Everything Has Changed
Disclaimer
: Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Don’t
like, don’t read.
Jika sudah
membaca dan tidak suka, anggap saja Anda mendapat lotre,
yang
isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.
Terkadang
aku ingin jadi cenayang
Agar
aku tahu apa isi hatimu…
Di sebuah kelas, seorang gadis berambut
panjang terlihat sedang tertidur miring di meja kelasnya. Tak memperdulikan
suasana kelas yang bising. Melipat kedua lengan tangannya ke meja untuk
menyangga kepalanya. Keringat dingin terlihat sedikit menghiasi pelipisnya.
Kelopak matanya yang tertutup, menyembunyikan bola matanya yang indah, terlihat
bergerak tidak nyaman. Bibirnya sedikit
bergerak menggumamkan sesuatu yang tak jelas didengar.
Dirinya berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahnya yang
basah. Hujan turun dengan deras. Ia melewati jalan yang biasa ia lalui untuk
pulang ke rumahnya. Tiba-tiba langkah kakinya berhenti. Telinganya mendengar
suara aneh, seperti suara benda terjatuh dan teriakan seseorang. Ia merasa
familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan telinganya, ia mendengar suara-suara
itu dari gang di depannya. Ada banyak gang di perumahan ini. Tapi suara itu
berasal dari gang sebelah kiri di depannya.
Tap. Tap. Tap.
Pelan, pelan, pelan. Melangkahkan kakinya perlahan mungkin, ia
mencoba menengokkan kepalanya. Dan yang ia lihat adalah sekumpulan pemuda yang
babak belur. Satu orang yang mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup, tiga
orang yang masih memukuli seseorang yang sudah terbaring tidak berdaya. Dan
yang paling membuat matanya terbelalak, orang yang terbaring bersimbah darah
itu adalah—
SRETT. BRAK.
Hinata tersentak
kaget, mengerjapkan kelopak matanya kemudian bangun dari tidurnya. Mimpi itu
lagi, pikirnya. Atensinya kemudian beralih kepada seseorang yang membuka pintu
kelasnya dengan tidak wajar. Pemuda berambut pirang bermata biru itu sekarang
sedang berdiri di depan pintu dengan cengiran khasnya.Tatanan rambut dan
seragam sekolahnya selalu tidak rapi. Kemejanya tidak dimasukkan, tidak memakai
dasi, dan ada sebuah ikat kepala berwana hitam di dahinya. Dan Lihatlah deretan
gigi-gigi putih itu yang kontras sekali dengan wajahnya. Tersenyum lebar seolah
mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Malas, Hinata
merasa malas. Pasti setelah ini pemuda itu akan melakukan ritual paginya.
“Ohayou Minna.”
Teriak pemuda itu. “Sepulang sekolah, ada yang mau bertanding denganku?”
Ini bahkan masih
pagi dan pemuda itu sudah berkata pulang sekolah. Kebiasaan pemuda itu,
mengajak teman-temannya bertanding, kebiasaan yang aneh, pikir Hinata.
Menarik nafas
panjang, kemudian mengusap peluh yang membasahi dahinya dengan tangan kirinya,
Hinata menidurkan kembali kepalanya, tapi tak menutup mata, hanya melihat ke
luar jendela. Ia berada di meja deret kedua dari depan, paling kiri dari arah
pintu.
Anak-anak yang
lain yang semula diam karena kedatangan pemuda itu mulai ribut kembali. Pemuda
itu menggerutu sebal karena tak ada yang merespon. Tetapi matanya kemudian
bersinar, seolah menemukan mangsanya, melompati meja, dan hap.
Bertanya pada temannya, “Bagaimana denganmu Sasuke?”
“Tidak, Na-ru-to.”
Menekankan kalimatnya pada akhir kata, nama dari pemuda berambut pirang itu.
Naruto, pemuda
berambut pirang itu, menengok ke arah lain, “ Kalau kau Shikamaru?”
Pemuda berambut
nanas menguap malas, kemudian berkata, “Merepotkan.” Lalu tertidur kembali.
Oh, pemuda
berambut pirang itu tidak tahu saja, menawarkan sesuatu pada Shikamaru di pagi
hari adalah hal yang percuma.
“Kau kiba?”bertanya
pada Kiba, pemuda dengan garis segitiga merah terbalik pada pipinya.
Kiba berkata, “Aku
lebih senang bermain dengan Akamaru.”
“Cih, memangnya boleh
ya membawa anjing ke kelas.” Naruto berkata kesal dan mendapat tatapan tajam
dari Kiba.
Naruto kemudian
melihat ke sekeliling, ada Chouji yang sedang memakan kripiknya, Lee yang
sedang berteriak tentang semangat masa mudanya dengan Tenten, Sakura yang
sedang berdebat dengan Ino, dan Sai yang sedang melukis di pojok ruangan.
Naruto menggeleng
pelan, tidak ada yang bisa diajak. Terkadang ia berpikir bagaimana bisa ia dan
teman-teman lamanya sekelas terus menerus selama tiga tahun, padahal ada
pergantian kelas. Naruto duduk ke bangkunya, masih dengan senyum mengembang. Tapi
ketika mata birunya melihat ke arah gadis yang sedang menelungkupkan kepalanya miring
ke kiri ke arah jendela itu, senyumnya memudar, matanya meredup.
Naruto tidak
mungkin melupakan eksistensi gadis itu, dan dengan posisi tempat duduknya ini
yang berada di paling pojok dan hanya berjarak dua meja dari gadis itu, ia bisa
leluasa memandangnya walau hanya dari belakang.
.
SKIP TIME
.
Bel pulang sekolah
berbunyi.
Hinata memandang
ke bawah, tertarik dengan sesuatu yang berkerumun. Ada banyak orang di
lapangan.
Dor.
“Kyaaa.” Reflek
Hinata menjerit. Menengokkan kepalanya melihat pelakunya. Begini-begini, ia
juga tidak suka dikagetkan. “Tenten.” Menatap tajam Tenten yang sekarang telihat
merasa bersalah.
“Maaf-maaf, tidak
sengaja.” Tidak sengaja katanya? Hinata bahkan hampir jantungan.
Tidak menghiraukan
tatapan Hinata “Kenapa belum pulang?” gadis bercepol dua itu bertanya.
Hinata menunjukkan
telunjuknya ke bawah, mereka memang berada di lantai tiga.
“Kau tertarik? Ayo
kita lihat.”
“Tunggu— “ Tanpa
menghiraukan Hinata, Tenten tetap menarik lengannya untuk turun ke lantai bawah.
.
.
Naruto sedang
menggiring bola, terus melewati pemain-pemain yang lain. Sasuke menghadang.
“Jangan harap kau
bisa lewat, Naruto.” Sasuke mengucap sambil mencoba mengambil bola.
Oh ternyata mereka
lawan. “Tentu saja bisa, Sasuke.”
“Apa kau gugup?”
Tanya Sasuke lagi.
“Heh? Kenapa aku
harus—“ sebelum Naruto sempat berucap Sasuke memotong.
“Ada Hyuuga di
bangku penonton.” Seketika Naruto menengokkan kepalanya. Dan ya, disana ada
Hinata sedang memandang ke arahnya. Ketika Naruto menengokkan kepalanya lagi
untuk berhadapan dengan Sasuke. Sret, sret. Bola sekarang berada di kaki
Sasuke. Dan Naruto baru menyadarinya ketika Sasuke sudah berlari kearah gawang
dan memasukkan bola.
“Kau curang,
Teme,” teriak Naruto tidak terima, merasa dicurangi tapi jika dilihat lebih
dekat, ada semburat merah di pipinya. Lagipula ia malu karena dikerjai oleh
Sasuke, perhatiannya bisa teralihkan dengan mudahnya hanya dengan mendengar nama
gadis berambut panjang itu.
“Dasar dobe,” ucap
Sasuke.
Pertandingan terus
berlanjut sampai akhirnya Naruto terjatuh, tersandung kaki lawan.
“ Sial, kenapa
hari ini aku sial sekali.” Naruto menggerutu pelan sambil mencoba berdiri. Mata
kakinya lecet. Luka segini sih tak seberapa, pikirnya.
.
.
Hinata hanya
sekedar iseng melihat pertandingan itu, tampaknya Sasuke dkk berubah pikiran
dan menerima ajakan Naruto. Hinata juga melihat itu, ketika Sakura berdebat dengan Naruto. Setelah
Naruto terjatuh, sepertinya Naruto tak mau diobati. Jarak antara bangku penonton dan lapangan
cukup jauh, walaupun ini lapangan outdoor,
jadi ia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Hei-hei lihat,
bukankah itu Sakura senpai?”
“Kau benar. “
“Apa menurutmu,
pertandingan ini untuk taruhan?”
“Apa maksudmu?”
“Mungkin saja,
siapa yang akan memenangkan pertandingan ini akan menjadi kekasih Sakura
senpai.”
“Oh benar juga, ku
dengar Sasuke senpai dan Naruto senpai menyukai Sakura-san.”
Hinata mendengar
itu tentu saja, obrolan adik kelas yang ada di depan bangku mereka. Hinata tau,
Sakura ada disitu selain sebagai sahabat Sasuke dan Naruto tetapi juga sebagai
petugas kesehatan. Jadi jika ada pemain yang terluka, tentu saja ia wajib
mengobatinya. Dan sepertinya hal tadi yang diperdebatkan mereka.
Beralih ke arah
Tenten yang ada di sebelah kanannya dan berkata, “Tenten, ayo pulang.”
Menanggapi
perkataaan Hinata, Tenten berucap, “Eh, kenapa?”
Tenten ternyata
sedang menonton Chouji yang sedang menggiring bola yang ternyata juga ikut
pertandingan, Keripik kentang yang biasa ia Chouji makan sudah hilang entah
hilang kemana.
“Aku tidak harus
menonton sampai selesai.” Berdiri dari bangku penonton, Hinata berlalu pergi.
Menghembuskan
nafas kasar, Tenten menunjuk dua orang perempuan didepannya, adik kelasnya,
sambil berucap, “Awas ya kalian.”
Dua orang itu
menengok ke belakang, mendapati Tenten yang memandang mereka tajam. Membuat
bulu kuduk mereka merinding. Tanpa tau penyebab mengapa kakak kelasnya
bertindak seperti itu.
Usut punya usut,
Tenten juga ikut mendengar percakapan adik kelasnya itu, dan ia menduga kalau
hal itu yang menyebabkan Hinata kesal. Padahal belum tentu.
Tenten berlari
menyusul Hinata. Ia tidak mungkin meninggalkan Hinata pulang sendirian. Ia
bukanlah orang yang akan meninggalkan temannya sendiri demi kepentingan
pribadi. Walaupun ia ingin menonton pertandingan ini sampai selesai.
“Hinata, tunggu
aku.”
.
.
Mentari sore
bersinar. Ternyata pertandingan itu memakan waktu lama. Pertandingan sudah
selesai, dan hasilnya dimenangkan oleh Sasuke.
Tuk.. Tuk.. Tuk.. Sambil
berjalan pulang ke rumah. Naruto menendang-nendang batu kerikil yang ada di
aspal. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Tidak biasanya ia
kalah. Padahal ada gadis itu, kenapa ia harus kalah?. Ah sudahlah, yang
pentingkan tadi gadis itu menonton, pikir Naruto. Ia tersenyum tipis, hatinya
sedikit menghangat. Pasalnya gadis itu memang tidak pernah melihat
pertandingannya, yah walaupun hanya beberapa kali ia bertanding sepak bola,
karena biasanya ia lebih suka tawuran atau berkelahi.
Memandang ke
langit yang mulai berwarna jingga, karena terkena bias cahaya mentari sore,
Naruto bergumam, “ Berkelahi ya?” Matanya menerawang.
Menengok ke belakang, penyesalan yang kau dapat
Berlari ke depan, tak tahu apa yang akan kau gapai
Meskipun begitu, bolehkah tetap mencoba?
Selama yang bernama asa itu masih ada?
.
.
.
Tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar