Orang bilang jatuh cinta itu mudah. Semudah daun yang jatuh di
musim gugur. Hari itu ketika aku jatuh terpuruk akibat kehilangan orang yang
berharga. Kehilangan kakakku yang aku sayangi. Menyesal tanpa henti. Mengapa
ini harus terjadi padaku. Mengapa harus kakak yang pergi dan bukannya aku.
Kakak pergi karena menyelamatkanku dan akhirnya ia sendirilah yang mengalami
kecelakaan. Sejak saat itu, aku pikir duniaku akan sepi. Juga aku tak patut
untuk dicintai.
Tapi kamu datang, dengan hanya berdiri di sebelah kananku saat
pemakaman di hari itu saat musim panas terjadi. Kamu datang, hanya diam sambil
memegang bahu kananku dengan tangan kirimu. Kamu coba untuk menguatkanku tanpa
kata-kata. Mencoba menyelami perasaanku hanya dengan bahasa tubuh yang kugunakan.
Aku menangis dalam diam. Aku coba untuk berhenti berpikir negatif terus
menerus. Aku masih punya orang tua, dan juga teman-teman.
Kamu juga mungkin seperti aku. Menyesal sama besarnya sepertiku.
Kamu saksi saat itu, begitupula denganku. Aku mencoba menolongmu saat itu. Tapi
kakakku kemudian menolong kita berdua. Kata-kata terakhirnya ditujukannya
padamu. Saat itu, kamu juga sama putus asanya denganku. Juga mengalami rasa
sakit yang sama seperti yang aku rasakan.
Hari berlalu, ketika musim panas berganti menjadi musim gugur.
Ketika musim gugur mengubah daunnya dan mulai menerima hawa sejuk musim dingin.
Setelah dua tahun berlalu, aku dan kamu mulai bersama. Bukan bersama dalam arti
seperti sebelum-sebelumnya. Bersama dalam arti yang lebih luas. Kita duduk
berdua di tepi pantai. Udara sore hari di musim panas benar-benar menyenangkan.
Langit itu menguning dengan cantiknya. Membuat bias cahaya di permukaan laut
yang berkilauan.
“Hinata.”
“Naruto.”
“Ahahaha.”
Aku dan kamu menyebut nama masing-masing bersamaan sehingga membuat
kita tertawa setelahnya. Kata orang, kalau bicara bersamaan itu artinya jodoh.
Entahlah aku mengendikkan bahuku.
“Kenapa?” tanyanya yang sepertinya melihat tingkah lakuku yang
aneh, hasil dari pemikiran absurdku tadi.
Aku menggeleng, kemudian menjawab, “Naruto tadi mau bilang apa?”
Ku lihat dari sudut mataku ia mulai menggaruk belakang kepalanya
dengan sebelah tangan kanannya. Setelah bersamanya selama ini, aku mengetahui
kalau itu adalah kebiasaanya saat gugup menghampirinya atau saat malu ia
rasakan. Aku merasa pipi Naruto memerah sehingga aku bertanya.
“Kenapa? Pipimu merah Naruto,” ujarku padanya.
“Tidak, cahaya matahari sore membuatmu salah lihat.” Katanya sambil
mengalihkan pandangannya ke samping menjauh dari pandanganku.
“Sekarang malah tambah merah.”
Aku menggeleng pelan, enggan bertanya lebih lanjut. Aku menghirup
udara di sekitar dalam-dalam. Kita yang duduk berdua di depan laut yang
membentang luas seolah alam semesta menjadi saksi bisu dalam obrolan
menyenangkan yang aku lakukan denganmu. Aku duduk menekuk lututku, jaketku
kugunakan untuk menutupi bagian tubuh bawahku karena aku menggunakan rok
sebatas lutut saat ini. Sedang jaketmu kamu gunakan untuk menjadi alas tempat
duduk kita. Kita duduk berdua, tanpa jarak yang jauh karena bisa kurasakan
bahumu yang selama beberapa detik bersentuhan dengan bahuku.
“Naruto, aku suka laut. Laut itu biru. Mata Naruto... juga biru.
Dan itu indah.”
Aku berinisiatif untuk memecah keheningan. Aku mengatakannya sambil
memandang ke depan. Walau sebenarnya ingin mengetahui ekspresi macam apa yang
ada di wajahnya namun kuurungkan sementara. Namun saat aku sudah dalam batas
kesabaranku, aku meliriknya dari sudut mataku lamat-lamat. Tetapi akhirnya aku
melihatnya tanpa sabar dan bola mataku membesar sesaat.
Itu sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ia bukanlah
menatapku. Ia memandang jauh ke depan, pandangannya menerawang ke arah laut,
lebih tepatnya langit yang berada di atas laut, di atas batas cakrawala namun
bibirnya mengulas senyum bahagia yang ia tahan dengan hanya mengangkat sedikit
sudut-sudut bibirnya. Sekali lagi senyum bahagia yang tertahan.
Aku memiringkan kepalaku ke
kiri menghadapnya sehingga surai rambut panjangku yang kugerai jatuh mengikuti
arah gravitasi yang kulakukan. Namun kemudian ia menoleh padaku, mendekatkan
wajahnya kepadaku sehingga aku terkejut dan hampir jatuh ke belakang jika
sebelah tangannya yang kiri itu tidak
menopangku dengan segera.
[.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar