Selasa, 02 Mei 2017

Everything Has Changed chap 2



Everything Has Changed
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Don’t like, don’t read.
Jika sudah membaca dan tidak suka, anggap saja Anda mendapat lotre,
yang isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.

Terkadang aku ingin jadi cenayang
Agar aku tahu apa isi hatimu…

Di sebuah kelas, seorang gadis berambut panjang terlihat sedang tertidur miring di meja kelasnya. Tak memperdulikan suasana kelas yang bising. Melipat kedua lengan tangannya ke meja untuk menyangga kepalanya. Keringat dingin terlihat sedikit menghiasi pelipisnya. Kelopak matanya yang tertutup, menyembunyikan bola matanya yang indah, terlihat bergerak tidak nyaman.  Bibirnya sedikit bergerak menggumamkan sesuatu yang tak jelas didengar.

Dirinya berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahnya yang basah. Hujan turun dengan deras. Ia melewati jalan yang biasa ia lalui untuk pulang ke rumahnya. Tiba-tiba langkah kakinya berhenti. Telinganya mendengar suara aneh, seperti suara benda terjatuh dan teriakan seseorang. Ia merasa familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan telinganya, ia mendengar suara-suara itu dari gang di depannya. Ada banyak gang di perumahan ini. Tapi suara itu berasal dari gang sebelah kiri di depannya.
Tap. Tap. Tap.
Pelan, pelan, pelan. Melangkahkan kakinya perlahan mungkin, ia mencoba menengokkan kepalanya. Dan yang ia lihat adalah sekumpulan pemuda yang babak belur. Satu orang yang mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup, tiga orang yang masih memukuli seseorang yang sudah terbaring tidak berdaya. Dan yang paling membuat matanya terbelalak, orang yang terbaring bersimbah darah itu adalah—
SRETT. BRAK.
Hinata tersentak kaget, mengerjapkan kelopak matanya kemudian bangun dari tidurnya. Mimpi itu lagi, pikirnya. Atensinya kemudian beralih kepada seseorang yang membuka pintu kelasnya dengan tidak wajar. Pemuda berambut pirang bermata biru itu sekarang sedang berdiri di depan pintu dengan cengiran khasnya.Tatanan rambut dan seragam sekolahnya selalu tidak rapi. Kemejanya tidak dimasukkan, tidak memakai dasi, dan ada sebuah ikat kepala berwana hitam di dahinya. Dan Lihatlah deretan gigi-gigi putih itu yang kontras sekali dengan wajahnya. Tersenyum lebar seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Malas, Hinata merasa malas. Pasti setelah ini pemuda itu akan melakukan ritual paginya.
“Ohayou Minna.” Teriak pemuda itu. “Sepulang sekolah, ada yang mau bertanding denganku?”
Ini bahkan masih pagi dan pemuda itu sudah berkata pulang sekolah. Kebiasaan pemuda itu, mengajak teman-temannya bertanding, kebiasaan yang aneh, pikir Hinata.
Menarik nafas panjang, kemudian mengusap peluh yang membasahi dahinya dengan tangan kirinya, Hinata menidurkan kembali kepalanya, tapi tak menutup mata, hanya melihat ke luar jendela. Ia berada di meja deret kedua dari depan, paling kiri dari arah pintu.
Anak-anak yang lain yang semula diam karena kedatangan pemuda itu mulai ribut kembali. Pemuda itu menggerutu sebal karena tak ada yang merespon. Tetapi matanya kemudian bersinar, seolah menemukan mangsanya, melompati meja, dan hap.
Bertanya  pada temannya, “Bagaimana denganmu  Sasuke?”
“Tidak, Na-ru-to.” Menekankan kalimatnya pada akhir kata, nama dari pemuda berambut pirang itu.
Naruto, pemuda berambut pirang itu, menengok ke arah lain, “ Kalau kau Shikamaru?”
Pemuda berambut nanas menguap malas, kemudian berkata, “Merepotkan.” Lalu tertidur kembali.
Oh, pemuda berambut pirang itu tidak tahu saja, menawarkan sesuatu pada Shikamaru di pagi hari adalah  hal yang percuma.
“Kau kiba?”bertanya pada Kiba, pemuda dengan garis segitiga merah terbalik pada pipinya.
Kiba berkata, “Aku lebih senang bermain dengan Akamaru.”
“Cih, memangnya boleh ya membawa anjing ke kelas.” Naruto berkata kesal dan mendapat tatapan tajam dari Kiba.
Naruto kemudian melihat ke sekeliling, ada Chouji yang sedang memakan kripiknya, Lee yang sedang berteriak tentang semangat masa mudanya dengan Tenten, Sakura yang sedang berdebat dengan Ino, dan Sai yang sedang melukis di pojok ruangan.
Naruto menggeleng pelan, tidak ada yang bisa diajak. Terkadang ia berpikir bagaimana bisa ia dan teman-teman lamanya sekelas terus menerus selama tiga tahun, padahal ada pergantian kelas. Naruto duduk ke bangkunya, masih dengan senyum mengembang. Tapi ketika mata birunya melihat ke arah gadis yang sedang menelungkupkan kepalanya miring ke kiri ke arah jendela itu, senyumnya memudar, matanya meredup.
Naruto tidak mungkin melupakan eksistensi gadis itu, dan dengan posisi tempat duduknya ini yang berada di paling pojok dan hanya berjarak dua meja dari gadis itu, ia bisa leluasa memandangnya walau hanya dari belakang.
.
SKIP TIME
.
Bel pulang sekolah berbunyi.
Hinata memandang ke bawah, tertarik dengan sesuatu yang berkerumun. Ada banyak orang di lapangan.
Dor.
“Kyaaa.” Reflek Hinata menjerit. Menengokkan kepalanya melihat pelakunya. Begini-begini, ia juga tidak suka dikagetkan. “Tenten.” Menatap tajam Tenten yang sekarang telihat merasa bersalah.
“Maaf-maaf, tidak sengaja.” Tidak sengaja katanya? Hinata bahkan hampir jantungan.
Tidak menghiraukan tatapan Hinata “Kenapa belum pulang?” gadis bercepol dua itu bertanya.
Hinata menunjukkan telunjuknya ke bawah, mereka memang berada di lantai tiga.
“Kau tertarik? Ayo kita lihat.”
“Tunggu— “ Tanpa menghiraukan Hinata, Tenten tetap menarik lengannya untuk turun ke lantai bawah.
.
.
Naruto sedang menggiring bola, terus melewati pemain-pemain yang lain. Sasuke menghadang.
“Jangan harap kau bisa lewat, Naruto.” Sasuke mengucap sambil mencoba mengambil bola.
Oh ternyata mereka lawan. “Tentu saja bisa, Sasuke.”
“Apa kau gugup?” Tanya Sasuke lagi.
“Heh? Kenapa aku harus—“ sebelum Naruto sempat berucap Sasuke memotong.
“Ada Hyuuga di bangku penonton.” Seketika Naruto menengokkan kepalanya. Dan ya, disana ada Hinata sedang memandang ke arahnya. Ketika Naruto menengokkan kepalanya lagi untuk berhadapan dengan Sasuke. Sret, sret. Bola sekarang berada di kaki Sasuke. Dan Naruto baru menyadarinya ketika Sasuke sudah berlari kearah gawang dan memasukkan bola.
“Kau curang, Teme,” teriak Naruto tidak terima, merasa dicurangi tapi jika dilihat lebih dekat, ada semburat merah di pipinya. Lagipula ia malu karena dikerjai oleh Sasuke, perhatiannya bisa teralihkan dengan mudahnya hanya dengan mendengar nama gadis berambut panjang itu.
“Dasar dobe,” ucap Sasuke.
Pertandingan terus berlanjut sampai akhirnya Naruto terjatuh, tersandung kaki lawan.
“ Sial, kenapa hari ini aku sial sekali.” Naruto menggerutu pelan sambil mencoba berdiri. Mata kakinya lecet. Luka segini sih tak seberapa, pikirnya.
.
.
Hinata hanya sekedar iseng melihat pertandingan itu, tampaknya Sasuke dkk berubah pikiran dan menerima ajakan Naruto. Hinata juga melihat  itu, ketika Sakura berdebat dengan Naruto. Setelah Naruto terjatuh, sepertinya Naruto tak mau diobati.  Jarak antara bangku penonton dan lapangan cukup jauh, walaupun ini lapangan outdoor,  jadi ia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Hei-hei lihat, bukankah itu Sakura senpai?”
“Kau benar. “
“Apa menurutmu, pertandingan ini untuk taruhan?”
“Apa maksudmu?”
“Mungkin saja, siapa yang akan memenangkan pertandingan ini akan menjadi kekasih Sakura senpai.”
“Oh benar juga, ku dengar Sasuke senpai dan Naruto senpai menyukai Sakura-san.”
Hinata mendengar itu tentu saja, obrolan adik kelas yang ada di depan bangku mereka. Hinata tau, Sakura ada disitu selain sebagai sahabat Sasuke dan Naruto tetapi juga sebagai petugas kesehatan. Jadi jika ada pemain yang terluka, tentu saja ia wajib mengobatinya. Dan sepertinya hal tadi yang diperdebatkan mereka.
Beralih ke arah Tenten yang ada di sebelah kanannya dan berkata, “Tenten, ayo pulang.”
Menanggapi perkataaan Hinata, Tenten berucap, “Eh, kenapa?”
Tenten ternyata sedang menonton Chouji yang sedang menggiring bola yang ternyata juga ikut pertandingan, Keripik kentang yang biasa ia Chouji makan sudah hilang entah hilang kemana.
“Aku tidak harus menonton sampai selesai.” Berdiri dari bangku penonton, Hinata berlalu pergi.
Menghembuskan nafas kasar, Tenten menunjuk dua orang perempuan didepannya, adik kelasnya, sambil berucap, “Awas ya kalian.”
Dua orang itu menengok ke belakang, mendapati Tenten yang memandang mereka tajam. Membuat bulu kuduk mereka merinding. Tanpa tau penyebab mengapa kakak kelasnya bertindak seperti itu.
Usut punya usut, Tenten juga ikut mendengar percakapan adik kelasnya itu, dan ia menduga kalau hal itu yang menyebabkan Hinata kesal. Padahal belum tentu.
Tenten berlari menyusul Hinata. Ia tidak mungkin meninggalkan Hinata pulang sendirian. Ia bukanlah orang yang akan meninggalkan temannya sendiri demi kepentingan pribadi. Walaupun ia ingin menonton pertandingan ini sampai selesai.
“Hinata, tunggu aku.”
.
.
Mentari sore bersinar. Ternyata pertandingan itu memakan waktu lama. Pertandingan sudah selesai, dan hasilnya dimenangkan oleh Sasuke.
Tuk.. Tuk.. Tuk.. Sambil berjalan pulang ke rumah. Naruto menendang-nendang batu kerikil yang ada di aspal. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Tidak biasanya ia kalah. Padahal ada gadis itu, kenapa ia harus kalah?. Ah sudahlah, yang pentingkan tadi gadis itu menonton, pikir Naruto. Ia tersenyum tipis, hatinya sedikit menghangat. Pasalnya gadis itu memang tidak pernah melihat pertandingannya, yah walaupun hanya beberapa kali ia bertanding sepak bola, karena biasanya ia lebih suka tawuran atau berkelahi.
Memandang ke langit yang mulai berwarna jingga, karena terkena bias cahaya mentari sore, Naruto bergumam, “ Berkelahi ya?” Matanya menerawang.

Menengok ke belakang, penyesalan yang kau dapat
Berlari ke depan, tak tahu apa yang akan kau gapai
Meskipun begitu, bolehkah tetap mencoba?
Selama yang bernama asa itu masih ada?
.
.
.
Tbc





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium