Selasa, 02 Mei 2017

Everything Has Changed



Everything Has Changed
Disclaimer: Naruto ©Masashi Kishimoto
Karizz-taka (Karizzta)
Present
.
.
.
Enjoy It^^
.
.
Awal
.
.
Hal pertama yang Hinata sadari adalah bahwa dirinya sedang terbaring di dalam kamarnya. Hinata merasa sedang dalam keadaan yang tidak baik. Hinata mencoba untuk bangun dari tidurnya, tetapi kepalanya terasa berat. Rasa pusing mendera Hinata, seperti benda di sekelilingnya berbayang dan berputar ke segala penjuru. Hinata mencoba berkata-kata tapi lidahnya terasa kelu. Dirinya dapat mendengar suara berisik yang konstan dan terus menerus, seperti bunyi air yang jatuh dengan kapasitas yang besar dari arah jendela di sebelah kanannya yang tertutup korden. Bunyi itulah yang membangunkan gadis berambut panjang itu.
Hinata mencoba membuka mata sekali lagi. Namun dapat dirinya rasakan ada sinar yang membutakan penglihatannya. Ketika mata Hinata tertutup lagi, Hinata mendengar suara pintu yang tergeser. Sekali lagi Hinata coba membuka mata, tetapi kini lebih perlahan. Semuanya terlihat buram, namun lama kelamaan Hinata dapat menangkap warna langit-langit kamarnya dengan jelas. Saat Hinata mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Hinata mencoba menengok ke arah kiri, tapi nyarasakan lehernya terasa kaku. Sebenarnya, berapa lama Hinata tertidur?! tanya Hinata pada dirinya sendiri.
Sekali lagi Hinata mencoba untuk berbicara, namun tenggorokannya terasa kering. Hinata mencoba menelan ludah dan membasahi kerongkongannya tetapi mulutnya terasa bagai ada sesuatu yang mengganjal, seperti Hinata telah menelan duri ikan, rasanya sangat sakit. Hinata tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Ia  pikir hari telah malam, tidak ada sinar matahari yang masuk dari sela-sela korden. Saat Hinata mencoba bangun dengan bertumpu pada kedua tangan yang masing-masing berada di sisi tubuhnya, Hinata merasa akan jatuh kembali sebelum ada tangan seseorang yang menyangga punggungnya. Hinata mendongak ke atas, seseorang itu seorang gadis mungil yang memandangnya dengan tatapan khawatir. Dia adiknya, Hanabi.
Hinata mendengar suara air yang dituang di gelas. Hanabi menyangga bantal di belakang kepala Hinata, agar posisi kepala Hinata lebih tinggi, membuatnya berbaring dengan lebih nyaman kemudian menyuruhnya meminum air. Hinata menurut. Lagipula Hinata merasa haus dan sakit hampir di seluruh bagian tubuhnya, mungkin efek dari tidur lama. Hinata alihkan perhatiannya untuk mengenali sekelilingnya. Ini benar kamarnya, karena Hinata melihat jendela besar di sebelah kanannya dan rangkaian bunga lavender, bunga favoritnya, di atas sebuah meja.
“Sudah merasa lebih baik Kak?” tanya Hanabi kepadHinata, dengan suara berbisik.
Hinata mengangguk. Hinata sebetulnya ingin bertanya kepadanya mengenai beberapa hal yang terjadi, tapi ia urungkan karena tenggorokannya masih terasa sakit.
“Jangan dipaksa Kak. Hanabi keluar dulu, sebentar lagi makan malam. Akan kusiapkan untuk Kakak juga.” Dengan itu, Hanabi keluar dari kamarnya diiringi suara pintu yang tertutup.
Hinata  menatap langit-langit kamarnya, warna keabu-abuan memenuhi penglihatannya. Hinata menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memorinya. Hinata masih ingat, hari itu, di suatu sore yang mendung, Hinata sama sekali tidak mempunyai firasat apapun. Hinata  berdiri di sebuah halte dekat sekolah. Sendirian, menunggu seseorang yang katanya akan menjemputnya. Melewatkan bis terakhir yang melewati sekolahnya. Bola mata Hinata berkali-kali melirik dengan gelisah ke arah telepon genggam yang ia pegang. Entah sudah berapa kali Hinata mencoba menghubungi kakaknya, tapi tak ada balasan. Kakaknya tadi mengirimkan pesan, mengatakan bahwa ia akan menjemputnya. Tapi ini hampir satu jam berlalu dan ia tak kunjung datang. Gelisah mulai menghampirinya, ini sudah hampir malam. Matahari mulai tenggelam, menyisakan warna merah bercampur jingga di langit.
Tuk.Tuk.Tuk. suara yang terbentuk dari sepatu yang terbentur aspal jalanan akibat buah dari ketidaksabaran Hinata mulai memenuhi telinganya.  Hinata ketuk-ketuk kaki kanannya yang diselubungi sepatu hitam berkaos kaki putih, mencoba mengalahkan detak jantungnya sendiri. Hinata juga menggigit-gigit nyanya ibu jari kanannya ketika yang ditunggu tak muncul. Bulir-bulir keringat mulai hadir di pelipisnya, entah kenapa Hinata  merasa cemas bukan main, pasalnya kakaknya hampir tak pernah mengingkari janji. Jika kakaknya itu tidak bisa datang maka ia akan mengatakan atau menghubunginya terlebih dahulu. Hinata mengedarkan pandangan lurus ke depan, jalanan sepi, tak biasanya.
Angin bertiup, menerbangkan beberapa helai rambut hitam panjangnya. Hinata melihat ke atas, langit sekarang gelap diliputi awan, padahal tadinya masih cerah walau tak dihiasi bintang. Rintik hujan turun perlahan, membasahi jalan. Teringat, bus yang lewat tadi adalah bus terakhir yang melewati jalan di sekolah. Perasaannya mulai tak enak. Lagi, Hinata melihat ke jalanan yang sepi. Hinata memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. Berlari pelan sambil melihat sekeliling, barangkali Hinata dapat bertemu kakaknya di jalan.
Hinata berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahnya yang basah. Hujan turun dengan deras. Mungkin orang-orang yang nantinya melihat, akan berpikir Hinata bodoh, dimana Hinata bisa naik bus atau berteduh di depan toko. Tapi baginya saat itu sudah terlanjur. Jika basah, basah saja sekalian. Lagipula Hinata tadi berniat sekalian mencari kakaknya. Syukur-syukur ketemu. 
Melewati jalan yang biasa Hinata lalui untuk pulang ke rumah. Tiba-tiba langkah kakinya berhenti. Telinga Hinata mendengar suara aneh, seperti suara benda terjatuh dan teriakan seseorang. Hinata merasa familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan panca inderanya, Hinata mendengar suara-suara itu dari gang di depannya. Ada banyak gang di perumahan ini. Tapi suara itu berasal dari gang sebelah kiri di depannya.
Tap. Tap. Tap. Pelan, pelan, pelan. Ia langkahkan kakinya sepelan mungkin, Hinata mencoba menengokkan kepalanya. Dan yang Hinata lihat adalah sekumpulan pemuda yang babak belur. Satu orang yang mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup, tiga orang yang masih memukuli seseorang yang sudah terbaring tidak berdaya. Dan yang paling membuat mata Hinata terbelalak, dirinya yakini orang yang terbaring bersimbah darah itu adalah kakaknya.
Benar, Hinata memang menemuinya di jalan, hampir sekarat berlumuran darah di sebuah gang sepi di pinggir jalan.
Semuanya bagaikan bergerak  lambat. Pandangannya beralih dari tubuh Kakaknya ke wajah orang-orang di sekitarnya yang mulai menghentikan kegiatannya kemudian berlari pergi. Kemudian, satu hal yang Hinata ingat hari itu adalah suara teriakannya yang memekakkan telinga, menembus suara derai air hujan yang jatuh.
Lalu semuanya gelap.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium