Selasa, 02 Mei 2017

Everything Has Changed chap 4



Everything Has Changed
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Story by: Karizz-taka (Karizzta)
.
.
Don’t like, don’t read.
Jika sudah membaca dan tidak suka, anggap saja Anda mendapat kupon undian,
yang isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.
.
Satu hal yang aku tahu…
Aku tidak benar-benar tahu tentangmu…

Di sebuah kamar bercorak lavender, seorang gadis berambut panjang terlihat membaringkan tubuhnya miring. Hinata menggulingkan tubuhnya di kasurnya yang nyaman dengan gusar. Berkali-kali ia mencoba memejamkan matanya namun bola matanya yang terlihat indah jika dilihat dari dekat itu enggan menuruti perintah dari pemilik tubuh. Akhirnya ia memandang langit-langit kamarnya lama, hanya untuk menemukan dirinya yang berpikir jauh entah kemana, tak jelas arahnya. Mata berwarna amethysnya menutup dan membuka perlahan. Seolah dengan itu bisa membuang semua rasa bingung dan gundah yang mengusik kinerja otaknya.
Satu hal yang pasti ia tahu ada satu nama yang mengganggunya akhir-akhir ini.
“Naruto.” Hinata menggumamkan dengan pelan nama pemuda pemilik rambut pirang.
Ya, pemuda itu, pikir Hinata. Hinata tahu dirinya menyukai pemuda itu atau bahkan lebih dari sekedar menyukai. Ia menyukai Naruto, karena sifatnya yang suka menolong, bersemangat, dan pantang menyerah. Orang dewasa mungkin akan menyebut cinta pada anak remaja sepertinya sebagai cinta monyet. Tapi bagi Hinata sendiri, ia tahu dengan jelas bagaimana perasaannya. Tapi itu dulu, ketika Hinata tak akan ragu mengatakan pada hatinya bahwa ia menyukai pemuda itu. Dulu, sebelum sebuah kejadian merenggut semua semangat yang ia miliki. Tapi tidak sekarang. Sekarang, Hinata bahkan bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia masih menyukai pemuda itu atau tidak. Bagaimana perasaannya yang sesungguhnya pada pemilik bola mata sebiru samudera itu.
Entahlah, akhir-akhir ini ia juga merasa aneh dengan dirinya. Dirinya yang sekarang, melakukan sesuatu tanpa berpikir, hanya mengikuti kata hati, juga lebih sering melibatkan emosi.  Ini dimulai ketika ia bangun dengan kenyataan bahwa kakak sepupunya satu-satunya telah tiada. Seolah semua rasa semangatnya menghilang entah kemana. Kesedihan meliputinya, dan ketika ia bercermin untuk berangkat sekolah, ia menemukan raut wajah datar menghiasi mukanya.
Hinata sadar, sepertinya ia mengalami yang namanya berduka disfungsional. Itu berlebihan memang. Apakah dirinya gila? Hinata menolak mengakui itu. Ia cukup sehat, tak mengalami semacam halusinasi atau disorientasi, jadi tak ada alasan baginya untuk mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa atau bahkan berpikiran untuk menginap di tempat itu. Ia hanya masih merasa ada sesuatu yang hilang atau kurang. Tapi dirinya sudah menerima kenyataan yang ada. Ia hanya butuh waktu. Hinata yakin, dengan berjalannya waktu, ia akan baik-baik saja.
Lalu soal perasaanya pada Naruto, ia akan mencari tahu jawabannya. Ia bahkan bingung pada dirinya sendiri yang tak suka melihat Naruto berdekatan dengan Sakura. Seolah hatinya tak mau bekerja sama dengan logikanya. Seharusnya tak begitu, kemarin ia baik-baik saja saat melihat mereka bersama. Tapi kenapa sekarang berbeda? Hinata pikir, ia sudah tahu jawabannya mengenai hal itu, tapi ia perlu memastikannya.
Hinata berguling lagi, ke arah sebaliknya, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Otaknya mengingat kilasan-kilasan beberapa jam yang lalu.
Hinata ingat, ia berlari pergi begitu saja setelah terpaku melihat Naruto bersama Sakura. Ia berlari cukup cepat, melangkah kakinya yang mungil ke arah taman di sekitar kompleks rumahnya. Tidak biasanya, kali ini taman itu sepi tanpa pengunjung.
Hinata berhenti dan mulai duduk ketika ia merasa matanya tiba-tiba panas dan memburam. Dadanya sesak, entah karena berlari cukup kencang atau karena sesuatu yang lain. Kemudian ketika dirinya menunduk, butiran-butiran air dari matanya jatuh perlahan tanpa mengenai pipinya.  Walaupun hanya beberapa tetes tanpa ada isak tangis.
Lalu ada seorang pemuda menghampirinya dan bertanya, “Kenapa menangis?”
Hinata mendongak, mencari tahu siapa yang bertanya kepadanya, “Siapa?”
“Aku Toneri,”ucap pemuda itu pelan tapi terdengar cukup jelas.
Hinata merasa tidak mengenalnya. Berapa kalipun dipikir, ia sama sekali tidak mengenalnya. Hinata hanya mempunyai sedikit teman laki-laki. Itu pun ia mengenalnya karena satu sekolah, sedangkan pemuda aneh tapi ia akui cukup tampan itu jelas-jelas tidak satu sekolah dengannya. Mengapa ia mengatakannya begitu?  Hinata hanya mengira-ngira saja, dilihat dari wajahnya sepertinya bukan anak sekolah lagi, cukup dewasa.
Pemuda itu yang menamai dirinya Toneri, mendekat ke arahnya. Hinata agak khawatir dengan posisinya saat ini. Ia duduk di ayunan sedang pemuda itu mendekatkan dirinya ke wajahnya. Ketika cukup dekat, ia mengatakan sesuatu yang membuat gadis bermata amethyst itu membulat.
Pemuda itu berkata, “Ikutlah denganku. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu.” Sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Hinata bingung, dirinya hanya berkata, “Eh?”
Hinata merasa heran dengan pemuda di depannya. Baru bertemu saja sudah mengatakan hal-hal aneh, apalagi nanti. Hinata tidak mau memikirkannya.
Sebelum Hinata sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba dari arah kiri dirinya mendengar Naruto berteriak memanggil namanya. Dan yang lebih membuatnya tidak mempercayai penglihatannya adalah Naruto, pemuda itu memasang wajah khawatirnya sambil berkata, “kau tidak apa-apa, Hinata?”
Sekarang Hinata merasa bingung, sebenarnya siapa yang tadi melukai siapa? Atau siapa yang melukai dirinya? Naruto atau Toneri? Hinata hanya menggeleng, ambigu menjawab pertanyaan yang diajukan Naruto.
Sedang Toneri kemudian berkata, “Jadi namamu Hinata ya, sampai jumpa lagi. Kalau kita bertemu lagi, kau boleh menjawab tawaranku.” Kemudian pergi menjauh.
Hinata menggeleng tidak percaya dengan perkataan Toneri. Sedang Naruto masih memasang wajah khawatirnya. Hinata merasa itu adalah pertama kalinya Hinata melihat Naruto mengkhawatirkannya.
.
.
.
Diwaktu yang sama, di tempat berbeda. Naruto membaringkan tubuhnya di kasur di apartmentnya yang sederhana. Sederhana, kalau tidak mau dibilang kecil. Tidak masalah mengingat dirinya tinggal sendiri. Menautkan kedua tangannya yang ia letakkan ke belakang kepala, sambil menatap langit-langit kamar. Ingatannya berputar pada kejadian dulu.
Satu tahun yang lalu.
Saat itu dirinya masih kelas dua Senior High School. Di musim gugur, ia  berjalan pulang dari sekolah. Dibandingkan teman-temannya yang lain, Naruto memilih pulang paling akhir. Ketika ia berjalan kaki untuk pulang. Pada saat itulah ia melihat gadis itu di halte dekat sekolah. Hyuuga Hinata tampak cantik dengan pipi memerah dan sebelah tangannya yang memegang rambut panjangnya yang diterpa angin. Sebelah tangannya memegang rok pendeknya yang berkibar. Naruto sebenarnya ingin menghampiri, menanyakan kenapa ia belum pulang dan mengapa ia sendirian namun urung ketika melihat Hinata berkali-kali melihat ke arah telepon selularnya, seperti sedang menunggu seseorang atau pesan dari seseorang.
Naruto mengurungkan niatnya dan membiarkan gadis itu sendiri. Hari sudah sore dan angin bertiup cukup kencang. Dirinya melihat ke atas, awan gelap terlihat menggumpal memenuhi langit yang tadinya cerah, mendung kata lainnya. Sepertinya akan turun hujan, pikirnya. Ia harus cepat pulang. Ia melihat ke arah Hinata sekali lagi, ia berharap gadis itu baik-baik saja. Walau bagaimanapun, Hinata teman sekelasnya, walau hampir tidak pernah berbicara padanya, ia tidak boleh tidak memperdulikannya sama sekali bukan? atau setidaknya itulah pemikirannya pada waktu itu.
Naruto berjalan melewati jalan yang biasa ia lalui untuk pulang ke rumahnya. Melewati beberapa gang, entah kenapa jalan terlihat sepi saat ini. Dirinya berhenti berjalan ketika ada tiga orang yang mengepungnya. Tiga orang itu tidak terlihat seperti anak sekolah, pikirnya. Sebelum ia sempat berpikir lagi, dirinya sudah diseret ke gang buntu di sebelah kiri jalan.
Naruto meringis ketika dirasakannya punggungnya menabrak ke tembok gang didorong oleh orang-orang itu. Satu orang yang berambut ikal mencengkram lehernya erat, membuatnya sulit bernafas. Dan dua orang lainnya mengepungnya.
“Kuso, apa yang kalian mau?” Naruto berusaha bertanya, meskipun orang di depannya sama sekali tidak mengendurkan cengkraman tangannya.
“Serahkan uangmu, bocah,” Ucap orang berambut ikal itu kemudian mengerlingkan matanya pada dua orang lainnya yang juga berbadan besar sama dengan orang itu. Satu orang meraih tasnya dan satunya lagi menggeledah saku seragam yang menempel di tubuhnya.
“Apa ini? Tak ada apa-apa?”kata orang yang menghamburkan isi tasnya sambil tertawa meremehkan.
Naruto mengernyit. Ia tidak takut tentu saja. Tapi masalahnya, apa ia dapat keluar dari sini dengan selamat? Ia tidak berfikir kalau orang-orang itu yang sepertinya preman akan membiarkannya pergi tanpa mendapat satu pukulan atau apapun itu.
Sepertinya mereka berfikir aku anak orang kaya.’
Yah, dengan rambut pirang dan mata biru. Siapa sih yang mengira kalau dia penduduk lokal? Sayang seribu sayang, Naruto pikir meskipun ayah atau ibunya keturunan dari orang luar negeri. Untuk apa mempedulikannya, karena ia tidak akan bertemu kedua orang tuanya lagi. Karena mereka sudah lama pergi bahkan sebelum Naruto mendapat kemampuan mengingat.
Naruto melihat orang yang mencengkram lehernya terlihat lengah. Melihat kesempatan itu, ia segera mencengkram balik tangan yang tadi berada di lehernya dan memelintirnya kemudian menendang pria itu hingga jatuh. Dua orang lainnya yang sepertinya sadar akan apa yang terjadi, langsung memukul dan menendangnya membabi buta. Naruto menangkis sebisa mungkin, ia sulit menghindar karena di sekelilingnya hanya ada tembok, ia terjebak.  Dua orang itu akhirnya mengcengkram kedua tangannya dari sisi yang berlainan.
Orang yang tadi terjatuh, membunyikan jari-jari tangannya dan membentuk kepalan tangan, lalu memukul perutnya bertubi-tubi. Rasanya sakit sekali, ia baru sadar kalau di jari tangan orang yang memukulnya itu terdapat cincin-cincin berbentuk aneh berbahan besi. Sial. Ia muntah darah.
Pada saat orang itu akan memukul wajahnya, ada seseorang yang berteriak dan ia tidak dapat menahan keterkejutannya ketika sadar kalau orang itu adalah Neji. Kenapa ia ada disini? Tiba-tiba ia ingat gadis itu.
‘Hinata, mungkin Neji yang ditunggu Hinata dari tadi.’
Tapi Neji sendirian dan itu artinya ia belum menjemput Hinata. Naruto menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Neji tak terlibat dengannya. Tapi Neji tetaplah Neji, hampir sama seperti diinya, ia adalah seseorang yang tidak akan membiarkan temannya berada dalam kesusahan selama ia dapat membantu. Meskipun Neji berwajah datar dan terlihat cuek, tapi Naruto tahu pemuda itu jenius dan baik.
Neji maju, dan terlihat memukul orang yang berambut ikal hingga terjatuh. Lalu dua orang yang mencengkramku berlari maju sehingga membuatku terlepas, semua berjalan cepat. Neji membuat mereka babak belur, dan jatuh terkapar. Neji menghampiriku yang masih bersandar pada tembok dengan tersenyum. Tapi tiba-tiba satu orang dari mereka bangun dan menusuk Neji. Mata Naruto terbelalak lebar, dan tubuh Neji ambruk sebelum sempat ia tangkap.
Satu orang yang tadi menusuk Neji masih memegang pisau yang bersimbah darah. Orang itu menusuk dengan cepat tanpa menancapkan benda itu. Naruto yang akan mencoba menolong Neji lalu ditendang dan dihempaskan oleh dua orang lainnya hingga jatuh tersungkur. Kemudian mereka menendangnya berkali-kali.
Naruto yang tengkurap mencoba menengokkan kepalanya melihat keadaan Neji yang berada di sebelahnya. Tak diperdulikannya rasa sakit di tubuhnya. Naruto dapat merasakan tetesan air hujan mulai turun.
Neji berkata pelan, “Na-ru-to, jaga Hinata-sama.” Kemudian ia mulai menutup mata.
Bola mata biru Naruto memanas, bersamaan itu terdengar teriakan seorang gadis, “NII-SAN.”
Setelah itu, ia mendengar derap langkah kaki ke arahnya, dan orang-orang yang memukuli mereka sudah kabur entah kemana.
“Nii-san… Nii-san, bangunlah. Aku mohon.” Ucap Hinata dengan suara tangisnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Naruto melihat gadis itu menangis. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi, matanya kabur dan pandangannya menggelap.
Hari itu, hujan turun dengan lebat, seolah langit mewakili tangis dan kesedihan yang meliputi mereka.
Esoknya, pemakaman Neji. Keluarga dan teman-teman yang bersangkutan menghadiri untuk memberikan persembahan terakhir yang dapat mereka berikan. Menggunakan pakaian hitam, mereka mengelilingi tumpukan tanah yang telah mengubur tubuh orang yang mereka kasihi. Naruto berdiri di belakang Hinata. Dirinya tak memperdulikan wajahnya yang babak belur. Ia sudah meminta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Hinata. Ia tahu, sebanyak apapun ia minta maaf, ia tidak akan bisa mengembalikkannya tapi setidaknya dengan meminta maaf, ia sedikit mengurangi rasa bersalahnya karena melibatkan Neji dan tidak bisa menolongnya. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal hatinya. Naruto memandang gadis itu dari belakang dengan sendu.
Naruto menghela nafas lelah, ingatannya waktu itu membuat dadanya sesak. Ia merasa bersalah, walau tahu bukan sepenuhnya kesalahannya. Ia mencoba memejamkan matanya.
.
.
.
Keesokan harinya, Hinata sudah berangkat sekolah seperti biasa. Tidak ada yang istimewa, hanya saja ia sudah berfikir semalaman tentang sesuatu dan hari ini ia ingin mencoba hal baru. Hal baru yang sebenarnya tidak benar-benar baru. Hal yang sudah lama ia tinggalkan.
Sepulang sekolah, di sebuah ruangan klub, terdengar suara-suara pukulan.
Bugh. Bugh. Bugh.
Suara tendangan juga pukulan terdengar dari sebuah ruangan. Namun itu bukanlah sebuah perkelahian. Di sebuah ruangan yang sepi, terlihat seorang gadis berambut panjang sedang berlatih seorang diri. Hanya memukul dan menendang, latihan dasar. Ia berhenti bergerak ketika dirasa tenaganya berkurang dan tubuhnya lelah, itu dapat terlihat ketika ia mendengar suara nafasnya sendiri yang pendek-pendek, beradu dengan degup jantungnya yang meningkat cepat.
Hinata tidak menyeka bulir-bulir keringat yang turun melewati dagunya. Ia duduk dengan meluruskan kakinya sebentar. Ketika dirasa, nafasnya sudah kembali normal, ia membaringkan tubuhnya di tempat itu. Ia bahkan tidak memperdulikan suara pintu yang bergeser, pertanda ada seseorang yang membukanya. Hinata menengokkan kepalanya ke arah orang itu ketika dirasa, sepasang kaki bersepatu itu berhenti tepat di sebelahnya. Mengetahui bahwa yang datang itu temannya yang berambut cepol dua, ia kembali memandang langit-langit, dan memejamkan matanya.
Tenten yang melihat Hinata tidak menghiraukannya, memanggilnya, “Hinata.”  
“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Tenten menjelaskan, kemudian duduk disebelahnya.
“Siapa yang menyuruhmu mencariku.” Hinata menjawab dengan cuek sambil mencoba duduk bersilah kaki.
“Kau benar-benar sudah berubah ya.” Kata Tenten. Melihat Hinata yang menatapnya tajam, Tenten mencoba menjelaskan, “Aku.. aku tidak bermaksud…”
Hinata berfikir, apa tadi ekspresinya begitu menyeramkan sampai membuat Tenten, temannya yang satu itu menjadi merasa bersalah. Hinata menghela nafas sambil berkata, “Tidak apa, Tenten. Aku ingin mendengarnya darimu.”
“Tentang apa?” sahut Tenten.  “Sejauh mana, aku berubah.” Lanjut Hinata sambil mengangkat bahunya.
Hinata sebenarnya cuma penasaran dengan hal ini, tak dijawab pun tak masalah, tapi sepertinya Tenten menganggapnya serius dan menanggapinya.
“Kau benar-benar ingin mendengar pendapatku?” jawab Tenten sambil menghela nafas.  Hinata mengangguk.
“Kau tidak akan marah padaku kan?” Tanya Tenten memastikan.
“Kenapa aku harus marah?” Tanya balik Hinata.
Tenten menarik nafas dalam, entahlah, ia hanya bersiap-siap untuk kemungkinan yang terjadi. Terkadang kadar sensitifitas seseorang kan bisa meningkat dengan cepat. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Hinata nanti bukan?
“Kau bisa melihat atau mendengarnya sendiri. Pilihan kata yang kau ucapkan saja berubah. Biasanya, ketika kau bicara, kau akan terlihat gugup, dan mulai berbicara dengan pelan.” Tenten tidak berani menatap Hinata langsung, gadis itu hanya melirik dari ujung matanya.
“Lalu apa lagi?” Tanya Hinata penasaran, seberapa besar perubahan tingkah lakunya. Terkadang, yang dapat menilai tingkah laku kita adalah orang lain, seseorang di sekitar kita, misalnya.
“Kau tidak akan, tidak memperdulikan Naruto. Kau selalu mencuri-curi pandang kepadanya dengan pipi memerah dan melihatnya dari jauh. Tapi sekarang, kau bahkan tidak memandangnya.”
“Aku seperti itu?” Tanya Hinata dengan mengerjapkan matanya. “Terlihat seperti penguntit.”Lanjutnya dengan suara pelan dan tatapan datar.
Tenten terkikik, melihat Hinata yang memberengutkan wajahnya, ia menghentikan tawanya. “Kau baru menyadarinya?”
Hinata yang menengadah sebentar lalu bertanya, “Apa dulu aku begitu jelas?”
 Melihat Tenten yang tidak paham, Hinata melanjutkan, “memperhatikannya?” katanya dengan pipi memerah.
Sebenarnya Hinata malu menanyakan hal ini, tapi berhubung Tenten teman terdekatnya, ia bisa pastikan Tenten akan tutup mulut.
“Semua orang tahu bahwa kau menyukainya.” Jawab Tenten tanpa merasa bersalah.
“APA!?” Hinata melebarkan matanya, sekarang ia menjadi ragu, ia tidak mungkin bisa menutup mulut semua orang kan?
Tenten menangkup kedua telinganya menggunakan tangan mendengar teriakan Hinata. Melihat ekspresi Hinata yang pucat, Tenten lalu berkata, “Aku bercanda.”
Hinata baru saja akan menarik nafas lega sebelum Tenten melanjutkan perkataannya, “ Bukan semua orang, tapi hanya teman sekelas dulu.”
Sama saja, fikir Hinata. Walaupun dalam rasio lebih sedikit tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik. Hinata terdiam melihat Tenten yang sepertinya masih ingin melanjutkan perkataannya.
“Bahkan ketika Neji masih hidup, ia akan—” ucapan Tenten terputus tatkala ia sadar dirinya mengacaukannya lagi, mengangkat topik yang salah.
“Maaf,” ujar Tenten merasa salah berbicara.
Melihat Hinata masih diam, Tenten mencoba mencairkan suasana.  “Hei, kau terlihat bagus dengan seragam itu.  Tenten yang melihat Hinata menggunakan seragam seni bela diri itu. “Senang melihatmu kembali ojou-sama,” ujar Tenten.
“Jangan menggodaku,” jawab Hinata tak terpengaruh tapi kemudian ia tersenyum tipis.
“Memang benarkan? Seharusnya kau yang jadi ketua klub Karate. Aku sudah cukup repot dengan beladiri dari cina itu.”
Sebenarnya ketua dari klub itu adalah Neji, tapi setelah ia pergi harusnya Hinata yang menggantikannya, tapi kemudian diserahkan padanya. Tenten menghela nafas, sebenarnya ia ingin menyerahkan jabatan ketua itu pada adik kelas, tapi menurutnya belum ada yang pantas.
“Aku tidak bisa. Aku mau fokus sekolah,” ucap Hinata mencoba menolak secara halus.
“Memangnya aku tidak,” ujar Tenten sambil mengerucutkan mulutnya, membuat Hinata ingin tertawa, tapi lagi-lagi yang keluar hanyalah senyum tipis.
Senyum tipis Hinata tergantikan dengan raut wajah serius. “Tenten,” panggilnya.
“Hmm.” Tenten hanya bergumam.
Hinata mencoba memutar otaknya, memilih diksi yang tepat, “Apa itu begitu penting? Maksudku, Apakah sebegitu pentingnya? Seperti apa perubahan itu bagi orang-orang?”
“Apa itu penting untukmu. Hinata yang kukenal tidak memperdulikan tanggapan orang lain. Kamu tetaplah kamu, mau berubah sifat seperti apapun, yang aku tahu, hatimu akan tetap baik.”
Hinata merasa hatinya menghangat mendengar perkataan dari Tenten. Rasanya ia ingin memeluknya saat ini. “Tenten.” Lirih Hinata terharu.
“Ngomong-ngomong, Hinata. Bagaimana caranya kau bisa masuk kesini?” Tanya Tenten sambil memicingkan matanya curiga. Seingatnya kuncinya hanya ada satu.
“Uhm… itu, aku bisa jelaskan Tenten.” Hinata menelan ludah gugup.
“Kau mengambilnya dariku?”
“Kau tahu, aku hanya meminjamnya darimu. Kemarin kau sibuk menyalin tugas matematika, jadi…” Hinata bangkit berdiri dan mulai berlari.
“HINATAA, “ teriak Tenten mengejar Hinata. “Tunggu, jangan kabur.”
Yang Hinata tahu, kalau ia harus kabur dari Tenten, karena temannya itu pasti akan menceramahinya kalau tindakan yang ia lakukan itu ceroboh, tidak baik dilakukan, dan sebagainya. Tapi bagi Hinata sendiri, Tenten saja yang pelupa, kemarin ia sudah bilang, hanya saja ia tidak diperdulikan, jadi jangan salahkan Hinata kalau ia mengambilnya sendiri dari tas sekolah Tenten.
.
.
.
Keesokan harinya, Hinata berangkat sekolah seperti biasa. Dan saperti biasa pula, gadis yang memilih duduk di dekat jendela itu, kali ini tak lagi beminat mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh Sang guru, ditandai dengan dirinya yang lebih memiih menopangkan dagunya di atas meja di tempat duduknya. Baginya, sekolah tak lagi menyenangkan. Rasanya ia bosan saja, setiap hari menjalani rutinitas yang sama. Tapi juga tak ingin beranjak keluar dari garis kehidupan semacam itu. Membingungkan, memang.
Hinata mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sepertinya bukan hanya ia yang bosan. Sama halnya dengan gadis berambut panjang itu, sepertinya murid-murid lain juga tak lagi berminat dengan penjelasan yang diberikan oleh Sang guru, Anko Sensei, Guru Bahasa Inggris di kelas ini. Terbukti dari sikap murid-murid lain yang terlihat menguap dan bicara sendiri. Jangan salahkan mereka, tapi memang situasi dan kondisi yang membuatnya begitu.
Pelajaran Bahasa Inggris tak lagi menjadi minat ketika diajarkan di siang hari dengan suara merdu Sang guru. Ditambahkan sinar matahari yang memantulkan efek berlebih sehingga meningkatkakan suhu ruangan.  Padahal pelajaran itu penting. Ya Sudahlah.
Hari itu sekolah diakhiri dengan kata-kata dari Sang guru tentang libur musim panas yang sebentar lagi akan datang.
“Selama libur musim panas, saya harap kalian mengerjakan tugas yang diberikan dan tetap belajar dengan giat.” Jelasnya.
Belajar dengan giat? Apa mungkin itu dilakukan ketika libur telah datang? Yah, pemikiran orang berbeda-beda.
.
.
.
Kali ini Hinata juga pulang sendiri. Gadis berambut indigo itu lebih memilih pulang lebih cepat dari biasanya karena ia tidak tahan dengan terik matahari yang menurutnya begitu menyengat. Ia berjalan kaki ke tempat halte bus dekat sekolah yang biasa ia naiki. Kali ini tempat duduk halte bus ramai dan penuh. Jadi ia memilih berdiri di ujung halte.
Telinganya berkedut, mendengar bisikan orang-orang di samping yang berdiri sama sepertinya.
“Kau lihat mata gadis itu?”ucap gadis berambut panjang.
“Uhm, matanya aneh.” Kali ini gadis berambut pendek ikal yang menjawab.
“Apa dia buta?” Tanya gadis yang pertama berbicara.
“Tapi kurasa, tadi ia bisa berjalan dengan baik.”
Hinata tersentak, tatkala ada seseorang yang memasangkan headset telepon genggamnya padanya. Membuat ia tak lagi mendengarkan obrolan dari dua gadis di sampingnya yang ia kira sebagai adik kelas yang baru melihatnya.
Hinata menengokkan kepala ke kanan untuk melihat orang yang dengan sesuka hatinya memasangkan headset padanya. Hinata hanya mengerjapkan matanya bingung ketika pemuda itu—orang itu yang ternyata laki-laki— berambut merah tersenyum manis kepadanya. Dengan parasnya yang Hinata akui tampan, tak ayal membuat orang-orang di sekitarnya memperhatikannya. Begitu pula, dengan gadis-gadis tadi yang berada di sampingnya, sepertinya sekarang lebih tertarik melihat pemuda itu.
Hinata baru menyadari kalau sedari tadi headset yang dipasangkan kepadanya belum terlepas. Masih berada di telinga kanannya dan yang satunya terhubung di telinga kiri pemuda itu. Hinata mengernyit, tapi ada yang aneh, headset itu tidak berbunyi.
Lamunannya buyar ketika pemuda itu berkata, “Kau tidak naik?” tanyanya sambil menunjuk bus yang baru datang dan ramai dinaiki orang-orang.
Hinata menggeleng, lebih memilih bus selanjutnya yang akan datang. Hinata melepas headsetnya. Dengan masih memegang headset tadi, ia memandang bingung pada pemuda di sebelahnya. Hinata rasa tingkah lakunya tak sopan, tapi apa boleh buat ia penasaran dengan pemuda itu, ah maksudnya dengan headset yang tak berbunyi yang berada di tangannya.
Pemuda berambut merah tadi yang mengerti tatapan dari Hinata, berkata, “ Tapi itu berfungsikan?”
“Kau bisa menipu orang-orang dengan itu,” ucapnya lagi sambil menunjukkan telepon genggamnya yang sengaja ia matikan yang tersambung pada headset.
Hinata mengangguk, ia mengerti maksud dari pemuda itu. Bukannya bermaksud membohongi orang-orang. Namun, terkadang ada hal-hal yang tak ingin kita dengar dan tak harus kita dengarkan, misalkan saja, gunjingan orang-orang. Itu hanya akan mengotori hati kita yang harusnya bersih.
“Arigatou,” ucap Hinata lirih sambil melirik pemuda yang tak ia kenal itu dengan ujung matanya.
Bus selanjutnya yang ditunggu Hinata, datang lebih cepat. Hinata melangkahkan kakinya ke arah bus. Tapi baru selangkah ia berbalik untuk bertanya, “Kau tidak naik?” Tanya Hinata pada pemuda yang sepertinya seumuran dengannya.
Bukannya bermaksud apa-apa, Hinata hanya menawarkan. Ia juga bingung pada dirinya, biasanya ia tidak peduli pada orang lain tapi pemuda itu tadi menolongnya, walaupun secara tehnik tidak dapat dikatakan menolongnya, tapi tindakan pemuda itu cukup membantunya dan membuatnya mengerti untuk menghindari orang-orang yang seperti itu. Yah, mungkin dirinya yang dulu, perlahan-lahan telah kembali.
“Tidak, aku masih ada urusan,” jawab pemuda itu.
Hinata hanya mengangguk, kemudian menaiki bus dan mengambil tempat di sisi jendela. Tanpa tahu, kalau ada sepasang mata berwarna shappire yang memperhatikannya dari jauh.
.
.
.
Naruto berjalan pelan menuju halte yang tadi ia perhatikan dari jauh. Pemuda itu memicingkan matanya melihat Hinata seperti nampak akrab berbicara dengan seorang pemuda.
Ketika sampai di tempat tujuan, Naruto mengangkat sebelah alisnya, di depannya ada—
“Naruto,” panggil pemuda berambut merah itu, melihat orang yang sedari tadi ditunggunya datang.
“Sasori.” Naruto berkata lirih tapi tegas dalam bersamaan.
—Salah satu anggota Akatsuki.
“Senang bertemu denganmu,” ucap Sasori.
Naruto tak ingin berlama-lama berbicara dengannya, “Langsung saja, katakan apa maumu.”
“Seperti biasa, kau tidak bisa diajak berbasa basi ya,” ujar Sasori tersenyum tipis.
“Kau tahu itu, jadi cepat katakan apa maumu.” Lanjut Naruto sambil menatap Sasori tajam.
“Gadis tadi sepertinya menarik. Bagaimana kalau ku jadikan manekin perco—“ sebelum melanjutkan perkataanya, ucapan Sasori terputus manakala Naruto sudah mengangkat kerah pemuda itu.
“Jangan macam-macam, Sasori” ucap Naruto dengan tatapannya yang tajam.
Sebenarnya Sasori hanya menebak-nebak karena sedari tadi Naruto memandangnya dari jauh. Tadinya Sasori pikir, yang dilihat Naruto adalah dirinya tapi sepertinya perkiraannya tidak meleset bahwa Naruto mempunyai hubungan dengan gadis berambut indigo tadi. Entah hubungan macam apa, ia tidak peduli.
“Santai, Naruto. Aku kesini hanya ingin mengatakan pesan dari Ketua.”
“Apa?” kata-kata Sasori membuatnya melepaskan kerah pemuda itu.
Sasori merapikan bajunya sambil menyeringai tipis kemudian berkata, “Genjatan senjata.”
Naruto hanya tertawa remeh.
.
.
.
TBC
.
.
AN: Well, Maaf jika hasilnya kurang memuaskan.
Saya sedang belajar menulis, dan masih belajar tentang banyak hal. Saya kurang tahu mengenai plot, konflik dan semacamnya.
Saya pikir di cerita saya ini hanya ada konflik ringan saja.
Then, Terima kasih sudah membaca. Karena dengan membaca, itu artinya Anda sedikit tertarik.
Terima kasih juga untuk yang berkenan memberikan review.
Merci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium