A little gift
Disclaimer: Naruto ©Masashi Kishimoto
Warning: OOC, typo(s), alur speed, dll
Don’t like, don’t read.
.
.
Enjoy It^^
.
.
.
When is the best time to tell someone
you love him?
Answer : before someone else does. – dan itu yang
dilakukan seorang Hyuuga Hinata.
.
.
.
Di kediaman Hyuuga, tepatnya di sebuah kamar terlihat
seorang gadis berambut panjang sedang merebahkan diri di tempat tidurnya. Hinata,
nama gadis itu, merutuk kesal dalam hati. Ia tidur menelungkup, menyembunyikan
wajahnya dalam bantal.
“ Bodoh, bodoh, “ ucapnya pelan pada dirinya sendiri.
Hinata tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, tak
pernah merasa sebodoh ini, tak pernah merasa seceroboh ini, tak pernah merasa
begitu dikuasai nafsu, dan terlebih ia merasa begitu egois saat ini.
Ia ingat, tadi pagi ia masih berjalan bersama teman
setimnya, sebelum kejadian yang menurutnya konyol itu terjadi. Memutar otaknya,
dirinya ingat saat di hutan tadi.
.
.
Di
sebuah hutan, nampak tiga orang yang sedang berjalan kaki dengan pelan. Jika
dilihat lebih dekat, satu orang diantaranya ialah perempuan sedangkan dua orang
lainnya laki-laki. Mereka terlihat sedang menyusuri jalan di hutan untuk
bergegas pulang.
Sang
laki-laki berambut coklat dengan tanda segitiga merah terbalik di kedua pipinya
terlihat sedang memperhatikan gadis berambut indigo panjang yang berjalan di
samping kirinya. Kiba, nama pemuda itu, melirik ke arah gadis teman satu timnya
yang terlihat sedang tersenyum senang sambil membawa beberapa tangkai bunga.
Kiba sebenarnya sudah menebak, untuk siapa bunga itu, tapi ia penasaran jadi ia
memastikannya.
“Apa
itu untuk Naruto?” Tanya Kiba pelan. Kiba tahu, kalau Shino yang berada di sebelah kanannya juga
ikut mendengarkan.
Hinata
hanya mengangguk. Tapi pipinya memerah seolah ada pewarna alami yang menghiasi
pipinya saat ia merasa malu akan sesuatu.
Tidak,
bukannya Hinata malu memberi bunga, hanya saja biasanya pihak laki-laki yang
memberikannya. Hinata tahu ini aneh tapi ia tidak perduli, ia ingin memberikan
bunga ini, karena tadi sebelum ia, Kiba dan Shino sampai di hutan ini, mereka
melewati padang bunga, dan bunga yang berada di genggamannya ini
mengingatkannya pada pemuda itu.
Hanya
berjalan beberapa menit lagi dan mereka akan sampai di gerbang Konoha. Desa ninja yang menjadi tempat bernaung
mereka selama ini. Bukannya mereka tidak bisa berlari agar cepat tujuan tapi
sepertinya dengan berjalan kaki, mereka merasa lebih nyaman dan juga menyenangkan
untuk melihat pemandangan setelah menjalani misi panjang.
Hinata
memandang bunga yang berada di genggamannya lagi, tak ia pedulikan tangan
kanannya yang diperban akibat tergores benda tajam saat tadi mengawal klien
saat menjalani misi. Hanya dengan membayangkan memberikan bunga itu pada pemuda
itu saja sudah membuatnya senang. Hinata penasaran bagaimana reaksi pemuda itu
nanti.
Sedang
Kiba yang melihat rona merah di pipi Hinata hanya menggeleng pelan. Berfikir,
kalau saja ia yang menjadi pemuda itu, ia pasti akan merasa senang karena ada
seseorang yang begitu perhatian padanya tanpa meminta imbalan akan sesuatu.
“Andai,
aku punya seseorang seperti itu, ” gumam Kiba pelan namun masih dapat didengar
Shino.
“Tenang
Kiba. Kau pasti akan menemukannya.”
Kiba
meralat ucapan Shino, “Bukan aku, tapi kita.” Seolah menyadarkan Shino, kalau
pemuda itu juga tidak punya seseorang yang seperti itu. Kiba melihat ke arah
depan, dimana anjing kesayangannya itu—Akamaru— sudah berada cukup jauh
darinya.
.
.
Angin bertiup kencang, membuat daun-daun yang masih
melekat dengan kuat pada tangkai pohon melambai-lambai seolah sedang bernyanyi.
Hari ini matahari bersinar cukup terik, namun langit biru dengan awan putih
saling berkejaran menjadi pemandangan yang indah untuk dilihat.
Di sebuah apartement sederhana, terlihat seorang
pemuda keluar dari pintu apartementnya.
Nyatanya meskipun musim panas kali ini begitu menyengat, tak membuat pemuda itu menyurutkan semangatnya
untuk keluar rumah. Pemuda itu menuruni
tangga mengingat letak apartementnya yang berada dilantai dua sambil
bersenandung kecil, membayangkan makanan kesukaannya itu membuatnya senang. Jika dilihat lebih dekat, pemuda itu berambut
pirang dan bermata biru, hampir sama seperti musim panas itu sendiri.
.
.
Naruto
yang telah selesai makan di Kedai Ichiraku kesayangannya hanya menghela nafas
pelan. Pemuda berambut pirang itu heran, ia tidak mengerti apa yang terjadi
pada dirinya. Tiba-tiba saja saat ia keluar dari kedai itu, dirinya dikerubungi
para gadis tanpa sebab yang jelas. Tentu saja tanpa sebab yang jelas karena
mengingat tidak ada event special untuk hari ini. Dimana Konohamaru saat ia
membutuhkannya? Para gadis itu mengerubunginya seperti para semut yang
menemukan gula. Naruto yakin Ratu Semut tidak akan suka ini.
Namun
sebagai warga Konoha yang baik, Naruto mulai memasang ekspresi terbaiknya,
menampilkan senyum lebar. Sebenarnya Naruto tidak masalah kalau mereka meminta
tanda tangan, foto bersama ataupun memberikan hadiah. Tapi saat, salah seorang
dari kerumunan para gadis itu mencium pipinya lalu pergi tanpa pamit diikuti
teman-temannya. Naruto merasakan sesuatu yang aneh. Bukan, bukan, bukan sesuatu
seperti debaran aneh pada dadanya. Tapi sesuatu seperti firasat buruk.
Seharusnya ia merasa senang bukan? namun
anehnya ia merasa kalau hal itu adalah milik seseorang atau lebih tepatnya hak
seseorang dan Naruto tahu siapa seseorang itu.
Tepat
ketika ia mengalihkan pandangannya ke depan, beberapa meter di depannya, ada
seorang gadis yang akhir-akhir ini menghantui kepalanya.
.
.
Kiba
memandang ke samping, ke arah teman setimnya dengan khawatir. Pasalnya Kiba
tidak bisa menebak ekspresi apa yang muncul pada wajah gadis itu. Hinata tidak
tersenyum, wajahnya datar, dan itu lebih mengerikan daripada melihat Chouji
—temannya yang lain—mengamuk karena dikatakan gemuk.
Mereka
sudah sampai di desa dan bergegas akan menuju ke arah kantor Hokage untuk
melapor bahwa misi mereka telah selesai. Namun ketika melewati jalan dimana ada
Kedai Ichiraku yang menjadi langganan mereka untuk makan ramen. Mereka disuguhi
pemandangan Naruto yang dikerubungi para gadis. Kiba masih dalam proses
ingatannya tadi ketika sadar gadis yang berada di sampingnya telah berjalan ke
depan.
Hinata
sudah mendahuluinya ke depan untuk menemui pemuda pujaan hati gadis itu. Gadis
itu berjalan pelan tapi agak menghentak. Dan Kiba hanya bisa menggumam pelan
saat melihat ekspresi pemuda itu. Benar-benar tidak peka, tidak bisa membaca
suasana hati seseorang.
“Sudahlah
Kiba. Ayo kita pergi.” Ajak Shino, yang ternyata masih berada di sampingnya
juga.
“Tunggu.
” ucap Kiba karena Shino telah berjalan pergi. Kiba menghela nafas, yah
sepertinya mereka harus memikirkan alasan mengapa Hinata tidak ikut melapor
kali ini.
Dan,
Kiba hanya tersenyum miris saat melihat
hal yang terjadi sesaat sebelum ia menyusul Shino. Ia tidak bisa ikut campur
urusan mereka kali ini. Biarlah mereka yang menyelesaikan masalah mereka.
.
.
Naruto
tersenyum lebar saat memandang ke depan. Di depannya ada seorang gadis yang
akhir-akhir ini muncul dipikirannya.
“HINATAA,” teriaknya keras dengan cengiran
lebar pada Hinatanya. Diam-diam dalam
hati, Naruto menyukai panggilan itu.
Entahlah,
ia merasa begitu gembira saat bertemu gadis itu. Mereka jarang bersama karena
menjalani misi masing-masing dan itu membuatnya rindu. Ugh, Naruto merasa kalau
perasaannya semakin mendalam.
Hinata berjalan cepat tanpa tersenyum, membuat
senyum lebar Naruto memudar saat gadis itu tepat berada di depannya. Naruto tidak
tahu, ia hanya merasa ada yang salah dengan ekspresi gadis itu. Itu tidak
seperti Hinata yang biasanya.
“Hinata,
kau kenapa?” Naruto bertanya tepat ketika gadis itu berada di depannya.
Bahkan
sebelum sempat mendapat jawaban, kepalanya sudah dihadiahi tangkai bunga oleh
sang gadis. Tidak sakit memang, tapi ucapan selanjutnya dari gadis itu yang
membuatnya terdiam.
“Naruto
no baka,” Teriak Hinata dengan keras.
Naruto
mematung, memandang dalam diam punggung Hinata yang menjauh sebelum sempat ia
kejar. Gadis itu berlari pergi tanpa menoleh ke belakang.
Naruto
menunduk, ia berfikir apa yang salah. Kemudian dirinya mengambil, beberapa
tangkai bunga yang terjatuh. Gadis itu, Hinatanya,
memukulnya dengan tangkai bunga.
.
.
Dalam
apartementnya, Naruto berdiri memandang lama, buket bunga yang ia letakkan di
tempat tidurnya. Bahkan bunga itu tak dapat disebut buket karena tak ada
plastik yang membungkusnya. Bunga itu hanya terikat oleh pita dan ujung bunga
itu terpotong tak rapi. Seperti dipotong menggunakan kunai. Pemuda itu mengernyit, tunggu dulu, apa Hinata memotongnya
sendiri? Apa itu artinya gadis itu membuatnya sendiri? Kemudian, Naruto ingat,
kalau gadis itu baru pulang dari misi. Mungkinkah, gadis itu memetiknya
sendiri?
Naruto
menghela nafas lelah. Entah kenapa, ia merasa bersalah atas suatu hal yang
belum ia ketahui. Ia lalu meletakkan bunga itu—bunga berwarna kekuningan dengan
kelopaknya yang lebar— di meja samping tempat tidurnya. Barang pemberian gadis
itu selalu ia pisahkan dari yang lain. Selalu ia letakkan di tempat tersendiri.
Seperti gadis itu yang punya ruang tersendiri di hatinya.
.
.
Hinata
bangun ketika dirasa ada sesuatu yang mengusik pendengarannya. Ia bahkan baru
sadar kalau dirinya belum berganti baju dari tadi siang. Ia sadar, dirinya
tertidur setelah lelah merutuk yang tanpa sadar membuat lelehan air jatuh dari
matanya menuruni pipi. Hinata membuka pintu kamarnya, ia lihat Hanabi yang serius
menatapnya.
Sebelum
sempat bertanya, Hanabi berkata, “ada seseorang yang ingin bertemu Nee-san di
depan.”
Hinata
mengangguk. Ia rasa ia tahu siapa orangnya. Dan ia lebih gugup dari biasanya.
Hinata bertekad untuk meluruskan kesalahpahaman ini.
Setelah
berganti baju, Hinata pergi ke depan pintu rumah mereka. Hinata tidak tahu
kenapa Naruto tak pernah mau masuk ke dalam rumahnya, ia selalu bilang ia hanya
sebentar saja, atau mungkin Naruto takut pada ayahnya, Hinata menggeleng,
menghilangkan pikiran anehnya.
Ketika
ia membuka pintu depan, ia menemukannya, pemuda itu. Berdiri bersandar pada
dinding sebelah pintu rumahnya sambil menunduk.
Naruto
mengangkat kepalanya ketika dirasa orang yang ditunggunya telah datang.
“Hinata,”
panggil Naruto pelan, lalu tanpa aba-aba menarik tangan Hinata agar gadis itu
berdiri tepat di hadapannya. Sebelum gadis itu sempat mengucapkan sesuatu,
Naruto mendahuluinya.
“Aku
bukan orang yang mudah mengerti akan sesuatu. Kau juga tahu itu,” ujar Naruto
menatap Hinata dengan sendu.
“Jadi,
kalau kau sedang sakit, katakanlah sakit. Kalau aku berbuat salah, jelaskanlah
padaku apa yang salah.” Lanjut Naruto lagi sambil menggenggam tangan Hinata
lebih erat.
Hinata
meringis tatkala tangan Naruto memegangnya terlalu erat. Ia ingat kalau ia
belum mengobati lukanya. Bukannya ia tidak bisa mengobati, mengingat ia juga
mempunyai kemampuan medis, hanya saja ia terlalu lelah. Ia berniat mengobatinya
setelah memulihkan tenaganya. Lagipula bagi Hinata, terluka seperti itu adalah
hal yang biasa. Dalam beberapa hari juga akan sembuh.
Melihat
ekspresi gadis itu yang meringis kesakitan. Naruto tersadar akan suatu hal, ia
melihat tangan kanan gadis itu yang digenggam oleh tangan kirinya. Terdapat sebuah
perban yang dililitkan pada telapak tangan gadis itu. Naruto merasa bersalah,
bagaimana ia tidak menyadari ini. Ia terlalu fokus untuk berbicara mengenai hal
tadi siang tanpa sempat memperhatikan kondisi gadis itu.
Naruto
melihat wajah gadis itu dengan lekat. Gadis itu terihat pucat, ia bisa melihat
wajah sembab pada gadis itu, meskipun hanya diterangi cahaya temaram dari lampu
di sekitar mereka. Mengingat jarak di
antara mereka cukup dekat.
“Maaf.
Apa ini sakit?” Naruto bertanya sambil melonggarkan genggamannya, tanpa
melepasnya. Ia hanya sesekali mengusap pelan menggunakan ibu jarinya.
“Tidak
apa-apa.” Hinata menjawab dengan pelan. Gadis itu menunduk melihat tangannya
yang digenggam Naruto. Usapan tangan Naruto pada tangannya membuat hatinya
perlahan menghangat.
Namun
bagi Naruto, Hinata yang tidak mau memandangnya bukanlah hal yang baik. Ia
berpikir, mungkin saja gadis itu masih marah padanya. Lihat, gadis itu bahkan
tidak mau berkata mengenai lukanya pada dirinya. Padahal gadis itu biasanya
akan berkata jujur padanya. Dan ia merasa tidak berguna kali ini.
“Kita
bicara nanti saja. Istirahatlah.” Naruto berlalu pergi setelah mengusap puncak
kepala gadis itu dengan pelan. Naruto sudah memutuskan dalam hati, ia akan
memberi waktu pada gadis itu. Mungkin saja Hinata memang benar-benar tidak
ingin bertemu dengannya. Dan pemikiran mengenai hal itu membuat hatinya nyeri.
“Naruto.”
Gumam Hinata lirih. Hinata memandang sendu punggung pemuda itu. Namun ia hanya
diam melihat kepergian Naruto. Hinata lalu mendongakkan kepalanya ke atas.
Menghembuskan nafas lelah, ia melihat langit malam tanpa bintang.
Bintang-bintang seolah nampak enggan bertatap muka dengannya. Ya, tanpa sadar
waktu berlalu begitu cepat padahal ia merasa hanya tidur sebentar tadi.
.
.
Hari-hari
berlalu dengan cepat. Sepeti biasa, entah bagaimana keadaanya, Naruto selalu
berada di Kedai Ramen langganannya. Naruto memandang ramennya dalam diam. Uap
terlihat mengepul dari makanan yang tersaji di hadapannya. Tapi entah kenapa ia
tidak nafsu untuk memakannya.
Naruto
mengingat memorinya malam itu, terakhir kali ia bertemu Hinata. Dan sampai
sekarang ia belum bertemu gadis itu lagi. Naruto menghela nafas lelah. Baginya memberikan
waktu pada Hinata bukanlah hal yang mudah. Mengingat dirinya bukanlah orang
yang penyabar. Apalagi dengan kesalahpahaman diantara mereka.
Akhir-akhir
ini Naruto merasa ada yang salah pada tubuhnya. Rasanya sesak di suatu tempat
di rongga dadanya. Ia merasa tidak mempunyai penyakit selama ini. Atau mungkin
ini serangan jantung? Naruto menggeleng memikirkan pendapatnya. Mungkin ia bisa
bertanya pada Sakura nanti.
Baru
saja Naruto akan menyuapkan mie ke dalam mulutnya, sisi sebelah kiri Naruto
bergoyang, diikuti sisi sebelah kanannya. Naruto tersedak.
“Kau
kenapa, Naruto?” Tanya gadis berambut merah jambu yang berada di sisi sebelah
kiri Naruto, melihat Naruto terbatuk-batuk.
Sambil
menahan perih di tenggorokan, Naruto memandang sisi sebelah kirinya, terdapat
Sakura disana. Baru saja ia berikir untuk memeriksakan dirinya kepada gadis
itu. Sang ahli medis malah membuat dirinya hampir mati tersedak. Baiklah,
Naruto merasa pemikirannya kali ini berlebihan. Lagian bukan salah Sakura,
pemuda berambut hitam berwajah datar di sebelah kanannya itu juga ambil bagian.
“Tidak
apa-apa.” Naruto menjawab dengan lirih, kemudian melanjutkan makannya dalam
diam.
Sakura
melihat ada yang salah dengan pemuda itu. Pemuda itu lebih diam dari biasanya.
Tapi urung untuk bertanya, ia kemudian memesan ramen. “Kau mau juga Sai?” Tanya
Sakura pada pemuda di sebelah kanan Naruto.
Sai
hanya mengangguk tanpa berniat menjawab lebih. Ia berfokus pada buku yang
dibawanya. Berniat membaca sambil menunggu pesanannya datang.
“Apa
itu mengenai gadis Hyuuga itu Naruto?” ucap Ayame, pelayan di kedai Ichiraku
langgananya sambil memberikan pesanannya pada Sakura dan Sai.
“Uhuk-uhuk.”
Lagi-lagi Naruto tersedak dibuatnya. Naruto
meminum air dengan cepat.
Naruto
memandang Ayame dalam diam, berfikir mengapa dirinya begitu mudah tertebak. Apa
di dahinya tertulis nama Hinata? Sepertinya tidak. Ayame hanya tersenyum karena
merasa pertanyaannya tepat. Bukan hal yang aneh bagi Ayame, mengingat dirinya
tahu hubungan macam apa yang terjalin antara Naruto dan pewaris Hyuuga. Karena
sejak kejadian penculikan Hanabi waktu itu, hubungan keduanya memang mulai
tersebar. Namun yang membuat aneh adalah para fans Naruto tetap tidak menyerah
dan malah semakin banyak.
“Ada
apa antara kau dan Hinata, Naruto?” Sakura bertanya sambil memandang Naruto,
tatapannya menyelidik.
“Apa
terjadi sesuatu yang tidak ku ketahui?” ucap Sakura, melanjutkan interogasinya
pada pemuda berambut pirang itu.
“Kalau
terjadi sesuatu padanya atau kau menyakitinya. Awas saja Naruto.” Sakura
mengepalkan sebelah tangannya.
Naruto
memandang Sakura dengan ngeri. Pasalnya pukulan Sakura tidak bisa diremehkan.
Bukannya takut, tapi ia tidak suka bertanding dengan perempuan. Naruto memang
tahu, kalau hubungan antara Sakura dan Hinata menjadi lebih erat dari
sebelumnya. Tapi ia tidak tahu kalau Sakura bisa seprotektif ini. Rasanya Sakura
seperti menjadi pengganti Neji.
Ah,
berbicara mengenai Neji, Naruto jadi merindukan sosok pemuda itu. Jangan dikira
ia menyukai Hinata karena merasa bersalah pada Neji dan memilih
mempertanggungjawabkannya melalui Hinata. Tidak, itu tidak benar. Ia memilih
Hinata, karena tahu hatinya terpaut pada gadis itu, bukan yang lain.
Naruto
memandang ramennya, ia menyerah, ia tidak bernafsu untuk melanjutkan makannya
lagi. Mencoba menemukan cara untuk kabur dari situasi ini ia kemudian melirik Sai
yang sedang memakan Ramennya dalam diam, lalu melihat buku yang dibawa Sai.
‘Cara Memikat Hati Wanita’ ucap Naruto dalam hati. Ia lalu berdiri dan membayar
pesanannya.
Sebelum
pergi, Naruto menyempatkan diri untuk berkata, “Sai, aku pinjam bukumu.” Kemudian
mengambil buku milik Sai yang berada di dekatnya.
Sai
memandang kepergian Naruto dengan pandangan yang sulit diartikan. Bagus, ia
sudah keduluan Naruto. Padahal ia baru menemukan buku itu untuk ia baca dan ia
terapkan pada gadis yang akhir-akhir ini membuat jantungnya berdetak aneh. Pada
gadis Si Pemilik Toko Bunga.
“Laki-laki
Ninja Konoha memang susah dimengerti
ya.” Ayame berkata sambil menopangkan dagu melihat Naruto yang pergi.
Sakura
mengangguk membenarkan, “Sulit dimengerti.” Sakura bergumam sambil membayangkan
Sasuke.
Para
gadis itu membicarakan tentang laki-laki
Ninja Konoha seolah tak ada laki-laki
Ninja Konoha di sebelah mereka.
.
.
Hinata
membuka pintu rumahnya dengan pelan. Menebak-nebak siapa gerangan yang
berkunjung pada malam hari seperti ini. Kali ini ia keluar rumah hanya
mengenakan baju lengan pendek dan celana panjang sebatas lututnya.
Naruto
memandang Hinata dengan mata tak berkedip. Sedang Hinata mengerjap tak mengerti
dengan apa yang dilakukan pemuda di depannya. Naruto hanya diam sambil
memandanginya dengan intens, dan hal itu membuat Hinata merasa aneh, dan gugup.
Baru saja Hinata ingin menegurnya, Naruto telah mengatakan sesuatu yang membuat
pipinya memerah.
“Kau
cantik.”
“Eh?”
Mata Hinata melebar sebentar kemudian ia menunduk sambil mengangguk malu. Tidak
biasanya Naruto seperti ini.
Naruto
kemudian berdehem sebentar kemudian ia berkata, “Oh ya, sebenarnya aku kesini
karena Naruto asli ingin mengatakan kalau ia ingin pergi denganmu besok pagi.”
Naruto berkata sambil menekankan kata Naruto asli.
Hinata
bertanya dalam hati, jadi ini bukan Naruto asli?
“Jadi
apakah kamu mau?” Tanya Naruto ketika tak mendapat respon dari Hinata. Sepertinya
Naruto yang satu ini tidak sabaran.
“Iya.”
Hinata hanya mengangguk.
“Baiklah.
Aku akan kemari lagi besok pagi. Ehm, maksudku Naruto yang asli.”
Hinata
hanya mengangguk lagi, ia bingung apa yang harus ia katakan. Sepertinya Naruto
ingin membahas masalah mereka besok pagi. Sebenarnya tidak dapat dikatakan
masalah juga, karena Hinata ingat kalau hal ini hanya karena tingkah lakunya
yang kekanakan, andai ia bisa lebih mengontrol emosinya. Sebelum pikirannya
berlanjut kemana-mana, satu kalimat yang Naruto ucapkan membuatnya mengalihkan
atensinya.
“Sebelum
aku pergi, boleh aku minta satu hal padamu?”
Sebelum
Hinata sempat bertanya, Naruto sudah menempelkan bibirnya pada pipi Hinata.
“Arigatou,”
ucapnya lalu menghilang. Bunshin Naruto menghilang dalam kepulan asap.
Meninggalkan Hinata terpaku dalam diam mencerna hal yang baru saja terjadi.
Sedang,
Naruto di kamarnya sendiri, mengacak rambutnya kesal. Bunshin sialan, pikirnya.
Naruto berpikir bahwa bunshinnya mencari kesempatan dalam kesempatan yang ia
berikan. Tahu begitu, Naruto sendiri yang akan bertanya langsung pada Hinata.
Iya, Naruto kesal walaupun bunshin itu bagian dari dirinya sendiri. Walaupun
pada akhirnya, ingatan bunshinnya akan menjadi ingatannya juga. Tapi apapun
mengenai Hinata, Naruto ingin merasa egois.
.
.
Naruto
mengajak Hinata ke suatu tempat, tempat itu luas seperti lapangan tempat
bermain, cocok untuk berekreasi untuk melepas penat. Mereka berteduh di bawah
pohon yang rindang, masih dalam posisi berdiri berdampingan. Belum ada yang
memulai percakapan. Hanya menikmati pemandangan langit biru yang membentang di
atas.
Hinata
memejamkan mata sejenak, angin bertiup mengibarkan rambut indigonya yang
panjang. Rasanya menenangkan dan menghilangkan rasa gundahnya. Sedang Naruto
memandang awan yang berarak di langit. Awan-awan seperti membentuk wajah-wajah
yang dirinya kenal.
Naruto
ingat tempat ini. Tempat dimana ia, Sasuke dan Sakura, melihat Kakashi Sensei
bersama seorang gadis waktu itu. Saat itu, mereka mengintip dengan bersembunyi
di atas pohon, tetapi akhirnya ketahuan juga. Saat mereka masih bersama-sama
saat di akademi. Kenangan yang indah, siapa yang tahu pada akhirnya waktu
memisahkan mereka bertiga. Tapi tak apa segalanya telah membaik kembali.
Dan
Naruto bersyukur karena pada akhirnya ia mendapat kado terbaiknya. Naruto mengalihkan
pandangannya pada Hinata. Tatapan keduanya bertemu.
“Hinata.” Naruto memanggil Hinata dengan
lembut. Mata shappire Naruto menatap tepat di kedua bola mata Hinata.
“Hmm?”
jawab Hinata dengan pelan. Hinata memberanikan diri untuk tetap fokus pada tatapan
lembut dari kedua bola mata biru yang menghanyutkannya.
“Aku
minta maaf untuk semua yang ku lakukan. Aku—” sebelum sempat menyelesaikan
kata-katanya Hinata memotong kalimatnya.
Hinata
menggeleng pelan, lalu berkata, “Tidak, itu bukan salah Naruto-kun. Aku yang
salah. Aku yang kekanakan. Aku..”
Hinata
menggigit bibir bawahnya, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hinata merasa
sangat egois mengingat sikapnya waktu itu, padahal ia tahu itu bukan kesalahan
Naruto.
Naruto
maju selangkah, memperdekat jarak antara dirinya dan Hinata.
“Hinata,
katakana apa yang kau rasakan.”
“Aku
hanya tidak suka Naruto-kun dekat dengan gadis lain.” Hinata menunduk,
katakanlah dirinya egois, tapi memang itu yang ia rasakan saat itu.
Naruto
tersenyum tipis. “Aku juga, merasakan hal yang sama sepertimu. Saat melihatmu
bersama pemuda lain.”
“Tapi
lain kali, cobalah untuk bicara jujur padaku terlebih dahulu. Jangan asal
memukulku.” Lanjut Naruto diiringi kekehannya.
“Maaf.”
Hinata kembali menunduk, merasa bersalah.
“Hmm,
sudahlah.” Naruto menghela nafas lelah melihat Hinata yang tidak mengangkat
pandangannya
”Hinata,
kemarilah,”ucap Naruto, menghapus jarak di antara mereka lalu memeluk Hinata dalam sekejap.
Namun
sesosok bayangan muncul tiba-tiba. Membuat keduanya—Naruto dan Hinata— menoleh
bersamaan. Menyadari siapa yang datang, Naruto melepas pelukannya pada Hinata
dengan tak rela.
“Kau
mengganggu saja,”ujar Naruto pada bunshinnya.
Bunshin
Naruto mendengus, “Hah? Ini kan permintaanmu.” Katanya lalu memberikan sebuket
bunga pada Naruto yang asli.
“Oh,
benar juga. Sekarang pergilah.” Setelah Naruto mengibaskan sebelah tangannya.
“Hush-hush.”
“Huh.”
Untuk kedua kali, Bunshin itu mendengus kesal lalu menghilang dalam kepulan
asap.
Hinata
tertawa geli. Melihat interaksi antara Naruto dan bunshinnya. Aneh saja,
mengingat mereka berasal dari tubuh yang sama.
Naruto
yang melihat Hinata tertawa hanya mengerjapkan bola matanya. Kemudian ikut
tersenyum lebar. Ini yang ditunggunya. Gadis itu tersenyum kembali, bahkan ia
tertawa. Dan itu lebih membahagiakan dari apapun. Naruto tidak akan melewatkan
kesempatan ini. Andai saja Naruto tahu kalau dengan memanggil bunshinnya dapat
membuat Hinata tersenyum. Naruto akan sering-sering memanggil mereka.
“Ini
untukmu.” Naruto mengulurkan sebuket bunga.
“U-untukku?”
Hinata bertanya dengan pandangan tak percaya. Entah kenapa disaat seperti ini
ia mendapati dirinya yang dulu, gugup dan malu.
Naruto
mengangguk membenarkan. Ketika melihat lengkungan di bibir gadis itu, Naruto
merasa hatinya perlahan menghangat.
“Untuk
seseorang yang ku cintai, yang tidak pernah duduk diam, yang selalu berlari,
dan melakukan sesuatu untukku.”
“Arigatou.”
Hinata memegang bunga itu erat, seolah ia menggenggam hati sang pemberi bunga.
Naruto
merasa ia tidak akan pernah melepas gadis itu lagi. Gadis itu seperti bunga
yang diam-diam tumbuh di hatinya. Bunga berwarna aneh tapi anehnya membuat
hatinya tenang daripada warna-warna terang yang lain. Maka dari itu, ia tidak
akan rela. Tidak akan rela jika bunga di kehidupannya itu terjatuh dalam
genggaman orang lain. Naruto berjanji dalam hatinya untuk menjaganya. Menjaga
orang yang pelan-pelan dalam diam menjadi orang yang berarti di matanya.
.
.
Hinata
menatap langit dari balik jendela kamarnya. Terlihat cahaya mentari sore mulai
mendominasi langit yang tadinya berwarna biru.
Hinata
memandang lama buket bunga di tangannya, bunga itu berwarna ke ungu-unguan.
Bentuknya kecil-kecil, kelopaknya bersegi empat atau lima. Tadi dirinya sempat
bertanya pada pedagang bunga apa nama bunga itu, karena ia tidak menemukan
temannya yang bernama Ino—yang punya toko bunga—orang itu berkata padanya kalau
nama bunga itu Heliotrope, Helio yang berarti matahari dan trope yang artinya
menyukai.
Hinata
tersenyum tipis, menyukai matahari ya, pikirnya dalam hati. Ah, kenapa Hinata
merasa kalau Naruto menyindirnya? Ia memang menyukai pemuda itu yang seperti
matahari baginya. Lebih dari itu, Hinata menyukai arti dari bunga yang
diberikan kepadanya, yang artinya kesetiaan dan cinta yang abadi.
“Nee-san, jangan tersenyum terus.” Suara itu
mengagetkan Hinata.
Hinata menengok ke sampingnya dimana ada Hanabi yang sedang
bersandar pada pintu kamarnya, melihat ke arahnya, lebih tepatnya ke arah
bunganya, kelihatannya gadis kecil itu tertarik. Hinata memicingkan mata, dalam
hati ia berkata, sejak kapan adiknya itu ada disini?
“Aku hanya tidak mau kalau sampai ada yang mengatakan
kalau pewaris klan Hyuuga jadi gila gara-gara jatuh cinta.”
“Aku
tidak gila, Hanabi.” Hinata memprotes kata-kata Hanabi.
“Lalu
kenapa senyum-senyum sendiri seperti itu?” Tanya Hanabi.
“Aku…
Aku hanya—” Hinata kehilangan kata-kata. Mana mungkin ia bilang pada adiknya,
kalau ia sangat menyukai bunga pemberian Naruto kan? Ia akan diledek
habis-habisan nanti. Jadi yang dapat dilakukannya hanya menggigit bibir
bawahnya, menelan kembali kata-kata yang hampir ia lontarkan.
“Atau
jangan-jangan, Nee-san mulai berhalusinasi yang aneh-aneh ya?”
“A-apa
maksudmu?” Tanya Hinata tidak mengerti.
“Yah,
mungkin saja Naruto-nii setuju untuk memberikanku keponakan, jadi Nee-chan
membayangkan kalau Naruto-nii membawa Nee-chan ke ranjang dan…” Sebelum Hanabi
sempat melanjutkan perkataannya, kakaknya itu sudah berteriak keras.
“HANABIIII,”
Teriak Hinata dengan keras.
Hinata
tidak perduli seisi rumah mendengar suaranya. Pipinya memerah, antara malu,
marah dan kesal. Sedang Hanabi hanya terkikik geli dan berlalu pergi sebelum
kena pukul kakaknya. Walaupun ia tahu, kakaknya itu tidak akan memukulnya. Oh,
atau sebelum kakaknya itu sempat memukulnya, Kakak kesayangannya itu akan
pingsan duluan seperti kebiasaannya yang dulu.
Hinata
menggeleng tidak percaya akan tingkah laku adiknya. Sejak kapan adiknya seperti
itu. Hinata rasa, Hanabi sudah mulai bertingkah sebelum kejadian waktu itu—penculikan
Toneri. Oke, lupakan soal itu. Bicara soal pergi ke ranjang… Hinata memang
pernah membayangkannya. Naruto
menggendongnya ke kamar, lalu merebahkannya di ranjang, dan.. Tunggu-tunggu,
Kenapa ia jadi membayangkannya? Hinata menggelengkan kepalanya keras, mengusir
bayangan-bayangan aneh yang melintas di otaknya. Ia merasa otaknya mulai tidak
bekeja normal. Hinata merasa aliran darahnya berjalan cepat menuju pembuluh
darah yang berada di otaknya.
Ya
Tuhan, Hinata merasa otaknya panas dan pipinya juga. Ingatkan dirinya untuk
tidak memberi Hanabi jatah nanti malam. Ekhm, maksudnya jatah makan malam.
Walau sepertinya ia tidak akan tega melakukan hal itu.
.
.
.
Just be yourself and one
day you will find someone who loves you
for everything you are. – dan itu yang dilakukan seorang Uzumaki
Naruto.
.
.
.
End.
AN:
Hai. I’am back.
So, I bring a short story again about Hinata and Naruto.
Hope you Enjoy
it. Ini fic gajeku yang kedua.
Sebenarnya Ini
hanya tentang Hinata yang cemburu karena salah satu fans Naruto mencium pipinya
dan Naruto yang memberikan hadiah bunga seperti yang dilakukan Hinata padanya.
Terimakasih sudah
menyempatkan diri untuk membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar