Rain Drop
.
.
Di hari ini ketika hujan turun, aku melangkah
keluar rumah. Di jalan yang biasa kulewati, aku melihat sosokmu dari belakang.
Hanya berbekal punggung dan suraimu yang panjang, aku bisa tahu itu kamu. Aku sengaja tak memanggilmu agar aku dapat
mengikutimu tanpa kamu ketahui. Kakimu yang kecil, melangkah anggun pada jalan
setapak yang jarang dilalui. Aku menebak-nebak kemana arah tujuanmu. Kamu yang
enggan mencari tempat untuk meneduhkan diri. Kamu yang tak peduli kakimu kotor
berbalut tanah yang basah.
Ketika lensaku berhadapan dengan pemandangan yang tak lagi asing. Aku berhenti melangkah. Seketika aku tahu kemana arah tujuanmu saat ini. Tanpa sadar, aku mengeratkan tangan pada payung yang kugenggam. Kamu yang berdiri di depan sana, tepat di depan sebuah batu nisan dengan nama yang tertera dengan jelas.
Ketika lensaku berhadapan dengan pemandangan yang tak lagi asing. Aku berhenti melangkah. Seketika aku tahu kemana arah tujuanmu saat ini. Tanpa sadar, aku mengeratkan tangan pada payung yang kugenggam. Kamu yang berdiri di depan sana, tepat di depan sebuah batu nisan dengan nama yang tertera dengan jelas.
Aku enggan berdiam diri. Kuberanikan diri
berjalan lebih dekat padamu agar kamu tahu aku ada disini. Di tempat yang sama
denganmu agar kamu tak perlu merasa sendiri. Tapi kemudian langkah kakiku
tertahan. Pada saat itu aku dapat melihat wajahmu dari samping. Meski aku
berada beberapa meter jauh darimu. Aku dapat melihat kamu yang berdiam diri
disana. Saat kulihat raut wajah sendu yang kentara tertera. Saat kamu yang
berdiam diri menatap lama pada batu nisan itu. Saat kamu meletakkan sebuah buket
bunga di atasnya. Hatiku merasa hampa.
Angin yang tiba-tiba bertiup kencang, membuat
payung berwarna transparan yang kamu genggam jatuh. Payung yang terlepas dari
tanganmu itu ikut terbawa angin. Namun, kamu masih berdiri disana, tak
memperdulikannya. Sosokmu yang berdiri tegak tanpa takut tubuhmu basah terkena
tetesan air hujan.
Aku yang ingin melangkah maju hanya dapat
terdiam terpaku di tempat saat kamu mulai menutup mata di tempat itu. Dadaku
mulai terasa sesak tatkala melihat wajahmu yang mendongak ke atas dengan lensa
matamu yang terpejam seolah-olah menantang air hujan untuk jatuh membasahi
setiap jengkal kulitmu.
Tetapi kamu sama sekali tak tergoyahkan. Kamu
yang berdiam diri disana, seolah-olah ragamu tetap berada disitu tapi jiwamu
terhisap ke dunia lain. Kamu dengan pikiranmu yang tak dapat kutebak membuatku
khawatir. Khawatir akan ada tetesan air yang lain yang membasahi wajahmu. Tapi
aku tahu kamu pandai menyembunyikannya. Kamu memilih waktu yang tepat. Tepat
hari ini di saat langit menangis.
Hujan yang turun semakin lebat, membuatku
khawatir kamu akan menggigil jika semakin lama berdiri disana tanpa meneduhkan
diri. Kuberanikan diri melangkah maju, tepat berdiri bersisian denganmu. Payung
berwarna kuning yang kupegang dengan tangan kanan, sebagian besar kuhadapkan
padamu membuat hujan berhenti membasahi tubuhmu. Tanpa peduli sisi tubuhku yang
lain mulai terkena basah karenanya.
Kamu yang tahu bahwa hujan tak lagi mengenai
tubuhmu membuatmu curiga. Merasa ada yang aneh, kamu membuka mata. Ketika kamu
mulai mengalihkan pandanganmu padaku, nafasku tercekat. Dengan wajah sedekat
ini, kamu dengan pandanganmu yang kosong tanpa berkata apa-apa adalah senjata
paling mematikan bagiku.
Kamu yang biasanya memanggilku dengan merdu.
Kamu yang biasa tersenyum lembut. Kini ekspresi itu seolah hilang entah kemana.
Kamu yang berbalik menatap batu nisan itu membuatku turut mengikuti
pandanganmu. Aku yang tahu dengan jelas siapa nama orang yang tertera disana
membuatku teringat sesuatu. Hari ini adalah tanggal kematiannya. Bagaimana
dirinya bisa lupa. Orang ini adalah salah satu orang berharga bagi dirinya dan
gadis yang berdiri di sampingnya ini.
Aku melirik dari sudut mataku, air hujan yang
membasahimu wajahmu menetes satu persatu turun melalui dagu dan jatuh ke bawah.
Tapi aku merasa ada yang aneh padamu. Saat aku menyadarinya, aku mengumpat
dalam hati. Kamu menangis dalam diam tepat seperti yang aku khawatirkan sedari
tadi.
Aku yang tak tahan mulai memelukmu dengan
sebelah tanganku yang lainnya. Memelukmu tanpa peduli kamu menyukainya atau
tidak. Memelukmu dengan erat. Aku hanya ingin kamu berhenti menangis sendirian.
Kamu harus tahu kalau aku bersedia berdiri di sampingmu. Menemanimu di kala
sedih seperti ini. Aku ingin kamu membagi kesedihanmu padamu. Apa itu begitu
sulit kamu lakukan?
Kamu selalu menahannya sendirian. Seperti orang
itu yang menjadi bagian penting dari hidupmu. Aku juga ingin menjadi bagian
paling penting bagi hidupmu. Meski tahu aku lambat dalam menyadari perasaanmu
padaku, kamu harus tahu kalau kamu bukanlah pengganti. Juga bukan karena aku
merasa bertanggung jawab atas kematian orang itu. Bukan hanya sekedar empati.
Ini lebih dari itu.
Aku tidak ingin melakukan kesalahan untuk kedua
kali. Karena aku menginginkan kamu menggenggam tanganku erat tanpa berniat
melepaskannya lagi. Kemudian aku tersenyum kecil saat kamu yang berada
dipelukanku ini mulai memelukku balik. Kedua tanganmu yang dingin mulai melingkar
di pinggangku.
"Ayo pulang, Hinata." Aku berbisik
lirih di telinganya. Saat dia mengangguk dalam pelukanku, aku tersenyum. Kusampirkan jaketku padanya dan membawanya
pergi melalui jalan yang tadi kulalui.
Aku mungkin makhluk egois karena aku
bisa-bisanya bahagia di tempat seperti ini. Tapi melihatmu yang mau kembali
padaku meski hanya diisyaratkanmu melalui tindakan membuatku merasa senang. Cuma
kamu yang mampu menjungkir balikkan hatiku. Cuma kamu yang dapat menjatuhkanku
sedalam-dalamnya kemudian membuatku terbang melayang tinggi. Cuma kamu yang
dapat membuat hatiku yang beku dan kembali melelehkannya.
Aku jadi ingat saat Sai, temanku yang satu itu
bertanya sesuatu padaku.
"Naruto, kenapa kamu memilih
Hinata?" tanyanya penasaran. Aku terdiam sejenak.
"Bukannya
berniat menyinggungmu, tapi aku hanya penasaran." Sai mencoba menjelaskan.
Aku tahu. Aku melihatnya yang merasa tidak nyaman saat bertanya mengenai hal
ini, tapi aku heran rasa penasarannya yang lebih tinggi membuatnya melontarkan
kalimatnya.Aku menarik nafas panjang, mencoba mencari cara yang tepat untuk
menjelaskan padanya.
"Kamu tahu?" Ujarku padanya. Sai
benar-benar menatap wajahku dengan serius kali ini.
"Aku hanya merasa bahwa dia tidak akan
pernah kembali padaku.. jika saja aku melepas genggaman tangannya."
Tatapanku menerawang jauh ke langit, mengingat saat dimana gadisnya itu pergi
menjauh. Aku melihat dari sudut mataku, Sai masih memperhatikanku dengan
seksama.
"Saat aku tahu dia pergi jauh dariku, hatiku menjadi aneh. Seperti kotak yang harusnya terisi menjadi kosong. Aku tidak dapat berpikir panjang." Tatapanku berubah sendu, aku melihat tangan kananku yang berada di depanku. Ku genggam jari-jariku erat dan membukanya kembali dengan perlahan.
"Aku bahkan kehilangan sebagian.. Ehm,
tidak—"
Aku menggeleng dan meneruskannya kalimatku,
"—hampir seluruh semangat yang ada."
"Padahal, kamu tahu kan aku bukan tipe yang mudah menyerah? Tapi anehnya hanya dia yang dapat membuatku seperti ini. Cinta yang aneh bukan?"
"Padahal, kamu tahu kan aku bukan tipe yang mudah menyerah? Tapi anehnya hanya dia yang dapat membuatku seperti ini. Cinta yang aneh bukan?"
"Maksudmu, seperti hanya dia satu-satunya orang dalam hidupmu yang membuatmu seperti itu? Tidak ada yang lain?"
"Benar...Ah, kau pintar sekali Sai." Aku menepuk punggungnya kemudian melangkah pergi. Biarkan dia berpikir, Sai akan tahu dengan sendirinya ketika suatu hari dia jatuh hati. Satu-satunya yah, pikirku dalam hati. Lalu aku tersenyum kecil. Lebih tepatnya, aku menemukan tempat ternyaman yang ingin aku tuju.
Ketika hujan berhenti, aku yakin dapat kembali
melihat senyumannya.
.
.
.
The End.
AN: Tentang Hinata yang mengunjungi makamnya Neji dan menangis karena teringat olehnya. Cerita ini menggunakan POV Naruto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar