. Membicarakan
fashion mode dari majalah fashion ternama milik Ino yang katanya Limited
Edition itu yang diberi oleh sepupu jauhnya yang katanya baru pulang dari luar
negeri. Memangnya ada ya, majalah tapi Limited Edition? Tak ambil pusing dengan
hal itu, lagipula ia tak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu, walaupun ia
termasuk perempuan.
Sampai akhirnya Ino bertanya. “Hei Hinata.”
“ya?” jawab Hinata.
“ Bukankah ini cocok untukmu?” Ino menunjuk mode
rambut yang dibuat bergelung menggunakan bando, berponi rata di depan dahi
dengan sedikit rambut yang dibuat ikal di kedua sisi wajah.
Hinata hanya mengangguk membenarkan, yah mungkin
cocok. Lagipula ia malas berdebat dengan Ino.
Kemudian gadis berambut pirang itu beralih pada
Sakura. “Ne, Sakura?”
Sakura tidak terlalu memperdulikan ucapan Ino karena
dirinya masih fokus melihat sebuah gaun panjang berwarna putih seperti gaun
pengantin hanya dibuat lebih sederhana. Mungkin Sakura sedang membayangkan
dirinya bersanding dengan pemuda berwajah datar, siapa lagi kalau bukan Sasuke,
mengenakan gaun itu.
Sakura masih tidak fokus dengan perkataan Ino sampai
Ino berkata, “ Ku pikir, dari semua warna rambut kita, kau yang paling aneh,
Forehead.” Ucap Ino.
“Lihatlah, Aku masih lazim karena warna rambutku
pirang, setidaknya di belahan Negara lain masih banyak atau bahkan menjadi
mayoritas, Tenten berwarna coklat itu juga masih ada, Hinata walau hitam
kebiruan tapi masih bisa dimaklumi, tapi kau… pink… Kami-sama, bukankah itu
sangat aneh?” Lanjutnya tak menghiraukan tatapan sepasang mata emerald yang
sudah siap siaga.
Pletak. Dan kepala Ino menjadi korbannya.
Ino meringis. “Kenapa kau memukulku sih?!” Ino
mengusap kepalanya yang masih panas, karena jitakan Sakura.
“Katakan sekali lagi, Pig. Dan kau akan merasakan
lebih dari ini.” Ujar Sakura masih dengan mengepalkan tangannya.
Hinata tersenyum tipis, kedua temannya ini, memang tak
ada habisnya. Tak pernah selesai dalam memperdebatkan sesuatu. Apalagi masalah
Sasuke, orang yang sama-sama mereka sukai.
.
.
SRET. BRAK.
Seperti biasanya membuka pintu kelas dengan tidak
wajar. Tidak ada sapaan. Tidak ada senyuman. Tidak seperti biasanya. Tapi ada
yang aneh dengan wajahnya, penuh dengan memar biru. Naruto, pemuda itu langsung
menuju tempat duduknya yang berada di pojok. Ia alihkan wajahnya ke samping
kiri, melihat ke luar jendela. Tak menghiraukan tatapan teman-temannya yang
penasaran melihatnya.
Hinata dan teman-temannya yang lain ingin bertanya,
namun urung. Tiba-tiba Sakura, seseorang yang dikenal sebagai sahabat Naruto,
mendekati pemuda berambut pirang itu.
“Naruto, kau kenapa?” Sakura bertanya, mewakili
teman-temannya yang ingin tahu.
Menundukkan kepala Naruto menjawab, “Hanya terjatuh.”
“Mana mungkin terjatuh sampai seperti—“
Memotong ucapan Sakura Naruto berkata, “Sudahlah
Sakura...”melanjutkan perkataannya, “Aku baik-baik saja.”
Sakura menghela nafas lelah, Naruto memang keras kepala,
jika sudah seperti ini, tak ada yang
bisa diperbuat akan hal itu.
Hinata pikir, Naruto sudah berhenti dari kebiasaan
buruknya yang lain, yaitu berkelahi. Tapi ternyata belum. Hinata ingin melihat
pemuda itu, sekedar untuk melihat ekspresinya. ia ingin menengokkan kepalanya
ke belakang, tapi lehernya seolah kaku. Hinata tidak mau kalau ditemukan sedang
memperhatikan pemuda itu. Lagipula Kakashi-sensei, guru mereka—yang biasanya
telat—sudah masuk, teman-teman yang lain juga sudah menempati tempat duduk masing-masing.
Maka Hinata memutuskan untuk memperhatikan pelajaran daripada mendapat masalah.
.
SKIP TIME
.
Bel istirahat berbunyi. Teman-teman sekelas Hinata
mulai berhamburan keluar dari kelas, ada yang menuju kantin, toilet,
perpustakaan, dan lain sebagainya.
Hinata memicingkan matanya. Taman belakang sekolah
yang biasanya ia gunakan untuk makan atau membaca buku sekarang di tempati oleh
sepasang pemuda pemudi. Mendengus kesal, ia mengalihkan kakinya. Entah kenapa
langkah kakinya membawanya ke tangga menuju atap. Tempat yang jarang atau hampir
tidak pernah dikunjungi orang. Entahlah,
ia hanya ingin menemukan tempat yang sepi dan nyaman. Hinata melihat pintu besi
itu, seingatnya pintu menuju atap biasanya terkunci, Lalu kenapa sekarang
terbuka?
Biasanya ia juga hanya akan duduk bersandar pada
tangga dekat pintu menuju atap karena memang pintunya tidak bisa terbuka.
Hinata berfikir, apakah ini pekerjaan murid lain yang jahil? Apakah jika nanti
ia masuk ke dalam, aka nada yang menguncinya sehingga ia tidak bisa keluar.
Hinata menggelengkan kepalanya sehingga rambut panjangnya ikut terayun. Kenapa
ia berpikiran buruk sih? Ini pasti gara-gara kebanyakan tidur di kelas? Tapi,
apa hubungannya?
Hinata menarik napas perlahan, tidak ada salahnya
mencoba masuk. Ketika Hinata melangkahkan kakinya perlahan, pertama kali yang
menyambutnya adalah angin musim panas yang berhembus kencang, seolah menyapanya
teman lama. Pikiran Hinata yang tadinya aneh-aneh sirna, begitu melihat pemuda
bermata biru yang ada disini, di atap, sedang memejamkan matanya,
terlihat nyaman dengan hembusan angin yang menggoda rambut pirangnya. Tapi, apa
yang dilakukannya disini? Bukankah ini jam istirahat? Apakah ia sudah makan
siang? Ketika Hinata melangkahkan kakinya lagi, mendekati pemuda itu, pemuda
itu masih belum membuka matanya. Apakah dia tertidur? Pikir Hinata.
Hinata masih menatap Naruto. Entah kenapa perasaannya
jadi aneh. Saat pemuda itu tertidur seperti ini rasanya pemuda itu begitu
tampak tenang dan juga… polos. Rasanya Hinata tidak akan bosan melihatnya
seharian. Apalagi bibir tipisnya itu, akankah pemuda itu akan bangun kalau ia
mengecupnya—. Hinata menggelengkan kepalanya. Menghentikan pikiran anehnya. Entah darimana
pikiran itu berasal tapi yang jelas membuat pipinya memerah hangat. Pikirannya
sedang aneh, kenapa ia bisa memikirkan hal-hal seperti itu.
Menatap ke depan lagi, pemuda itu masih tertidur. Mata
birunya tertutup, surai kuningnya
bergoyang pelan, tertiup angin. Akankah ini akan menjadi aman baginya? Berdua
saja dengan pemuda itu?
Hinata mencoba berbalik pergi, niatnya untuk mencari
tempat lain. Namun sebelum Hinata sempat berbalik, Naruto bangkit dari posisi
supinasinya kemudian berujar, “Kau disini saja…,” Naruto bangkit, “…biar aku
yang pergi.”lanjutnya sambil melangkah pergi tanpa menoleh.
Hinata menatap Naruto yang melewatinya begitu saja.
Hinata mengerjapkan matanya perlahan, berpikir sejak kapan Naruto bangun? Atau
mungkin dari tadi pemuda itu memang tidak tidur? Yang manapun, Hinata ingin
mengubur dirinya kalau saja tadi Naruto memergokinya menatapnya lama, apalagi
kalau pemuda itu tahu apa isi pikiran anehnya tadi.
Hinata memandang punggung yang mulai menjauh dari
hadapannya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke bawah. Kenapa dengan hatinya?
Kenapa hatinya tak selaras dengan pikirannya? Ada sebagian hati dari dirinya
yang tidak ingin merelakan pemuda itu pergi begitu saja?
.
SKIP TIME
.
Tap. Tap. Tap. Hinata melangkah pelan. Hari ini ia
pulang sendirian. Tenten ada keperluan. Lagipula dulu ia juga terbiasa pulang
sendiri. Ia kali ini mencoba mencari jalan memutar agak jauh dari rumahnya.
Hinata melihat jalan di depannya. Komplek-komplek rumah di depannya terlihat
senggang.
Bugh. Bugh. Terlinganya berkedut, ada suara aneh di
gang di sebelah kiri di depannya. Hinata menghentikan langkahnya seketika.
Memejamkan matanya sebentar, menajamkan telinganya, kalau-kalau ia hanya salah
dengar. Tapi suara itu tetap ada, seperti suara tendangan atau pukulan
seseorang. Tiba-tiba saja Hinata merasa tubuhnya gemetar, sedikit takut
membayangkan apa yang terjadi di depannya nanti jika ia mencoba melihat. Tapi
rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya.
Ketika Hinata
mencoba berpikir lagi untuk tetap melangkah pergi atau tidak, memorinya
berputar. Rasa-rasanya ia pernah mengalami hal seperti ini. Rasanya seperti dejavu. Ia ingat, ia pernah mengalami
kejadian seperti ini satu tahun yang lalu. Kejadian sama yang terjadi pada
kakaknya. Walaupun situasinya berbeda. Dulu langit gelap dan hujan lebat, dan
sekarang langit biru dengan panas terik. Hinata meremas kedua tangannya. Ia
cemas. Bagaimana ini, pikirnya. Apakah ia akan kabur begitu saja? Tapi jikalau
ada seseorang yang membutuhkan bantuan bukankah ia harus menolong?
Hinata ragu, tapi hatinya tidak. Jadi ia mencoba
mengikuti kata hatinya. Sebelum melangkahkan kakinya ia mendengar suara lagi.
“ Hei, Hidan,
dia sudah terkapar,”ucap orang pertama.
“Kau benar. Tapi Kakuzu, bagaimana caranya kita
membuktikan kepada ketua, kalau kita sudah mengalahkannya, Si Uzumaki Sok
Berkuasa.” Ucap orang kedua yang bernama Hidan.
Kemudian tidak terdengar suara lagi. Hinata menduga
hanya ada dua orang yang sedang mengeroyok seseorang. Tapi tunggu? Uzumaki?
Apakah yang mereka maksud Naruto? Baiklah Hinata, kalau kau mau menolong,
sekarang atau tidak sama sekali!
Hinata melangkahkan kakinya dengan pelan menuju arah
perkelahian itu, jaraknya sua meter dari dirinya, “Hei, mengeroyok satu orang
itu tidak baik.” Sebenarnya Hinata takut, sungguh.
“Woah, bala bantuan?” ucap seseorang yang berwajah
seperti ikan hiu, bagi Hinata.
“Kau cantik juga, bagaimana kalau kita bermain.” Ucap seseorang
yang bernama Hidan, ia mencoba merayu Hinata.
Naruto yang sudah tersungkur mendongakkan kepalanya,
melihat Hinata, bola matanya membulat, terbelalak kaget, tidak menyangka gadis
itu ada disini, “Berhenti.” Naruto berteriak, “ Pergi dari sini, Hinata.”
Bugh. Hidan menendang Naruto yang tubuhnya sudah
tersungkur, menyebabkan pemuda pirang itu meringis, menahan sakit. “Masih hidup
ternyata. Diamlah.”bentaknya.
Hinata tidak tahan lagi, melihat temannya disakiti
seperti itu walau ia tahu Naruto sudah biasa berkelahi, gadis itu mengepalkan kedua
tangannya, kemudian berteriak, “Pergi, atau aku telfon polisi!”
“Keh, mana mungkin disini ada pol—“ ucapan Hidan
terputus tatkala tiba-tiba terdengar suara mobil polisi.
“Hidan, bagaimana ini?”ucap orang yang bernama Kakuzu,
terlihat gelisah .
“Kita pergi, Kakuzu.” Lanjut Hidan.
Sebelum melangkah pergi, Kakuzu menendang Naruto satu
kali, “Kali ini kau selamat, Uzumaki.”
Hinata yang melihat itu, rasa-rasanya ingin mencekik
wajah yang mirip ikan hiu itu. Hinata segera menepi ke dinding gang, setelah
dua orang itu kabur melewati dirinya. Hinata melihat Naruto yang mencoba
bangun, lalu membantunya.
Bodoh, Hinata berpikir dirinya bodoh kalau ia bertanya
pertanyaan yang seperti biasanya dilontarkan orang lain dalam situasi seperti
ini. Tentu saja pemuda itu tidak baik-baik saja, pikir Hinata. Hinata
segera membantu Naruto yang mencoba berdiri. Luka di wajah pemuda itu sangatlah
mengenaskan. Bibirnya sobek, mengeluarkan darah dan beberapa bagian di wajahnya
bertambah biru. Pasalnya Naruto memang sudah memar dan sekarang luka di
wajahnya bertambah banyak akibat berkelahi.
Setelah Naruto dapat berdiri tegak, Hinata bertanya, “
Kenapa kau bisa kalah?” karena Hinata tahu pemuda itu tidak pernah kalah, walau
mengalami lebam atau memar di sekujur tubuhnya, pemuda itu akan tetap tersenyum
dan berkata kalau ia sudah mengalahkan pemuda-pemuda lain yang mengajaknya
berkelahi. Sepertinya rekornya terpecahkan sekarang.
Dengan wajah tanpa dosanya Naruto menjawab, “Aku belum
makan dari tadi pagi, jadi lemas deh, hehe.”
Hinata cengo, alasan konyol macam apa itu?
Hinata menepuk dahinya, teringat sesuatu,
“Handphoneku?”
.
Naruto berdiri memandang Hinata yang sedang mengambil
ponselnya yang ia letakkan di samping jalan, tertutupi oleh beberapa keramik.
“Kenapa ponselmu ada disitu?” Tanya Naruto penasaran
dengan perilaku gadis ini.
“Oh ini… sebenarnya suara sirine mobil polisi itu
berasal dari ponselku.” Hinata mengungkap kejadian sebenarnya. “Kau pikir aku
kesitu tanpa persiapan?”
Sekarang gantian Naruto yang cengo, Hinata bilang ia
mensetting alarm di ponselnya setengah menit setelah ia meletakkan ponsel itu,
untuk jaga-jaga katanya. Bagaimana bisa? Berarti duo bajingan itu tertipu
dengan trik kecil macam ini.
Heh, Naruto, apa kau juga tidak sadar kalau dirimu
juga tertipu?
Naruto menggeleng tak percaya, gadis ini berbahaya,
sungguh. Naruto ingin bertanya lagi darimana Hinata belajar trik semacam itu
tapi urung tatkala gadis mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
Naruto hanya diam, tatapannya menyendu, memandang
gadis berambut panjang di depannya. Rasanya aneh melihat gadis ini berwajah
datar. Kemana rona merah yang biasa melekat pada pipinya? Atau senyum
malu-malunya? Dan perkataannya yang terbata-bata? Padahal dulu gadis ini bahkan
sering pingsan tanpa sebab jelas ketika bertemu dengannya. Sesungguhnya Naruto
merindukan semua itu.
Merasa mendapat tatapan aneh, Hinata bertanya tanpa
mengalihkan perhatiannya dari mencari sesuatu di dalam tas, “Apa?”
Pemuda yang ditanya hanya menggeleng pelan.
Ketika yang dicari-cari dalam tasnya sudah ketemu,
Hinata memberikannya pada Naruto. “Ini”
Naruto mengulurkan tangannya, menerima, rasa-rasanya
ia kenal dengan benda itu.
“ Ini… salep
yang dulu pernah kau berikan padaku,” ujar Naruto dengan senyum tipis.
Hinata menjawab, “kau masih ingat?” matanya sedikit
membulat kaget tapi dengan cepat menyesuaikan ekspresinya kembali.
“yah… hanya teringat saja.” Naruto menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal, kebiasaannya yang lain.
“Aku harap itu bisa membantu. Oh ya, kurasa
Sakura-chan belum pulang. Mungkin kau bisa kembali ke sekolah untuk minta
diobati. “ ucap Hinata memberi saran. Tanpa tahu yang diberi saran sama sekali
tidak berminat akan hal itu. Hinata hanya berpikir, mungkin luka Naruto dapat
cepat sembuh jika segera di obati. Mengingat sekolah mereka juga punya dokter
sekolah, Shizune namanya.
“Aku pulang dulu.” Setelah mengucapkan hal itu Hinata
berbalik pergi, berjalan pulang sambil melambaikan tangannya tanpa menghadap ke
arah Naruto.
Tadinya Naruto berniat untuk mengantar gadis itu
pulang, sebagai ucapan terimakasih. Tapi gadis itu sudah berlari menjauh.
Sedang dengan rasa sakitnya, ia tidak bisa berjalan cepat, apalagi berlari.
Naruto tidak pernah berfikir gadis itu jahat karena tidak menemaninya pulang,
karena tanpa gadis itu ia bahkan tidak tahu akan jadi seperti apa nantinya.
Hinata berlalu, bahkan sebelum Naruto sempat
mengucapkan terimakasih. Pemuda itu hanya tersenyum miris. Menengok ke arah sekolah, Naruto mengambil jalan
berlawanan arah, berjalan pulang sambil berucap dalam hati, ‘Arigatou, Hinata.’
.
SKIP TIME
.
Hari ini hari libur, weekend. Tentu saja sekolah juga
libur. Di saat seperti ini adalah waktunya untuk menenangkan pikiran. Hinata
melangkahkan kakinya menuju hamparan rumput pinggir sungai. Menikmati kilau
cahaya mentari sore dengan melihat angsa atau burung lain yang biasanya hinggap
di sungai. Ia sudah lama tidak pergi ke tempat itu. Walaupun setiap hari ketika
pergi sekolah ia melewatinya. Pasti menyenangkan, pikirnya.
Tadinya ia berpikir begitu sebelum pemandangan di
depannya seolah merusak matanya. Hinata hanya terpaku. Berdiam diri 5 meter
dari pemandangan di depan matanya.
Disana ada Naruto dan Sakura, terlihat duduk berdua
seperti sepasang kekasih. Bagi Hinata, hal itu bukanlah hal baru lagi baginya.
Mereka memang sering terlihat bersama. Namun kali ini hatinya sama sekali tidak
bisa berkompromi. Entah kenapa.. kali ini dadanya terasa aneh, serasa ada yang
meremasnya, membuatnya sulit bernafas. Terasa nyeri.
‘Kenapa seperti ini?’ Pikir Hinata. ‘ Bukankah aku
sudah membuang perasaan ini?’
Apakah benar Hinata, apakah kau benar-benar sudah
membuangnya? Mungkin saja masih tersisa serpihan-serpihan kecil yang lupa kau
buang?
.
.
Sakura melihatnya, gadis berambut panjang itu yang
menatap mereka tanpa berkedip.
“Naruto.” Panggil Sakura pelan. Mengendikkan kepalanya
mencoba member petunjuk.
Naruto menengokkan kepalanya sebentar, agak jauh
darinya, ada seorang gadis yang sedang menatap ke bawah, ke tanah yang
dipijaknya. “Sepertinya dia salah paham.” Lanjut Sakura.
“Lalu?” ucap Naruto terlihat tidak peduli, arah
pandangnya masih ke depan, di sungai yang terlihat berkilauan karena sinar
mentari senja yang menerpa.
“Tentu saja kau harus mengejarnya, bodoh.” Suara gadis
berambut berwarna seperti permen kapas itu agak meninggi di bagian terakhir.
“Kenapa harus aku?”ujar Naruto dengan tampang datar.
Sakura yang melihatnya tidak tahan lagi. Jika sudah
seperti ini, sepertinya ia harus melakukan kebiasaan buruknya,yaitu memukul
kepala Naruto.
“Aduh.” Naruto mengaduh, kepalanya terasa sakit. Belum
kelar memar kemarin, sekarang bertambah lagi. “Tidak perlu menjitakku Sakura-chan.”
Sakura mendengus, “Kenapa aku selalu di kelilingi
orang-orang yang tidak peka? Tidak kau, tidak Uchiha sialan itu.” Mengalihkan
pandangannya ke depan, tidak menghiraukan tatapan Naruto.
Hei Sakura, sepertinya kau lupa, Sasuke itu peka,
hanya saja mungkin ia gengsi. Pemuda berwajah dingin itu, punya harga diri selangit.
Menepuk-nepuk belakang celananya, Naruto berdiri, “Jangan
menyerah Sakura.” Ucap Naruto.
‘Hei Naruto seharusnya itu kau ucapkan pada dirimu
sendiri.’ pikir Sakura.
Sakura tersenyum melihat Naruto berlari pergi, ia tahu
pasti siapa yang pemuda itu kejar. Walau pemuda itu bodoh dan terlihat tidak
peduli, tapi ia tahu pasti bagaimana perasaan seseorang. Apalagi seseorang yang
ia anggap berharga.
Memandang ke
depan, Sakura tersenyum tipis, menyenangkan sekali punya sahabat yang saling
mendukung, walaupun tak jarang kesalahpahaman terjadi. Tapi akhirnya mereka
sama-sama sadar, siapa sebenarnya seseorang yang patut mereka perjuangkan.
“Sasuke, aku mencintaimu,” teriak Sakura, tepat saat
ada kereta melintas di atas jembatan yang sebagai penghubung jalan kereta.
.
Hinata berlari pergi, langkah kakinya membawanya ke
taman. Taman perumahan di dekat kompleks rumahnya. Tidak biasanya, kali ini
taman itu sepi tanpa pengunjung.
“Kenapa menangis?”
Hinata mendongak, “Siapa?”
“Aku Toneri.”
.
.
TBC
.
.
Berniat RnR?
Ini gaje ya, Whatever.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar