Selasa, 02 Mei 2017

Everything Has Changed chap 3



Everything Has Changed
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Don’t like, don’t read.
Jika sudah membaca dan tidak suka, anggap saja Anda mendapat kupon undian,
yang isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.

Walau semuanya telah berubah,
Aku tahu hatiku masih tetap untukmu…

Hinata tidak tahu bagaimana ia bisa terjebak dalam situasi ini. Mereka berempat, dirinya, Ino, Sakura dan Tenten. Membicarakan fashion mode dari majalah fashion ternama milik Ino yang katanya Limited Edition itu yang diberi oleh sepupu jauhnya yang katanya baru pulang dari luar negeri. Memangnya ada ya, majalah tapi Limited Edition? Tak ambil pusing dengan hal itu, lagipula ia tak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu, walaupun ia termasuk perempuan.
Sampai akhirnya Ino bertanya. “Hei Hinata.”
“ya?” jawab Hinata.
“ Bukankah ini cocok untukmu?” Ino menunjuk mode rambut yang dibuat bergelung menggunakan bando, berponi rata di depan dahi dengan sedikit rambut yang dibuat ikal di kedua sisi wajah.
Hinata hanya mengangguk membenarkan, yah mungkin cocok. Lagipula ia malas berdebat dengan Ino.
Kemudian gadis berambut pirang itu beralih pada Sakura. “Ne, Sakura?”
Sakura tidak terlalu memperdulikan ucapan Ino karena dirinya masih fokus melihat sebuah gaun panjang berwarna putih seperti gaun pengantin hanya dibuat lebih sederhana. Mungkin Sakura sedang membayangkan dirinya bersanding dengan pemuda berwajah datar, siapa lagi kalau bukan Sasuke, mengenakan gaun itu.
Sakura masih tidak fokus dengan perkataan Ino sampai Ino berkata, “ Ku pikir, dari semua warna rambut kita, kau yang paling aneh, Forehead.” Ucap Ino.
“Lihatlah, Aku masih lazim karena warna rambutku pirang, setidaknya di belahan Negara lain masih banyak atau bahkan menjadi mayoritas, Tenten berwarna coklat itu juga masih ada, Hinata walau hitam kebiruan tapi masih bisa dimaklumi, tapi kau… pink… Kami-sama, bukankah itu sangat aneh?” Lanjutnya tak menghiraukan tatapan sepasang mata emerald yang sudah siap siaga.
Pletak. Dan kepala Ino menjadi korbannya.
Ino meringis. “Kenapa kau memukulku sih?!” Ino mengusap kepalanya yang masih panas, karena jitakan Sakura.
“Katakan sekali lagi, Pig. Dan kau akan merasakan lebih dari ini.” Ujar Sakura masih dengan mengepalkan tangannya.
Hinata tersenyum tipis, kedua temannya ini, memang tak ada habisnya. Tak pernah selesai dalam memperdebatkan sesuatu. Apalagi masalah Sasuke, orang yang sama-sama mereka sukai.
.
.
SRET. BRAK.
Seperti biasanya membuka pintu kelas dengan tidak wajar. Tidak ada sapaan. Tidak ada senyuman. Tidak seperti biasanya. Tapi ada yang aneh dengan wajahnya, penuh dengan memar biru. Naruto, pemuda itu langsung menuju tempat duduknya yang berada di pojok. Ia alihkan wajahnya ke samping kiri, melihat ke luar jendela. Tak menghiraukan tatapan teman-temannya yang penasaran melihatnya.
Hinata dan teman-temannya yang lain ingin bertanya, namun urung. Tiba-tiba Sakura, seseorang yang dikenal sebagai sahabat Naruto, mendekati pemuda berambut pirang itu.
“Naruto, kau kenapa?” Sakura bertanya, mewakili teman-temannya yang ingin tahu.
Menundukkan kepala Naruto menjawab, “Hanya terjatuh.”
“Mana mungkin terjatuh sampai seperti—“
Memotong ucapan Sakura Naruto berkata, “Sudahlah Sakura...”melanjutkan perkataannya, “Aku baik-baik saja.”
Sakura menghela nafas lelah, Naruto memang keras kepala, jika sudah seperti ini,  tak ada yang bisa diperbuat akan hal itu.
Hinata pikir, Naruto sudah berhenti dari kebiasaan buruknya yang lain, yaitu berkelahi. Tapi ternyata belum. Hinata ingin melihat pemuda itu, sekedar untuk melihat ekspresinya. ia ingin menengokkan kepalanya ke belakang, tapi lehernya seolah kaku. Hinata tidak mau kalau ditemukan sedang memperhatikan pemuda itu. Lagipula Kakashi-sensei, guru mereka—yang biasanya telat—sudah masuk, teman-teman yang lain juga sudah menempati tempat duduk masing-masing. Maka Hinata memutuskan untuk memperhatikan pelajaran daripada mendapat masalah.
.
SKIP TIME
.
Bel istirahat berbunyi. Teman-teman sekelas Hinata mulai berhamburan keluar dari kelas, ada yang menuju kantin, toilet, perpustakaan, dan lain sebagainya.
Hinata memicingkan matanya. Taman belakang sekolah yang biasanya ia gunakan untuk makan atau membaca buku sekarang di tempati oleh sepasang pemuda pemudi. Mendengus kesal, ia mengalihkan kakinya. Entah kenapa langkah kakinya membawanya ke tangga menuju atap. Tempat yang jarang atau hampir tidak pernah dikunjungi orang.  Entahlah, ia hanya ingin menemukan tempat yang sepi dan nyaman. Hinata melihat pintu besi itu, seingatnya pintu menuju atap biasanya terkunci, Lalu kenapa sekarang terbuka?
Biasanya ia juga hanya akan duduk bersandar pada tangga dekat pintu menuju atap karena memang pintunya tidak bisa terbuka. Hinata berfikir, apakah ini pekerjaan murid lain yang jahil? Apakah jika nanti ia masuk ke dalam, aka nada yang menguncinya sehingga ia tidak bisa keluar. Hinata menggelengkan kepalanya sehingga rambut panjangnya ikut terayun. Kenapa ia berpikiran buruk sih? Ini pasti gara-gara kebanyakan tidur di kelas? Tapi, apa hubungannya?
Hinata menarik napas perlahan, tidak ada salahnya mencoba masuk. Ketika Hinata melangkahkan kakinya perlahan, pertama kali yang menyambutnya adalah angin musim panas yang berhembus kencang, seolah menyapanya teman lama. Pikiran Hinata yang tadinya aneh-aneh sirna, begitu melihat pemuda bermata biru yang  ada  disini, di atap, sedang memejamkan matanya, terlihat nyaman dengan hembusan angin yang menggoda rambut pirangnya. Tapi, apa yang dilakukannya disini? Bukankah ini jam istirahat? Apakah ia sudah makan siang? Ketika Hinata melangkahkan kakinya lagi, mendekati pemuda itu, pemuda itu masih belum membuka matanya. Apakah dia tertidur? Pikir Hinata.
Hinata masih menatap Naruto. Entah kenapa perasaannya jadi aneh. Saat pemuda itu tertidur seperti ini rasanya pemuda itu begitu tampak tenang dan juga… polos. Rasanya Hinata tidak akan bosan melihatnya seharian. Apalagi bibir tipisnya itu, akankah pemuda itu akan bangun kalau ia mengecupnya—. Hinata menggelengkan kepalanya.  Menghentikan pikiran anehnya. Entah darimana pikiran itu berasal tapi yang jelas membuat pipinya memerah hangat. Pikirannya sedang aneh, kenapa ia bisa memikirkan hal-hal seperti itu.
Menatap ke depan lagi, pemuda itu masih tertidur. Mata birunya tertutup,  surai kuningnya bergoyang pelan, tertiup angin. Akankah ini akan menjadi aman baginya? Berdua saja dengan pemuda itu?
Hinata mencoba berbalik pergi, niatnya untuk mencari tempat lain. Namun sebelum Hinata sempat berbalik, Naruto bangkit dari posisi supinasinya kemudian berujar, “Kau disini saja…,” Naruto bangkit, “…biar aku yang pergi.”lanjutnya sambil melangkah pergi tanpa menoleh.
Hinata menatap Naruto yang melewatinya begitu saja. Hinata mengerjapkan matanya perlahan, berpikir sejak kapan Naruto bangun? Atau mungkin dari tadi pemuda itu memang tidak tidur? Yang manapun, Hinata ingin mengubur dirinya kalau saja tadi Naruto memergokinya menatapnya lama, apalagi kalau pemuda itu tahu apa isi pikiran anehnya tadi.
Hinata memandang punggung yang mulai menjauh dari hadapannya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke bawah. Kenapa dengan hatinya? Kenapa hatinya tak selaras dengan pikirannya? Ada sebagian hati dari dirinya yang tidak ingin merelakan pemuda itu pergi begitu saja?
.
SKIP TIME
.
Tap. Tap. Tap. Hinata melangkah pelan. Hari ini ia pulang sendirian. Tenten ada keperluan. Lagipula dulu ia juga terbiasa pulang sendiri. Ia kali ini mencoba mencari jalan memutar agak jauh dari rumahnya. Hinata melihat jalan di depannya. Komplek-komplek rumah di depannya terlihat senggang.
Bugh. Bugh. Terlinganya berkedut, ada suara aneh di gang di sebelah kiri di depannya. Hinata menghentikan langkahnya seketika. Memejamkan matanya sebentar, menajamkan telinganya, kalau-kalau ia hanya salah dengar. Tapi suara itu tetap ada, seperti suara tendangan atau pukulan seseorang. Tiba-tiba saja Hinata merasa tubuhnya gemetar, sedikit takut membayangkan apa yang terjadi di depannya nanti jika ia mencoba melihat. Tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya.
 Ketika Hinata mencoba berpikir lagi untuk tetap melangkah pergi atau tidak, memorinya berputar. Rasa-rasanya ia pernah mengalami hal seperti ini. Rasanya seperti dejavu. Ia ingat, ia pernah mengalami kejadian seperti ini satu tahun yang lalu. Kejadian sama yang terjadi pada kakaknya. Walaupun situasinya berbeda. Dulu langit gelap dan hujan lebat, dan sekarang langit biru dengan panas terik. Hinata meremas kedua tangannya. Ia cemas. Bagaimana ini, pikirnya. Apakah ia akan kabur begitu saja? Tapi jikalau ada seseorang yang membutuhkan bantuan bukankah ia harus menolong?
Hinata ragu, tapi hatinya tidak. Jadi ia mencoba mengikuti kata hatinya. Sebelum melangkahkan kakinya ia mendengar suara lagi.
 “ Hei, Hidan, dia sudah terkapar,”ucap orang pertama.
“Kau benar. Tapi Kakuzu, bagaimana caranya kita membuktikan kepada ketua, kalau kita sudah mengalahkannya, Si Uzumaki Sok Berkuasa.” Ucap orang kedua yang bernama Hidan.
Kemudian tidak terdengar suara lagi. Hinata menduga hanya ada dua orang yang sedang mengeroyok seseorang. Tapi tunggu? Uzumaki? Apakah yang mereka maksud Naruto? Baiklah Hinata, kalau kau mau menolong, sekarang atau tidak sama sekali!
Hinata melangkahkan kakinya dengan pelan menuju arah perkelahian itu, jaraknya sua meter dari dirinya, “Hei, mengeroyok satu orang itu tidak baik.” Sebenarnya Hinata takut, sungguh.
“Woah, bala bantuan?” ucap seseorang yang berwajah seperti ikan hiu, bagi Hinata.
“Kau cantik juga, bagaimana kalau kita bermain.” Ucap seseorang yang bernama Hidan, ia mencoba merayu Hinata.
Naruto yang sudah tersungkur mendongakkan kepalanya, melihat Hinata, bola matanya membulat, terbelalak kaget, tidak menyangka gadis itu ada disini, “Berhenti.” Naruto berteriak, “ Pergi dari sini, Hinata.”
Bugh. Hidan menendang Naruto yang tubuhnya sudah tersungkur, menyebabkan pemuda pirang itu meringis, menahan sakit. “Masih hidup ternyata. Diamlah.”bentaknya.
Hinata tidak tahan lagi, melihat temannya disakiti seperti itu walau ia tahu Naruto sudah biasa berkelahi, gadis itu mengepalkan kedua tangannya, kemudian berteriak, “Pergi, atau aku telfon polisi!”
“Keh, mana mungkin disini ada pol—“ ucapan Hidan terputus tatkala tiba-tiba terdengar suara mobil polisi.
“Hidan, bagaimana ini?”ucap orang yang bernama Kakuzu, terlihat gelisah .
“Kita pergi, Kakuzu.” Lanjut Hidan.
Sebelum melangkah pergi, Kakuzu menendang Naruto satu kali, “Kali ini kau selamat, Uzumaki.”
Hinata yang melihat itu, rasa-rasanya ingin mencekik wajah yang mirip ikan hiu itu. Hinata segera menepi ke dinding gang, setelah dua orang itu kabur melewati dirinya. Hinata melihat Naruto yang mencoba bangun, lalu membantunya.
Bodoh, Hinata berpikir dirinya bodoh kalau ia bertanya pertanyaan yang seperti biasanya dilontarkan orang lain dalam situasi seperti ini. Tentu saja pemuda itu tidak baik-baik saja, pikir  Hinata. Hinata  segera membantu Naruto yang mencoba berdiri. Luka di wajah pemuda itu sangatlah mengenaskan. Bibirnya sobek, mengeluarkan darah dan beberapa bagian di wajahnya bertambah biru. Pasalnya Naruto memang sudah memar dan sekarang luka di wajahnya bertambah banyak akibat berkelahi.
Setelah Naruto dapat berdiri tegak, Hinata bertanya, “ Kenapa kau bisa kalah?” karena Hinata tahu pemuda itu tidak pernah kalah, walau mengalami lebam atau memar di sekujur tubuhnya, pemuda itu akan tetap tersenyum dan berkata kalau ia sudah mengalahkan pemuda-pemuda lain yang mengajaknya berkelahi. Sepertinya rekornya terpecahkan sekarang.
Dengan wajah tanpa dosanya Naruto menjawab, “Aku belum makan dari tadi pagi, jadi lemas deh, hehe.”
Hinata cengo, alasan konyol macam apa itu?
Hinata menepuk dahinya, teringat sesuatu, “Handphoneku?”
.
Naruto berdiri memandang Hinata yang sedang mengambil ponselnya yang ia letakkan di samping jalan, tertutupi oleh beberapa keramik.
“Kenapa ponselmu ada disitu?” Tanya Naruto penasaran dengan perilaku gadis ini.
“Oh ini… sebenarnya suara sirine mobil polisi itu berasal dari ponselku.” Hinata mengungkap kejadian sebenarnya. “Kau pikir aku kesitu tanpa persiapan?”
Sekarang gantian Naruto yang cengo, Hinata bilang ia mensetting alarm di ponselnya setengah menit setelah ia meletakkan ponsel itu, untuk jaga-jaga katanya. Bagaimana bisa? Berarti duo bajingan itu tertipu dengan trik kecil macam ini. 
Heh, Naruto, apa kau juga tidak sadar kalau dirimu juga tertipu?
Naruto menggeleng tak percaya, gadis ini berbahaya, sungguh. Naruto ingin bertanya lagi darimana Hinata belajar trik semacam itu tapi urung tatkala gadis mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
Naruto hanya diam, tatapannya menyendu, memandang gadis berambut panjang di depannya. Rasanya aneh melihat gadis ini berwajah datar. Kemana rona merah yang biasa melekat pada pipinya? Atau senyum malu-malunya? Dan perkataannya yang terbata-bata? Padahal dulu gadis ini bahkan sering pingsan tanpa sebab jelas ketika bertemu dengannya. Sesungguhnya Naruto merindukan semua itu.
Merasa mendapat tatapan aneh, Hinata bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari mencari sesuatu di dalam tas, “Apa?”
Pemuda yang ditanya hanya menggeleng pelan.
Ketika yang dicari-cari dalam tasnya sudah ketemu, Hinata memberikannya pada Naruto. “Ini”
Naruto mengulurkan tangannya, menerima, rasa-rasanya ia kenal dengan benda itu.
 “ Ini… salep yang dulu pernah kau berikan padaku,” ujar Naruto dengan senyum tipis.
Hinata menjawab, “kau masih ingat?” matanya sedikit membulat kaget tapi dengan cepat menyesuaikan ekspresinya kembali.
“yah… hanya teringat saja.” Naruto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kebiasaannya yang lain.
“Aku harap itu bisa membantu. Oh ya, kurasa Sakura-chan belum pulang. Mungkin kau bisa kembali ke sekolah untuk minta diobati. “ ucap Hinata memberi saran. Tanpa tahu yang diberi saran sama sekali tidak berminat akan hal itu. Hinata hanya berpikir, mungkin luka Naruto dapat cepat sembuh jika segera di obati. Mengingat sekolah mereka juga punya dokter sekolah, Shizune namanya.
“Aku pulang dulu.” Setelah mengucapkan hal itu Hinata berbalik pergi, berjalan pulang sambil melambaikan tangannya tanpa menghadap ke arah Naruto.
Tadinya Naruto berniat untuk mengantar gadis itu pulang, sebagai ucapan terimakasih. Tapi gadis itu sudah berlari menjauh. Sedang dengan rasa sakitnya, ia tidak bisa berjalan cepat, apalagi berlari. Naruto tidak pernah berfikir gadis itu jahat karena tidak menemaninya pulang, karena tanpa gadis itu ia bahkan tidak tahu akan jadi seperti apa nantinya.
Hinata berlalu, bahkan sebelum Naruto sempat mengucapkan terimakasih. Pemuda itu hanya tersenyum miris. Menengok  ke arah sekolah, Naruto mengambil jalan berlawanan arah, berjalan pulang sambil berucap dalam hati, ‘Arigatou, Hinata.’
.
SKIP TIME
.
Hari ini hari libur, weekend. Tentu saja sekolah juga libur. Di saat seperti ini adalah waktunya untuk menenangkan pikiran. Hinata melangkahkan kakinya menuju hamparan rumput pinggir sungai. Menikmati kilau cahaya mentari sore dengan melihat angsa atau burung lain yang biasanya hinggap di sungai. Ia sudah lama tidak pergi ke tempat itu. Walaupun setiap hari ketika pergi sekolah ia melewatinya. Pasti menyenangkan, pikirnya.
Tadinya ia berpikir begitu sebelum pemandangan di depannya seolah merusak matanya. Hinata hanya terpaku. Berdiam diri 5 meter dari pemandangan di depan matanya.
Disana ada Naruto dan Sakura, terlihat duduk berdua seperti sepasang kekasih. Bagi Hinata, hal itu bukanlah hal baru lagi baginya. Mereka memang sering terlihat bersama. Namun kali ini hatinya sama sekali tidak bisa berkompromi. Entah kenapa.. kali ini dadanya terasa aneh, serasa ada yang meremasnya, membuatnya sulit bernafas. Terasa nyeri.
‘Kenapa seperti ini?’ Pikir Hinata. ‘ Bukankah aku sudah membuang perasaan ini?’
Apakah benar Hinata, apakah kau benar-benar sudah membuangnya? Mungkin saja masih tersisa serpihan-serpihan kecil yang lupa kau buang?
.
.
Sakura melihatnya, gadis berambut panjang itu yang menatap mereka tanpa berkedip.
“Naruto.” Panggil Sakura pelan. Mengendikkan kepalanya mencoba member petunjuk.
Naruto menengokkan kepalanya sebentar, agak jauh darinya, ada seorang gadis yang sedang menatap ke bawah, ke tanah yang dipijaknya. “Sepertinya dia salah paham.” Lanjut Sakura.
“Lalu?” ucap Naruto terlihat tidak peduli, arah pandangnya masih ke depan, di sungai yang terlihat berkilauan karena sinar mentari senja yang menerpa.
“Tentu saja kau harus mengejarnya, bodoh.” Suara gadis berambut berwarna seperti permen kapas itu agak meninggi di bagian terakhir.
“Kenapa harus aku?”ujar Naruto dengan tampang datar.
Sakura yang melihatnya tidak tahan lagi. Jika sudah seperti ini, sepertinya ia harus melakukan kebiasaan buruknya,yaitu memukul kepala Naruto.
“Aduh.” Naruto mengaduh, kepalanya terasa sakit. Belum kelar memar kemarin, sekarang bertambah lagi. “Tidak perlu menjitakku Sakura-chan.”
Sakura mendengus, “Kenapa aku selalu di kelilingi orang-orang yang tidak peka? Tidak kau, tidak Uchiha sialan itu.” Mengalihkan pandangannya ke depan, tidak menghiraukan tatapan Naruto.
Hei Sakura, sepertinya kau lupa, Sasuke itu peka, hanya saja mungkin ia gengsi. Pemuda berwajah dingin itu, punya harga diri selangit.
Menepuk-nepuk belakang celananya, Naruto berdiri, “Jangan menyerah Sakura.” Ucap Naruto.
‘Hei Naruto seharusnya itu kau ucapkan pada dirimu sendiri.’ pikir Sakura.
Sakura tersenyum melihat Naruto berlari pergi, ia tahu pasti siapa yang pemuda itu kejar. Walau pemuda itu bodoh dan terlihat tidak peduli, tapi ia tahu pasti bagaimana perasaan seseorang. Apalagi seseorang yang ia anggap berharga.
 Memandang ke depan, Sakura tersenyum tipis, menyenangkan sekali punya sahabat yang saling mendukung, walaupun tak jarang kesalahpahaman terjadi. Tapi akhirnya mereka sama-sama sadar, siapa sebenarnya seseorang yang patut mereka perjuangkan.
“Sasuke, aku mencintaimu,” teriak Sakura, tepat saat ada kereta melintas di atas jembatan yang sebagai penghubung jalan kereta.
.
Hinata berlari pergi, langkah kakinya membawanya ke taman. Taman perumahan di dekat kompleks rumahnya. Tidak biasanya, kali ini taman itu sepi tanpa pengunjung.
“Kenapa menangis?”
Hinata mendongak, “Siapa?”
“Aku Toneri.”
.
.
TBC
.
.
Berniat RnR?
Ini gaje ya, Whatever.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium