Everything Has Changed
Disclaimer: Naruto ©Masashi Kishimoto
Karizz-taka
(Karizzta)
Present
.
.
.
Enjoy
It^^
.
.
Awal
.
.
Hal pertama yang Hinata sadari
adalah bahwa dirinya sedang terbaring di dalam kamarnya. Hinata merasa sedang dalam
keadaan yang tidak baik. Hinata mencoba untuk bangun dari tidurnya, tetapi
kepalanya terasa berat. Rasa pusing mendera Hinata, seperti benda di sekelilingnya
berbayang dan berputar ke segala penjuru. Hinata mencoba berkata-kata tapi
lidahnya terasa kelu. Dirinya dapat mendengar suara berisik yang konstan dan
terus menerus, seperti bunyi air yang jatuh dengan kapasitas yang besar dari
arah jendela di sebelah kanannya yang tertutup korden. Bunyi itulah yang
membangunkan gadis berambut panjang itu.
Hinata mencoba membuka mata sekali
lagi. Namun dapat dirinya rasakan ada sinar yang membutakan penglihatannya.
Ketika mata Hinata tertutup lagi, Hinata mendengar suara pintu yang tergeser. Sekali
lagi Hinata coba membuka mata, tetapi kini lebih perlahan. Semuanya terlihat
buram, namun lama kelamaan Hinata dapat menangkap warna langit-langit kamarnya dengan
jelas. Saat Hinata mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Hinata mencoba
menengok ke arah kiri, tapi nyarasakan lehernya terasa kaku. Sebenarnya, berapa
lama Hinata tertidur?! tanya Hinata pada dirinya sendiri.
Sekali lagi Hinata mencoba
untuk berbicara, namun tenggorokannya terasa kering. Hinata mencoba menelan
ludah dan membasahi kerongkongannya tetapi mulutnya terasa bagai ada sesuatu
yang mengganjal, seperti Hinata telah menelan duri ikan, rasanya sangat sakit. Hinata
tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Ia pikir hari telah malam, tidak ada sinar
matahari yang masuk dari sela-sela korden. Saat Hinata mencoba bangun dengan
bertumpu pada kedua tangan yang masing-masing berada di sisi tubuhnya, Hinata
merasa akan jatuh kembali sebelum ada tangan seseorang yang menyangga punggungnya.
Hinata mendongak ke atas, seseorang itu seorang gadis mungil yang memandangnya
dengan tatapan khawatir. Dia adiknya, Hanabi.
Hinata mendengar suara air yang
dituang di gelas. Hanabi menyangga bantal di belakang kepala Hinata, agar
posisi kepala Hinata lebih tinggi, membuatnya berbaring dengan lebih nyaman
kemudian menyuruhnya meminum air. Hinata menurut. Lagipula Hinata merasa haus
dan sakit hampir di seluruh bagian tubuhnya, mungkin efek dari tidur lama. Hinata
alihkan perhatiannya untuk mengenali sekelilingnya. Ini benar kamarnya, karena Hinata
melihat jendela besar di sebelah kanannya dan rangkaian bunga lavender, bunga
favoritnya, di atas sebuah meja.
“Sudah merasa lebih baik Kak?”
tanya Hanabi kepadHinata, dengan suara berbisik.
Hinata mengangguk. Hinata
sebetulnya ingin bertanya kepadanya mengenai beberapa hal yang terjadi, tapi ia
urungkan karena tenggorokannya masih terasa sakit.
“Jangan dipaksa Kak. Hanabi
keluar dulu, sebentar lagi makan malam. Akan kusiapkan untuk Kakak juga.”
Dengan itu, Hanabi keluar dari kamarnya diiringi suara pintu yang tertutup.
Hinata menatap langit-langit kamarnya, warna
keabu-abuan memenuhi penglihatannya. Hinata menarik napas panjang ketika
tiba-tiba beberapa hal mulai melintas kembali dalam memorinya. Hinata masih
ingat, hari itu, di suatu sore yang mendung, Hinata sama sekali tidak mempunyai
firasat apapun. Hinata berdiri di sebuah halte dekat
sekolah. Sendirian, menunggu seseorang yang katanya akan menjemputnya.
Melewatkan bis terakhir yang melewati sekolahnya. Bola mata Hinata berkali-kali
melirik dengan gelisah ke arah telepon genggam yang ia pegang. Entah sudah
berapa kali Hinata mencoba menghubungi kakaknya, tapi tak ada balasan. Kakaknya
tadi mengirimkan pesan, mengatakan bahwa ia akan menjemputnya. Tapi ini hampir
satu jam berlalu dan ia tak kunjung datang. Gelisah mulai menghampirinya, ini sudah hampir malam. Matahari mulai
tenggelam, menyisakan warna merah bercampur jingga di langit.
Tuk.Tuk.Tuk. suara yang terbentuk dari sepatu yang
terbentur aspal jalanan akibat buah dari ketidaksabaran Hinata mulai memenuhi
telinganya. Hinata ketuk-ketuk kaki
kanannya yang diselubungi sepatu hitam berkaos kaki putih, mencoba mengalahkan
detak jantungnya sendiri. Hinata juga menggigit-gigit nyanya ibu jari kanannya
ketika yang ditunggu tak muncul. Bulir-bulir keringat mulai hadir di pelipisnya,
entah kenapa Hinata merasa cemas bukan main, pasalnya kakaknya hampir tak pernah mengingkari janji. Jika
kakaknya itu tidak bisa datang maka ia akan mengatakan
atau menghubunginya terlebih dahulu. Hinata mengedarkan pandangan lurus ke depan, jalanan
sepi, tak biasanya.
Angin
bertiup, menerbangkan beberapa helai rambut hitam panjangnya. Hinata
melihat ke atas, langit sekarang gelap diliputi awan, padahal tadinya masih
cerah walau tak dihiasi bintang. Rintik hujan turun perlahan, membasahi jalan. Teringat, bus yang lewat tadi adalah bus
terakhir yang melewati jalan di sekolah. Perasaannya
mulai tak enak. Lagi, Hinata melihat ke
jalanan yang sepi. Hinata memutuskan untuk
pulang dengan jalan kaki. Berlari pelan sambil melihat sekeliling, barangkali Hinata dapat bertemu kakaknya di jalan.
Hinata berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahnya yang basah. Hujan turun dengan deras. Mungkin
orang-orang yang nantinya
melihat, akan berpikir Hinata bodoh, dimana Hinata
bisa naik bus atau berteduh di depan toko. Tapi baginya saat
itu sudah terlanjur. Jika basah, basah saja sekalian. Lagipula Hinata tadi berniat sekalian mencari kakaknya. Syukur-syukur ketemu.
Melewati
jalan yang biasa Hinata lalui untuk
pulang ke rumah. Tiba-tiba langkah kakinya
berhenti. Telinga Hinata mendengar suara aneh, seperti suara benda
terjatuh dan teriakan seseorang. Hinata
merasa familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan
panca inderanya, Hinata
mendengar suara-suara itu dari gang di depannya.
Ada banyak gang di perumahan ini. Tapi suara itu berasal dari gang sebelah kiri
di depannya.
Tap.
Tap. Tap. Pelan, pelan,
pelan. Ia langkahkan
kakinya sepelan mungkin, Hinata mencoba menengokkan kepalanya. Dan yang Hinata lihat
adalah sekumpulan pemuda yang babak belur. Satu orang
yang mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup,
tiga orang yang masih memukuli seseorang yang
sudah terbaring tidak berdaya. Dan yang paling membuat mata Hinata terbelalak, dirinya yakini orang yang terbaring bersimbah darah itu
adalah kakaknya.
Benar, Hinata memang menemuinya di jalan, hampir sekarat
berlumuran darah di sebuah gang sepi di pinggir jalan.
Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandangannya beralih dari tubuh Kakaknya
ke wajah orang-orang di sekitarnya yang mulai menghentikan kegiatannya kemudian
berlari pergi. Kemudian, satu hal yang Hinata ingat hari itu adalah suara
teriakannya yang memekakkan telinga, menembus suara derai air hujan yang jatuh.
Lalu semuanya gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar