Jealouse
Disclaimer: Naruto ©Masashi Kishimoto
Rate : T
Genre : Romance, Friendship
Pairing : Naruto x Hinata
Warning: OOC, typo(s), alur speed, dll
Don’t like, don’t read.
Enjoy It^^
.
.
.
Jealousy
is
just a sign that you really love the person.
.
.
Langit mendung dengan butiran-butiran salju
turun dari atasnya. Pagi ini dingin, sama seperti beberapa hari sebelumnya.
Orang-orang lebih memilih menutup rapat jendela dan bergelung di bawah selimut
mereka, menghangatkan diri lebih tepatnya. Berbeda dengan penduduk desa yang
malas keluar rumah, ada seorang pemuda, Uzumaki Naruto namanya, pemuda berambut
pirang dan bermata biru ini lebih memilih berjalan di desa.
Naruto berjalan pelan, ia mengikuti langkah kakinya yang membawanya menyusuri jalan —yang sekarang tertumpuk salju— di desa yang ia sayangi. Hari ini ia bangun pagi, terbangun karena perutnya minta diisi dan tidak punya pilihan lain selain keluar rumah. Naruto lapar, persediaan makanannya sudah habis, dan tidak ada seorang pun yang akan memasakannya makanan mengingat ia tinggal sendirian di apartemennya.
Naruto mengernyit, langkah kakinya perlahan
terhenti. Ngomong-ngomong soal memasak makanan, tentu saja ada seseorang yang
bersedia memasak untuknya. Tapi tidak untuk hari ini, gadis itu sedang pergi dan
ia tidak tahu kapan gadis itu pulang. Hah, Naruto menghembuskan nafasnya pelan,
ia jadi merindukan gadis itu. Naruto mendongakkan kepalanya ke atas, menyebut
nama gadis itu pelan seolah hal itu adalah mantra yang dapat membuat gadis itu
kembali, membiarkan kepalanya dijatuhi salju, meleleh membasahi rambutnya.
000
Sebelum pulang ke rumah, Naruto berniat
melewati rumah sang gadis, mungkin saja dengan begitu, ia dapat mengurangi rasa
rindunya. Salju semakin lebat, Naruto memegang lehernya dengan tangan kanannya,
ia baru menyadari kalau sedari tadi ia
tidak memakai syal, bodohnya ia. Naruto menggeleng, tapi tidak apa, mengingat
satu porsi ramen yang ia makan di Kedai Ichiraku langganannya sudah cukup
membuat tubuhnya hangat. Naruto melirik ke tangan kirinya, ia juga sudah
membeli beberapa makanan untuk persediaannya.
Itu pendapat Naruto tadi, sebelum ia merasa
tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Ia berdiri di tempat, tepat beberapa meter
sebelum rumah sang gadis. Naruto terpaku, matanya membulat tidak percaya. Tepat
beberapa meter di depannya, ia melihat gadisnya bersama pemuda lain. Tanpa ia
sadari tangannya terkepal erat, hatinya panas, dan ia rasa ia butuh air untuk memadamkannya.
Naruto memegang dadanya dengan sebelah tangannya. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dulu, ketika ia menganggap dirinya menyukai Sakura, tetapi Sakura lebih memilih Sasuke, memujanya secara terang-terangan, ia tidak pernah merasakan seperti ini. Rasa ini berbeda, ia marah, kesal, dan panas di dadanya membuatnya sesak, sulit untuk bernafas. Matanya meredup ketika memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi, hatinya nyeri dan hal ini hanya ia rasakan saat gadis itu bersama pemuda lain. Tapi Naruto tahu penyebab semua ini, ini karena perasaannya pada gadis itu semakin dalam. Hinata Hyuuga —hanya gadis itu yang dapat membuatnya seperti ini.
000
Hinata melirik ke samping, dimana ada Kiba dan
Akamaru —anjing kesayangan Kiba—yang berjalan bersamanya. Tadi pemuda dengan
tato segitiga merah terbalik di kedua pipinya itu menawarkan untuk mengantarnya
pulang sampai ke rumah. Sedangkan Shino sudah pulang duluan, mereka berpisah di
gang sebelumnya. Sebenarnya ia ingin menolak, tapi ketika Kiba berkata tidak
ingin terjadi apa-apa padanya, tentu saja ia hanya menurut. Hinata malas
berdebat, terlebih tubuhnya merasa sangat lelah dan ia butuh istirahat. Misi
yang harusnya selesai tepat waktu. Ternyata berjalan tidak sesuai rencana.
Alhasil, mereka harus pulang lebih lama dari waktu yang ditentukan.
“Hinata, sudah sampai,” suara Kiba membangunkan lamunan Hinata.
“Baiklah kalau begitu Kiba-kun. Aku masuk
dulu. Arigatou sudah mengantarku,” ucap Hinata di depan pintu rumahnya. Ia dan
kiba sekarang berhadap-hadapan.
“Tunggu, Hinata.” Hinata baru saja akan membalikkan
tubuhnya, masuk ke dalam rumah ketika mendengar suara Kiba memanggilnya.
“Bisakah kau menolongku? Aku merasa ada
sesuatu yang masuk ke dalam mataku, dari tadi aku merasa gatal,” pinta Kiba
pelan, hingga hanya Hinata yang mampu mendengarnya.
“Eh, benarkah?” Hinata terlihat ragu, tapi selanjutnya ia hanya menuruti permintaan Kiba. Hinata tidak punya firasat buruk apapun, ia hanya memandangnya sebagai seorang teman yang membutuhkan pertolongan.
Kiba menyeringai sedikit, melihat Hinata
menuruti permintaannya. Hinata memang cenderung polos, ia juga jarang
mencurigai seseorang. Kiba tahu karena ia dan Hinata sudah sering bersama
mengingat mereka satu tim. Hinata suka membantu seseorang yang membutuhkan
bantuannya. Hinata baik hati, dan seseorang seperti Hinata harus dijaga oleh
orang yang tepat.
Perbedaan tinggi mereka membuat Hinata perlu berjinjit untuk mencapai mata Kiba. Ketika Hinata sudah berjinjit, ia terlihat bingung. Sepertinya Hinata lupa bertanya bagian mata sebelah mana yang gatal. Kiba yang mengetahui hal itu, langsung menunjuk mata kanannya. Hinata meletakkan kedua tangannya di daerah sekitar mata Kiba dan mulai meniup mata Kiba pelan.
“Sudah.” Ucapan Hinata menyadarkan Kiba dari pikirannya.
“Arigatou, Hinata.” Kiba tersenyum sambil
berterima kasih.
“Uhm.” Hinata mengangguk, dan hendak beranjak
dari tempatnya.
Kiba duga, Hinata sudah lelah dan ingin
secepatnya masuk ke dalam rumah. Tapi Kiba belum ingin mengakhiri hal ini.
“Oh ya, Hinata, bisakah kau membantuku sekali
lagi? bisakah kau membenarkan syalku?
Aku merasa kedinginan dari tadi.”
Hinata menghembuskan nafasnya pelan, tapi tanpa kata, Hinata melakukannya. Tinggi Hinata hanya mencapai dagu Kiba, itu membuat Kiba dapat mencium aroma shampoo yang digunakan Hinata. Kiba sengaja sedikit mendongak agar memudahkan Hinata, Kiba juga membuat gerakan seperti menghirup aroma Hinata dalam-dalam.
“Sudah Kiba-kun,” ucap Hinata lirih.
“Sekali lagi, arigatou Hinata,” ucap Kiba pelan sambil
mencium pipi sebelah kiri Hinata.
Hinata mengerjapkan matanya pelan, seakan baru
tersadar akan apa yang dilakukan Kiba setelah Kiba berjalan pergi menjauh
bersama Akamaru. Ah ya, ia dari tadi melupakan Akamaru, dari tadi Akamaru juga
begitu diam, seolah kehadirannya tidak ada. Hinata menggeleng pelan, menyadari
keanehan sahabatnya, ia lalu memasuki rumahnya, tanpa menyadari di ujung jalan
sana, ada seseorang yang siap melampiaskan kemarahannya.
Kiba menyeringai dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Ia tentu saja melihat siluet pemuda itu, tapi tidak dengan Hinata. Pikirannya menerawang pada kejadian barusan, ia memang sengaja menggoda pemuda itu, menjahili pemuda berambut pirang itu, menguji sampai dimana batas kesabaran pemuda itu. Bukankah pemuda itu calon Hokage? Ia harus bisa mengendalikan emosinya bukan? Dan ketika ia mendapati pemuda itu mengepalkan tangannya, Kiba tersenyum puas.
000
Di sebuah kamar, seorang gadis berambut indigo
panjang berdiri mematut dirinya di depan sebuah cermin. Sejujurnya Hinata
merasa bingung dengan tingkah laku pemuda itu. Tadi pagi setelah ia pulang dari
misi, pemuda itu datang, mengetuk pintu rumahnya, mengatakan ingin mengajaknya
pergi nanti sore. Hinata yang tak kuasa menolak ajakan kekasihnya, tentu saja
langsung mengangguk menyetujui. Kekasih? Oh, dapatkah ia menyebutnya begitu? Hinata menangkupkan
kedua tangannya ke pipi, pipinya memerah samar, merona kata lainnya. Hinata dan
Naruto memang baru dekat selama sebulan, terhitung dari kejadian waktu
itu—penculikan Toneri. Mereka memang belum secara resmi mengkonfirmasikan
hubungan seperti apa yang mereka jalani. Tapi masa bodoh dengan hal itu ketika
tindakan mereka sudah mewakili segalanya.
Hinata mematut dirinya sekali lagi di depan
cermin, bandana biru muda nampak cantik tersemat di helaian surai indigonya. Ia
tidak tahu sejak kapan menyukai warna biru, mungkin karena sama dengan warna
mata pemuda itu. Hinata mengenakan pakaiannya yang biasa dan juga sebuah jaket.
Ia tidak berpikir untuk memakai pakaian yang mencolok di depan Naruto, cukup
pakaian sederhana yang membuatnya hangat. Ia memandang dirinya lagi, merasa ada
sesuatu yang kurang. Ah ya, sebuah syal.
000
Angin berhembus kencang,
menerbangkan helain surai indigo dan pirang. Dua pasang kaki menjuntai dengan
indahnya, melawan arah gravitasi. Cahaya mentari senja menerpa kulit, menghangatkan
setiap sel di tubuh mereka.
Itulah yang akan terjadi jika hari itu adalah musim panas. Nyatanya, ini berbanding sebaliknya.
Langit mendung, dengan
butiran salju berjatuhan dari arah langit. Kristal-kristal air yang membeku itu
akan meleleh setiap menyentuh apapun yang mereka timpa.
Di sebuah tebing di tepi hutan, terlihat dua orang saling duduk bersebelahan. Kaki-kaki mereka masih menjuntai dengan indah. Angin berhembus pelan, menghantarkan rasa gigil di sekujur tubuh mereka.
Hinata menatap ke
sekeliling, ia juga tidak tahu kalau pada akhirnya mereka akan berakhir disini.
Duduk di tebing di pinggir hutan. Hinata menatap ke sekitarnya lagi,
ranting-ranting pohon yang biasanya terlihat kuat dan kokoh, sekarang siap
dipatahkan tanpa satu pun daun yang menempel.
Pemandangan yang biasa ia lihat mengingat ini musim dingin. Hinata
menunduk, melihat kakinya yang setengah menggantung. Ini akan mengerikan
seandainya mereka terjatuh dari atas tebing, walaupun mereka seorang ninja.
Hinata melirik ke samping, dimana seorang pemuda berambut pirang yang mengajaknya kemari sedang menatap ke depan tanpa satu katapun terucap dari bibirnya. Ia terlihat sedang berpikir, bahkan wajahnya yang serius itu pun terlihat imut di mata Hinata.
o0o
Naruto menengokkan sedikit
kepalanya ke kanan, ia tahu gadis berambut indigonya itu sudah mulai terlihat
bosan, terlebih dengan tempat dan cuaca yang sama sekali tak mendukung. Ia
awalnya tidak tahu ingin mengajak Hinata kemana, tapi langkah kaki mereka
berhenti disini. Mungkin, karena mereka biasanya berkeliling memasuki hutan
bersama.
“Ehm, Hinata.” dengan berdehem Naruto berusaha merebut perhatian gadis itu yang nampaknya berhasil. Hinata terlihat mengalihkan perhatian padanya.
“Aku ingin membicarakan
sesuatu padamu, Hinata. Tapi sebelumnya, bisakah kau berjanji sesuatu dulu
kepadaku?” Naruto akhirnya mengungkapkan apa yang dari tadi dipikirkannya.
Walaupun terlihat bingung, Hinata menganggukkan kepalanya tanpa satu kata pun terucap dari mulutnya.
“Bisakah kamu berjanji
padaku untuk tidak dekat-dekat dengan pemuda lain?” suara Naruto terlihat
ragu-ragu tapi mata birunya terlihat serius.
“Eh, kenapa?” Naruto tahu
Hinata terkejut, itu terlihat dari caranya berekspresi walaupun Hinata mencoba
menutupinya.
“Pokoknya jangan dekat-dekat
dengan pemuda lain.” Menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan sebelah
tangannya, Naruto terlihat antara gelisah dan gugup.
Hinata terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang dikatakan Naruto. Kemudian matanya mengerjap pelan dan ia berkata, “ Jadi, aku juga tidak boleh dekat-dekat dengan tou-san?”
“Bukan begitu maksudku,”
jawab Naruto cepat.
“Jadi, apa maksud Naruto-kun?”
Dengan satu kalimat tanya
dari Hinata, Naruto menceritakan apa yang ia lihat tadi pagi.
o0o
Hal pertama yang Hinata lakukan
setelah mendengar cerita Naruto adalah mengerjapkan matanya kemudian tertawa.
Ya, Hinata tertawa. Hinata Hyuuga yang anggun sedang tertawa, tawa geli. Seolah
ada yang menggelitik perutnya. Terkadang Hinata bingung, bagaimana bisa sih
Naruto terlihat begitu lucu? Walaupun postur tubuh dan usia Naruto tergolong
dewasa, tapi wajah dan tingkah lakunya terlihat begitu polos dan naïf.
Hinata menghentikan tawanya ketika ia rasa Naruto mulai tersinggung, itu terlihat dari caranya memalingkan muka.
“Kamu itu aneh, Naruto-kun.”
“Apanya?”
“Bagaimana bisa sih kamu
cemburu pada temanmu sendiri? “ ujar Hinata, heran.
“Tentu saja bisa, ” jawab
Naruto, masih merasa kesal.
“Dia itu sahabatku, lagipula
dia juga temanmu. Kita mengenalnya sejak masih akademi.”
“iya, aku juga tahu tapi
tetap saja aku tidak suka melihatnya bersamamu.” Naruto tetap menolak
penjelasan yang diberikan Hinata.
Melihat Naruto yang masih cemberut seperti itu, Hinata tidak tega juga. Ia merasa sedikit bersalah karena mentertawakannya tadi. Hinata mengalihkan pandangannya ke depan, mencoba memfokuskan pikirannya.. Hinata rasa, ia tidak melakukan apapun hal yang bisa membuat Naruto cemburu seperti ini? Hinata memutar memorinya mengingat kejadian tadi pagi, apa ada yang salah.
Seingat Hinata, tadi pagi ia baru pulang setelah menjalankan misi bersama Shino dan Kiba, dan tentunya anjing kesayangan Kiba, Akamaru. Misi yang seharusnya berjalan tepat waktu, terlambat atas permintaan sang klien. Tentu saja, mereka ninja Konoha sangat mementingkan kepentingan kliennya. Karena tidak mampu menolak permintaan kliennya, lagipula tidak merugikan bagi siapapun, mereka menerimanya. Pada akhirnya mereka pulang lebih lambat dua hari dari waktu yang ditentukan.
Di pertigaan belokan, mereka berpisah, Shino pulang sedangkan Kiba menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ini aneh, mengingat hampir tidak pernah Kiba mengantarnya pulang karena Hinata langsung menolaknya secara halus. Tapi, tadi pagi Kiba beralasan kalau ia takut terjadi apa-apa pada Hinata, mengingat kejadian penculikan yang dilakukan Toneri satu bulan yang lalu. Hinata akhirnya menyetujuinya, ia malas berdebat, lagipula tubuhnya terlalu lelah, ia butuh istirahat. Kemudian Kiba mengantarnya pulang, itu saja.
o0o
Hinata tersenyum tipis sambil
berkata, “Aku rasa, Kiba-kun hanya menggodamu saja Naruto-kun.”
“Be-benarkah?” Naruto tidak
percaya.
“Uhm. Dia tidak berniat
macam-macam.”
“Awas saja… kalau aku
bertemu Kiba nanti akan ku—“Naruto berkata sambil membentuk tinju, tangan kanan yang mengepal, dan yang
satunya menangkap. Tapi perkataannya terputus tatkala melihat Hinata.
“—pukul.” Melanjutkan
perkataannya dengan lirih.
Gadis itu sedang menutup mata, angin menerbangkan beberapa helai rambut indigonya. Tapi sama sekali tak merusak suasana, malah membuat sang empunya terlihat indah. Naruto menatap tanpa berkedip, seolah ada yang membuatnya tak bisa menggerakkan bola matanya, hanya terfokus pada satu titik, gadis itu. Kemudian serasa ada yang menjerat lehernya, ia meneguk ludahnya, mengurangi rasa kering pada tenggorokannya yang tiba-tiba melandanya.
Rasanya seperti ia pernah melihat momen ini sebelumnya. Tetapi pada waktu dan tempat yang berbeda. Namun objeknya tetap sama, gadis itu. Entah sudah ke berapa kali dirinya memandang, tapi tak ada kata bosan. Bosan hanya ada saat kau melihat seseorang dengan matamu, bukan dengan hatimu. Naruto menunduk, merasakan debaran aneh di ruang kosong dalam tubuhnya, rasanya campur aduk, sulit untuk digambarkan.
o0o
Hinata membuka matanya lagi, tadi ia menutup mata
sekedar untuk merasakan hawa dingin yang berhembus mengenai wajahnya, juga
berpikir mengenai sesuatu.
Mengalihkan pandangannya ke samping, Hinata memanggil,
“ Naruto-kun.”
Yang dipanggil menjawab,
“ya?”
Hinata menarik nafas dalam, mencoba untuk mengubur ketakutannya dan mencoba bertanya. Sebenarnya ia hanya penasaran akan jawaban pemuda itu.
“Ada yang bilang, matahari
dan bulan tidak bisa bersatu. Apa menurutmu, juga begitu?”
Naruto terdiam, ia tidak
mengerti mengapa Hinata mengangkat topik ini. Naruto masih diam dan Hinata tak
kunjung bicara, Naruto menyimpulkan kalau Hinata menunggunya menjawab
pertanyaannya. Tapi melihat Hinata yang terlihat serius, mungkin ini adalah hal
penting baginya.
“Tentu saja tidak bisa. Matahari adalah Matahari. Bulan adalah Bulan. Dua hal yang berbeda. Matahari ada di siang hari sedangkan bulan sebaliknya. Tentu saja tidak bisa bersatu.”
“Begitukah?”
Apa ini hanya perasaannya
saja? Naruto merasa gadis itu terlihat kecewa dan… sedih setelah mendengar
jawabannya. Naruto mencoba menghibur dengan berkata, “Hei, tidak usah begitu
dipikirkan.”
“Aku rasa juga begitu. Aku rasa, apa yang
dikatakan orang-orang dan Naruto-kun memang ada benarnya.”
“Terkadang aku berpikir,
Naruto-kun yang terlalu mudah beradaptasi dengan sekitar dan hebat, tidak akan
cocok dengan gadis pendiam dan kaku sepertiku.”
Naruto tercekat, ia merasa
ini bukan lagi tentang Matahari dan Bulan.
o0o
“Kenapa kau berkata seperti
itu?” Naruto memandang Hinata tajam.
Hinata menggeleng pelan, “Tidak,
hanya…”ucapannya terputus, ia merasa sedikit takut dengan tatapan tajam dari
Naruto.
Menyadari Hinata yang takut dengan tatapan yang ia beri, Naruto menghembuskan nafas kemudian mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
“Jangan hiraukan perkataan
orang-orang. Mereka hanya bisa berkomentar, tapi kitalah yang menjalani.”
Hinata yang tadinya menunduk
kemudian mulai mengangkat kepalanya, melihat Naruto yang sudah tak lagi memberi
tatapan tajam, karena arah pandang pemuda itu yang berubah. Hinata merasa, Naruto
masih akan mengatakan banyak hal untuknya. Jadi ia hanya diam dan memasang
telinganya sebaik mungkin.
“Matahari dan Bulan mungkin
tidak bisa bersatu. Tapi kau tahu apa arti kata sebenarnya dari tidak bisa
bersatu?”
“Tidak bisa bersatu bukan berarti tidak
ditakdirkan bersama. Ada jalan yang sulit untuk mereka tempuh. Pada awalnya
mereka mungkin tidak bisa bersatu. Tapi pada akhirnya mereka akan bersama.”
Lanjut Naruto, dengan sesekali mencuri pandang ke arah Hinata.
Hinata terdiam, masih mencoba mencerna dan memahami apa yang sebenarnya Naruto katakan padanya.
Naruto memutar bola matanya
ke kanan lalu ke kiri. Seolah dengan begitu, ia akan mendapat ide atau suatu
hal yang bagus yang dapat memecahkan masalahnya.
“Kalau kau bilang, aku seperti matahari dan kau bulannya, sepertinya itu memang benar Hinata.”
Hinata menunduk, lebih
memilih mengayunkan kedua kakinya. Memandang kedua kaki mungilnya, seolah
dengan hal itu ia bisa mengurangi rasa cemasnya.
“Lihatlah warna rambut dan mata kita. Warna rambutku pirang seperti warna matahari. Kalau kau kebalikannya, warna matamu seperti bulan. Lalu warna mataku biru seperti langit di siang hari sedangkan kau warna rambutmu hitam kebiruan seperti langit di malam hari. “
“Walau berbanding terbalik…
bukankah kita cocok? Kita memang dua hal yang berbeda, tapi kita saling
melengkapi.”
“Seperti yin dan yang, putih
dan hitam. Langit di siang hari dan langit di malam hari. Matahari dan bulan.
Tidak dapat bersatu, tidak dapat bertemu, tapi sesungguhnya ditakdirkan
bersama, hidup berdampingan. “
“Jadi, jika matahari dan
bulan yang sebenarnya saja ditakdirkan bersama, apalagi kita yang bukan
matahari dan bulan yang sesungguhnya?”
“Jadi Hinata—“ perkataan
Naruto terputus ketika menengokkan kepalanya kepalanya ke kanan.
“—ke-kenapa kau menangis?”
ucap Naruto panik.
Melihat Naruto yang panik sendiri, entah kenapa membuat Hinata ingin tertawa. Ia menangkupkan sebelah tangannya ke mulut, kemudian tertawa. Walau derai air mata masih meluncur ke pipi dan dagunya.
“Aku salah ya ngomong begitu,
aduh maafkan aku.”
Hinata menggeleng pelan, entah kenapa mendengarkan dan memahami perkataan pemuda di depannya ini membuat Hinata terharu, tanpa ia sadari dirinya menangis. Ucapan Naruto dapat membuatnya tenang, seolah semua rasa cemasnya itu terhisap entah kemana.
Naruto yang melihat Hinata menangis dan tertawa merasa bingung. Hinata menangis tetapi ia tertawa? Apa bisa ia simpulkan kalau itu tangis bahagia?
“Hinata,” gumam Naruto lirih
namun tegas. Naruto menjulurkan sebelah tangannya, menghapus air mata di pipi
gadis itu. Kemudian memajukan tubuhnya, mendekatkan wajahnya untuk—
CUP.—mengecup gadisnya.
Berbagi kehangatan, bolehkan?
Masih dalam posisi memeluk,
Naruto berbisik,” Jangan berkata yang tidak-tidak, kau membuatku takut. Dan
jangan dekat-dekat dengan pemuda lain.” Naruto kembali ke awal pembicaraan
mereka.
Hinata mengangguk. Melepas
pelukannya kemudian berdiri. Mengulurkan tangannya kepada Naruto yang masih
duduk sambil berkata,” tapi untuk satu hal terakhir itu aku tidak bisa janji.”
Mereka berjalan keluar dari hutan. Sebelumnya mereka telah sepakat untuk mampir ke kedai Ichiraku untuk makan ramen. Bukannya untuk menghemat atau apa. Tapi kenapa harus repot-repot kalau hal sederhana dapat membuat bahagia? Dan bahagia tidak mesti butuh uang atau sesuatu yang mahal bukan?
Siapa yang menyangka, pembicaraan mereka akan berakhir dengan pidato panjang dari Naruto. Padahal ia sendiri yang tadinya ingin meminta suatu hal pada Hinata, tapi berakhir ia yang menenangkan gadis itu. Ya sudahlah lagipula hatinya yang tadi panas juga telah mereda. Entah kenapa melihat kesedihan di mata gadis itu, membuatnya hatinya nyeri dan rasa cemburu yang tadi menggerogoti nya hilang entah kemana.
o0o
Naruto mengantar Hinata ke
rumah dan kemudian mengatakan terimakasih. Terkadang Hinata merasa heran,
kenapa Naruto sering mengatakan hal itu padanya. Ia bertanya dan Naruto hanya
menggeleng sambil tersenyum. Tapi suatu saat Hinata akan menagih jawabannya.
Naruto berjalan pulang dengan senang. Ia berpikir, dirinya dan Hinata bisa menjadi raja dan ratu atau apapun itu jika mereka percaya, selama bintang masih bersinar terang. Mungkin ke depannya, akan banyak masalah yang mereka hadapi, tapi itu akan membuat cinta mereka semakin kuat.
o0o
Setibanya di dalam rumah,
Hinata dikagetkan dengan Hanabi yang tiba-tiba ada di hadapannya.
“Nee-san, habis berkencan
dengan Naruto-nii ya?”
Hinata hanya diam, tapi wajahnya memerah. Ia tidak bisa menyalahkan pipinya yang bereaksi terlalu cepat daripada bagian tubuhnya yang lain. Ya ampun ia digoda oleh adiknya sendiri.
“Diamlah Hanabi. Kau masih
kecil.”
“Jadi benar ya. Sebaiknya kakak cepat-cepat membuatkanku keponakan. Ku pikir Tou-san juga akan senang jika mendapatkan seorang cucu.” Kemudian sebelum Hinata menjawab, Hanabi berlalu pergi.
Hinata masih terdiam,
mencerna apa yang dikatakan oleh adiknya itu. Satu detik, dua detik, tiga
detik, pipinya memerah lagi, tapi lebih merah dari sebelumnya.
“HANABII” teriak Hinata.
o0o
Satu hal yang perlu kita
sadari.
Bahkan seorang pria yang
sering disebut bodoh oleh temannya, ketika berhadapan dengan orang yang ia
sukai, bisa berubah menjadi seseorang yang bijaksana dalam sekejap mata.
Termasuk mengatakan hal-hal bernuasa romansa.
Dan itu berlaku bagi Uzumaki
Naruto, ia hanya bisa berubah sifat menjadi seperti itu ketika bersama
gadisnya—
—Hyuuga Hinata.
END
AN :
Gaje? Iya.
Sebenarnya ini cuma soal rasa cemburu dan
percakapan singkat mengenai Matahari dan bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar