Kamis, 18 Oktober 2018

Momentum


Orang bilang jatuh cinta itu mudah. Semudah daun yang jatuh di musim gugur. Hari itu ketika aku jatuh terpuruk akibat kehilangan orang yang berharga. Kehilangan kakakku yang aku sayangi. Menyesal tanpa henti. Mengapa ini harus terjadi padaku. Mengapa harus kakak yang pergi dan bukannya aku. Kakak pergi karena menyelamatkanku dan akhirnya ia sendirilah yang mengalami kecelakaan. Sejak saat itu, aku pikir duniaku akan sepi. Juga aku tak patut untuk dicintai.

Tapi kamu datang, dengan hanya berdiri di sebelah kananku saat pemakaman di hari itu saat musim panas terjadi. Kamu datang, hanya diam sambil memegang bahu kananku dengan tangan kirimu. Kamu coba untuk menguatkanku tanpa kata-kata. Mencoba menyelami perasaanku hanya dengan bahasa tubuh yang kugunakan. Aku menangis dalam diam. Aku coba untuk berhenti berpikir negatif terus menerus. Aku masih punya orang tua, dan juga teman-teman.

Kamu juga mungkin seperti aku. Menyesal sama besarnya sepertiku. Kamu saksi saat itu, begitupula denganku. Aku mencoba menolongmu saat itu. Tapi kakakku kemudian menolong kita berdua. Kata-kata terakhirnya ditujukannya padamu. Saat itu, kamu juga sama putus asanya denganku. Juga mengalami rasa sakit yang sama seperti yang aku rasakan.

Hari berlalu, ketika musim panas berganti menjadi musim gugur. Ketika musim gugur mengubah daunnya dan mulai menerima hawa sejuk musim dingin. Setelah dua tahun berlalu, aku dan kamu mulai bersama. Bukan bersama dalam arti seperti sebelum-sebelumnya. Bersama dalam arti yang lebih luas. Kita duduk berdua di tepi pantai. Udara sore hari di musim panas benar-benar menyenangkan. Langit itu menguning dengan cantiknya. Membuat bias cahaya di permukaan laut yang berkilauan.

“Hinata.”
“Naruto.”
“Ahahaha.”

Aku dan kamu menyebut nama masing-masing bersamaan sehingga membuat kita tertawa setelahnya. Kata orang, kalau bicara bersamaan itu artinya jodoh. Entahlah aku mengendikkan bahuku.

“Kenapa?” tanyanya yang sepertinya melihat tingkah lakuku yang aneh, hasil dari pemikiran absurdku tadi.
Aku menggeleng, kemudian menjawab, “Naruto tadi mau bilang apa?”

Ku lihat dari sudut mataku ia mulai menggaruk belakang kepalanya dengan sebelah tangan kanannya. Setelah bersamanya selama ini, aku mengetahui kalau itu adalah kebiasaanya saat gugup menghampirinya atau saat malu ia rasakan. Aku merasa pipi Naruto memerah sehingga aku bertanya.

“Kenapa? Pipimu merah Naruto,” ujarku padanya.
“Tidak, cahaya matahari sore membuatmu salah lihat.” Katanya sambil mengalihkan pandangannya ke samping menjauh dari pandanganku.
“Sekarang malah tambah merah.”

Aku menggeleng pelan, enggan bertanya lebih lanjut. Aku menghirup udara di sekitar dalam-dalam. Kita yang duduk berdua di depan laut yang membentang luas seolah alam semesta menjadi saksi bisu dalam obrolan menyenangkan yang aku lakukan denganmu. Aku duduk menekuk lututku, jaketku kugunakan untuk menutupi bagian tubuh bawahku karena aku menggunakan rok sebatas lutut saat ini. Sedang jaketmu kamu gunakan untuk menjadi alas tempat duduk kita. Kita duduk berdua, tanpa jarak yang jauh karena bisa kurasakan bahumu yang selama beberapa detik bersentuhan dengan bahuku.

“Naruto, aku suka laut. Laut itu biru. Mata Naruto... juga biru. Dan itu indah.”

Aku berinisiatif untuk memecah keheningan. Aku mengatakannya sambil memandang ke depan. Walau sebenarnya ingin mengetahui ekspresi macam apa yang ada di wajahnya namun kuurungkan sementara. Namun saat aku sudah dalam batas kesabaranku, aku meliriknya dari sudut mataku lamat-lamat. Tetapi akhirnya aku melihatnya tanpa sabar dan bola mataku membesar sesaat.

Itu sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ia bukanlah menatapku. Ia memandang jauh ke depan, pandangannya menerawang ke arah laut, lebih tepatnya langit yang berada di atas laut, di atas batas cakrawala namun bibirnya mengulas senyum bahagia yang ia tahan dengan hanya mengangkat sedikit sudut-sudut bibirnya. Sekali lagi senyum bahagia yang tertahan.

Aku memiringkan kepalaku  ke kiri menghadapnya sehingga surai rambut panjangku yang kugerai jatuh mengikuti arah gravitasi yang kulakukan. Namun kemudian ia menoleh padaku, mendekatkan wajahnya kepadaku sehingga aku terkejut dan hampir jatuh ke belakang jika sebelah tangannya  yang kiri itu tidak menopangku dengan segera.
[.]
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium