Everything Has Changed
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Story by: Karizz-taka (Karizzta)
.
.
Don’t like, don’t read.
Jika sudah membaca dan tidak suka, anggap saja
Anda mendapat kupon undian,
yang isinya ‘coba lagi’
.
.
Enjot it^^
.
.
.
Satu hal yang aku tahu…
Aku tidak benar-benar tahu
tentangmu…
Di sebuah kamar bercorak lavender, seorang gadis
berambut panjang terlihat membaringkan tubuhnya miring. Hinata menggulingkan
tubuhnya di kasurnya yang nyaman dengan gusar. Berkali-kali ia mencoba
memejamkan matanya namun bola matanya yang terlihat indah jika dilihat dari
dekat itu enggan menuruti perintah dari pemilik tubuh. Akhirnya ia memandang
langit-langit kamarnya lama, hanya untuk menemukan dirinya yang berpikir jauh
entah kemana, tak jelas arahnya. Mata berwarna amethysnya menutup dan membuka
perlahan. Seolah dengan itu bisa membuang semua rasa bingung dan gundah yang
mengusik kinerja otaknya.
Satu hal yang pasti ia tahu ada satu nama yang
mengganggunya akhir-akhir ini.
“Naruto.” Hinata menggumamkan dengan pelan nama pemuda
pemilik rambut pirang.
Ya, pemuda itu, pikir Hinata. Hinata tahu dirinya
menyukai pemuda itu atau bahkan lebih dari sekedar menyukai. Ia menyukai
Naruto, karena sifatnya yang suka menolong, bersemangat, dan pantang menyerah.
Orang dewasa mungkin akan menyebut cinta pada anak remaja sepertinya sebagai
cinta monyet. Tapi bagi Hinata sendiri, ia tahu dengan jelas bagaimana
perasaannya. Tapi itu dulu, ketika Hinata tak akan ragu mengatakan pada hatinya
bahwa ia menyukai pemuda itu. Dulu, sebelum sebuah kejadian merenggut semua
semangat yang ia miliki. Tapi tidak sekarang. Sekarang, Hinata bahkan bingung
dengan perasaannya sendiri. Apakah ia masih menyukai pemuda itu atau tidak.
Bagaimana perasaannya yang sesungguhnya pada pemilik bola mata sebiru samudera
itu.
Entahlah, akhir-akhir ini ia juga merasa aneh dengan
dirinya. Dirinya yang sekarang, melakukan sesuatu tanpa berpikir, hanya
mengikuti kata hati, juga lebih sering melibatkan emosi. Ini dimulai ketika ia bangun dengan kenyataan
bahwa kakak sepupunya satu-satunya telah tiada. Seolah semua rasa semangatnya
menghilang entah kemana. Kesedihan meliputinya, dan ketika ia bercermin untuk
berangkat sekolah, ia menemukan raut wajah datar menghiasi mukanya.
Hinata sadar, sepertinya ia mengalami yang namanya
berduka disfungsional. Itu berlebihan memang. Apakah dirinya gila? Hinata
menolak mengakui itu. Ia cukup sehat, tak mengalami semacam halusinasi atau
disorientasi, jadi tak ada alasan baginya untuk mengunjungi sebuah rumah sakit
jiwa atau bahkan berpikiran untuk menginap di tempat itu. Ia hanya masih merasa
ada sesuatu yang hilang atau kurang. Tapi dirinya sudah menerima kenyataan yang
ada. Ia hanya butuh waktu. Hinata yakin, dengan berjalannya waktu, ia akan
baik-baik saja.
Lalu soal perasaanya pada Naruto, ia akan mencari tahu
jawabannya. Ia bahkan bingung pada dirinya sendiri yang tak suka melihat Naruto
berdekatan dengan Sakura. Seolah hatinya tak mau bekerja sama dengan logikanya.
Seharusnya tak begitu, kemarin ia baik-baik saja saat melihat mereka bersama.
Tapi kenapa sekarang berbeda? Hinata pikir, ia sudah tahu jawabannya mengenai
hal itu, tapi ia perlu memastikannya.
Hinata berguling lagi, ke arah sebaliknya, mencoba
mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Otaknya mengingat kilasan-kilasan
beberapa jam yang lalu.
Hinata ingat, ia berlari pergi begitu saja setelah
terpaku melihat Naruto bersama Sakura. Ia berlari cukup cepat, melangkah
kakinya yang mungil ke arah taman di sekitar kompleks rumahnya. Tidak biasanya,
kali ini taman itu sepi tanpa pengunjung.
Hinata berhenti dan mulai duduk ketika ia merasa
matanya tiba-tiba panas dan memburam. Dadanya sesak, entah karena berlari cukup
kencang atau karena sesuatu yang lain. Kemudian ketika dirinya menunduk, butiran-butiran
air dari matanya jatuh perlahan tanpa mengenai pipinya. Walaupun hanya beberapa tetes tanpa ada isak
tangis.
Lalu ada seorang pemuda menghampirinya dan bertanya, “Kenapa
menangis?”
Hinata mendongak, mencari tahu siapa yang bertanya
kepadanya, “Siapa?”
“Aku Toneri,”ucap pemuda itu pelan tapi terdengar
cukup jelas.
Hinata merasa tidak mengenalnya. Berapa kalipun
dipikir, ia sama sekali tidak mengenalnya. Hinata hanya mempunyai sedikit teman
laki-laki. Itu pun ia mengenalnya karena satu sekolah, sedangkan pemuda aneh
tapi ia akui cukup tampan itu jelas-jelas tidak satu sekolah dengannya. Mengapa
ia mengatakannya begitu? Hinata hanya
mengira-ngira saja, dilihat dari wajahnya sepertinya bukan anak sekolah lagi,
cukup dewasa.
Pemuda itu yang menamai dirinya Toneri, mendekat ke
arahnya. Hinata agak khawatir dengan posisinya saat ini. Ia duduk di ayunan
sedang pemuda itu mendekatkan dirinya ke wajahnya. Ketika cukup dekat, ia mengatakan
sesuatu yang membuat gadis bermata amethyst itu membulat.
Pemuda itu berkata, “Ikutlah denganku. Aku akan mengabulkan
semua permintaanmu.” Sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Hinata bingung, dirinya hanya berkata, “Eh?”
Hinata merasa heran dengan pemuda di depannya. Baru
bertemu saja sudah mengatakan hal-hal aneh, apalagi nanti. Hinata tidak mau
memikirkannya.
Sebelum Hinata sempat menjawab pertanyaannya,
tiba-tiba dari arah kiri dirinya mendengar Naruto berteriak memanggil namanya.
Dan yang lebih membuatnya tidak mempercayai penglihatannya adalah Naruto,
pemuda itu memasang wajah khawatirnya sambil berkata, “kau tidak apa-apa,
Hinata?”
Sekarang Hinata merasa bingung, sebenarnya siapa yang
tadi melukai siapa? Atau siapa yang melukai dirinya? Naruto atau Toneri? Hinata
hanya menggeleng, ambigu menjawab pertanyaan yang diajukan Naruto.
Sedang Toneri kemudian berkata, “Jadi namamu Hinata
ya, sampai jumpa lagi. Kalau kita bertemu lagi, kau boleh menjawab tawaranku.”
Kemudian pergi menjauh.
Hinata menggeleng tidak percaya dengan perkataan
Toneri. Sedang Naruto masih memasang wajah khawatirnya. Hinata merasa itu
adalah pertama kalinya Hinata melihat Naruto mengkhawatirkannya.
.
.
.
Diwaktu yang sama, di tempat berbeda. Naruto
membaringkan tubuhnya di kasur di apartmentnya yang sederhana. Sederhana, kalau
tidak mau dibilang kecil. Tidak masalah mengingat dirinya tinggal sendiri. Menautkan
kedua tangannya yang ia letakkan ke belakang kepala, sambil menatap
langit-langit kamar. Ingatannya berputar pada kejadian dulu.
Satu tahun yang lalu.
Saat itu dirinya masih kelas dua Senior High School.
Di musim gugur, ia berjalan pulang dari
sekolah. Dibandingkan teman-temannya yang lain, Naruto memilih pulang paling
akhir. Ketika ia berjalan kaki untuk pulang. Pada saat itulah ia melihat gadis
itu di halte dekat sekolah. Hyuuga Hinata tampak cantik dengan pipi memerah dan
sebelah tangannya yang memegang rambut panjangnya yang diterpa angin. Sebelah
tangannya memegang rok pendeknya yang berkibar. Naruto sebenarnya ingin
menghampiri, menanyakan kenapa ia belum pulang dan mengapa ia sendirian namun
urung ketika melihat Hinata berkali-kali melihat ke arah telepon selularnya,
seperti sedang menunggu seseorang atau pesan dari seseorang.
Naruto mengurungkan niatnya dan membiarkan gadis itu
sendiri. Hari sudah sore dan angin bertiup cukup kencang. Dirinya melihat ke
atas, awan gelap terlihat menggumpal memenuhi langit yang tadinya cerah,
mendung kata lainnya. Sepertinya akan turun hujan, pikirnya. Ia harus cepat
pulang. Ia melihat ke arah Hinata sekali lagi, ia berharap gadis itu baik-baik
saja. Walau bagaimanapun, Hinata teman sekelasnya, walau hampir tidak pernah
berbicara padanya, ia tidak boleh tidak memperdulikannya sama sekali bukan?
atau setidaknya itulah pemikirannya pada waktu itu.
Naruto berjalan melewati jalan yang biasa ia lalui
untuk pulang ke rumahnya. Melewati beberapa gang, entah kenapa jalan terlihat
sepi saat ini. Dirinya berhenti berjalan ketika ada tiga orang yang
mengepungnya. Tiga orang itu tidak terlihat seperti anak sekolah, pikirnya.
Sebelum ia sempat berpikir lagi, dirinya sudah diseret ke gang buntu di sebelah
kiri jalan.
Naruto meringis ketika dirasakannya punggungnya
menabrak ke tembok gang didorong oleh orang-orang itu. Satu orang yang berambut
ikal mencengkram lehernya erat, membuatnya sulit bernafas. Dan dua orang
lainnya mengepungnya.
“Kuso, apa yang kalian mau?” Naruto berusaha bertanya,
meskipun orang di depannya sama sekali tidak mengendurkan cengkraman tangannya.
“Serahkan uangmu, bocah,” Ucap orang berambut ikal itu
kemudian mengerlingkan matanya pada dua orang lainnya yang juga berbadan besar
sama dengan orang itu. Satu orang meraih tasnya dan satunya lagi menggeledah
saku seragam yang menempel di tubuhnya.
“Apa ini? Tak ada apa-apa?”kata orang yang
menghamburkan isi tasnya sambil tertawa meremehkan.
Naruto mengernyit. Ia tidak takut tentu saja. Tapi
masalahnya, apa ia dapat keluar dari sini dengan selamat? Ia tidak berfikir
kalau orang-orang itu yang sepertinya preman akan membiarkannya pergi tanpa
mendapat satu pukulan atau apapun itu.
‘Sepertinya
mereka berfikir aku anak orang kaya.’
Yah, dengan rambut pirang dan mata biru. Siapa sih
yang mengira kalau dia penduduk lokal? Sayang seribu sayang, Naruto pikir
meskipun ayah atau ibunya keturunan dari orang luar negeri. Untuk apa
mempedulikannya, karena ia tidak akan bertemu kedua orang tuanya lagi. Karena
mereka sudah lama pergi bahkan sebelum Naruto mendapat kemampuan mengingat.
Naruto melihat orang yang mencengkram lehernya terlihat
lengah. Melihat kesempatan itu, ia segera mencengkram balik tangan yang tadi
berada di lehernya dan memelintirnya kemudian menendang pria itu hingga jatuh.
Dua orang lainnya yang sepertinya sadar akan apa yang terjadi, langsung memukul
dan menendangnya membabi buta. Naruto menangkis sebisa mungkin, ia sulit
menghindar karena di sekelilingnya hanya ada tembok, ia terjebak. Dua orang itu akhirnya mengcengkram kedua
tangannya dari sisi yang berlainan.
Orang yang tadi terjatuh, membunyikan jari-jari tangannya
dan membentuk kepalan tangan, lalu memukul perutnya bertubi-tubi. Rasanya sakit
sekali, ia baru sadar kalau di jari tangan orang yang memukulnya itu terdapat
cincin-cincin berbentuk aneh berbahan besi. Sial. Ia muntah darah.
Pada saat orang itu akan memukul wajahnya, ada
seseorang yang berteriak dan ia tidak dapat menahan keterkejutannya ketika
sadar kalau orang itu adalah Neji. Kenapa ia ada disini? Tiba-tiba ia ingat
gadis itu.
‘Hinata, mungkin Neji yang
ditunggu Hinata dari tadi.’
Tapi Neji sendirian dan itu artinya ia belum menjemput
Hinata. Naruto menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Neji tak terlibat
dengannya. Tapi Neji tetaplah Neji, hampir sama seperti diinya, ia adalah
seseorang yang tidak akan membiarkan temannya berada dalam kesusahan selama ia
dapat membantu. Meskipun Neji berwajah datar dan terlihat cuek, tapi Naruto
tahu pemuda itu jenius dan baik.
Neji maju, dan terlihat memukul orang yang berambut
ikal hingga terjatuh. Lalu dua orang yang mencengkramku berlari maju sehingga
membuatku terlepas, semua berjalan cepat. Neji membuat mereka babak belur, dan
jatuh terkapar. Neji menghampiriku yang masih bersandar pada tembok dengan
tersenyum. Tapi tiba-tiba satu orang dari mereka bangun dan menusuk Neji. Mata
Naruto terbelalak lebar, dan tubuh Neji ambruk sebelum sempat ia tangkap.
Satu orang yang tadi menusuk Neji masih memegang pisau
yang bersimbah darah. Orang itu menusuk dengan cepat tanpa menancapkan benda
itu. Naruto yang akan mencoba menolong Neji lalu ditendang dan dihempaskan oleh
dua orang lainnya hingga jatuh tersungkur. Kemudian mereka menendangnya
berkali-kali.
Naruto yang tengkurap mencoba menengokkan kepalanya
melihat keadaan Neji yang berada di sebelahnya. Tak diperdulikannya rasa sakit
di tubuhnya. Naruto dapat merasakan tetesan air hujan mulai turun.
Neji berkata pelan, “Na-ru-to, jaga Hinata-sama.”
Kemudian ia mulai menutup mata.
Bola mata biru Naruto memanas, bersamaan itu terdengar
teriakan seorang gadis, “NII-SAN.”
Setelah itu, ia mendengar derap langkah kaki ke
arahnya, dan orang-orang yang memukuli mereka sudah kabur entah kemana.
“Nii-san… Nii-san, bangunlah. Aku mohon.” Ucap Hinata
dengan suara tangisnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Naruto melihat
gadis itu menangis. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi, matanya kabur dan
pandangannya menggelap.
Hari itu, hujan turun dengan lebat, seolah langit
mewakili tangis dan kesedihan yang meliputi mereka.
Esoknya, pemakaman Neji. Keluarga dan teman-teman yang
bersangkutan menghadiri untuk memberikan persembahan terakhir yang dapat mereka
berikan. Menggunakan pakaian hitam, mereka mengelilingi tumpukan tanah yang
telah mengubur tubuh orang yang mereka kasihi. Naruto berdiri di belakang
Hinata. Dirinya tak memperdulikan wajahnya yang babak belur. Ia sudah meminta
maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Hinata. Ia tahu, sebanyak apapun ia
minta maaf, ia tidak akan bisa mengembalikkannya tapi setidaknya dengan meminta
maaf, ia sedikit mengurangi rasa bersalahnya karena melibatkan Neji dan tidak
bisa menolongnya. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal hatinya. Naruto
memandang gadis itu dari belakang dengan sendu.
Naruto menghela nafas lelah, ingatannya waktu itu
membuat dadanya sesak. Ia merasa bersalah, walau tahu bukan sepenuhnya
kesalahannya. Ia mencoba memejamkan matanya.
.
.
.
Keesokan harinya, Hinata sudah berangkat sekolah
seperti biasa. Tidak ada yang istimewa, hanya saja ia sudah berfikir semalaman
tentang sesuatu dan hari ini ia ingin mencoba hal baru. Hal baru yang
sebenarnya tidak benar-benar baru. Hal yang sudah lama ia tinggalkan.
Sepulang sekolah, di sebuah ruangan klub, terdengar
suara-suara pukulan.
Bugh. Bugh. Bugh.
Suara tendangan juga pukulan terdengar dari sebuah
ruangan. Namun itu bukanlah sebuah perkelahian. Di sebuah ruangan yang sepi,
terlihat seorang gadis berambut panjang sedang berlatih seorang diri. Hanya
memukul dan menendang, latihan dasar. Ia berhenti bergerak ketika dirasa
tenaganya berkurang dan tubuhnya lelah, itu dapat terlihat ketika ia mendengar
suara nafasnya sendiri yang pendek-pendek, beradu dengan degup jantungnya yang
meningkat cepat.
Hinata tidak menyeka bulir-bulir keringat yang turun
melewati dagunya. Ia duduk dengan meluruskan kakinya sebentar. Ketika dirasa,
nafasnya sudah kembali normal, ia membaringkan tubuhnya di tempat itu. Ia
bahkan tidak memperdulikan suara pintu yang bergeser, pertanda ada seseorang
yang membukanya. Hinata menengokkan kepalanya ke arah orang itu ketika dirasa,
sepasang kaki bersepatu itu berhenti tepat di sebelahnya. Mengetahui bahwa yang
datang itu temannya yang berambut cepol dua, ia kembali memandang
langit-langit, dan memejamkan matanya.
Tenten yang melihat Hinata tidak menghiraukannya,
memanggilnya, “Hinata.”
“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Tenten menjelaskan,
kemudian duduk disebelahnya.
“Siapa yang menyuruhmu mencariku.” Hinata menjawab
dengan cuek sambil mencoba duduk bersilah kaki.
“Kau benar-benar sudah berubah ya.” Kata Tenten. Melihat
Hinata yang menatapnya tajam, Tenten mencoba menjelaskan, “Aku.. aku tidak
bermaksud…”
Hinata berfikir, apa tadi ekspresinya begitu
menyeramkan sampai membuat Tenten, temannya yang satu itu menjadi merasa
bersalah. Hinata menghela nafas sambil berkata, “Tidak apa, Tenten. Aku ingin
mendengarnya darimu.”
“Tentang apa?” sahut Tenten. “Sejauh mana, aku berubah.” Lanjut Hinata
sambil mengangkat bahunya.
Hinata sebenarnya cuma penasaran dengan hal ini, tak
dijawab pun tak masalah, tapi sepertinya Tenten menganggapnya serius dan
menanggapinya.
“Kau benar-benar ingin mendengar pendapatku?” jawab
Tenten sambil menghela nafas. Hinata
mengangguk.
“Kau tidak akan marah padaku kan?” Tanya Tenten
memastikan.
“Kenapa aku harus marah?” Tanya balik Hinata.
Tenten menarik nafas dalam, entahlah, ia hanya
bersiap-siap untuk kemungkinan yang terjadi. Terkadang kadar sensitifitas seseorang
kan bisa meningkat dengan cepat. Ia tidak tahu bagaimana reaksi Hinata nanti
bukan?
“Kau bisa melihat atau mendengarnya sendiri. Pilihan
kata yang kau ucapkan saja berubah. Biasanya, ketika kau bicara, kau akan
terlihat gugup, dan mulai berbicara dengan pelan.” Tenten tidak berani menatap
Hinata langsung, gadis itu hanya melirik dari ujung matanya.
“Lalu apa lagi?” Tanya Hinata penasaran, seberapa
besar perubahan tingkah lakunya. Terkadang, yang dapat menilai tingkah laku
kita adalah orang lain, seseorang di sekitar kita, misalnya.
“Kau tidak akan, tidak memperdulikan Naruto. Kau
selalu mencuri-curi pandang kepadanya dengan pipi memerah dan melihatnya dari
jauh. Tapi sekarang, kau bahkan tidak memandangnya.”
“Aku seperti itu?” Tanya Hinata dengan mengerjapkan
matanya. “Terlihat seperti penguntit.”Lanjutnya dengan suara pelan dan tatapan
datar.
Tenten terkikik, melihat Hinata yang memberengutkan
wajahnya, ia menghentikan tawanya. “Kau baru menyadarinya?”
Hinata yang menengadah sebentar lalu bertanya, “Apa
dulu aku begitu jelas?”
Melihat Tenten
yang tidak paham, Hinata melanjutkan, “memperhatikannya?” katanya dengan pipi
memerah.
Sebenarnya Hinata malu menanyakan hal ini, tapi
berhubung Tenten teman terdekatnya, ia bisa pastikan Tenten akan tutup mulut.
“Semua orang tahu bahwa kau menyukainya.” Jawab Tenten
tanpa merasa bersalah.
“APA!?” Hinata melebarkan matanya, sekarang ia menjadi
ragu, ia tidak mungkin bisa menutup mulut semua orang kan?
Tenten menangkup kedua telinganya menggunakan tangan
mendengar teriakan Hinata. Melihat ekspresi Hinata yang pucat, Tenten lalu
berkata, “Aku bercanda.”
Hinata baru saja akan menarik nafas lega sebelum
Tenten melanjutkan perkataannya, “ Bukan semua orang, tapi hanya teman sekelas
dulu.”
Sama saja, fikir Hinata. Walaupun dalam rasio lebih
sedikit tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik. Hinata terdiam melihat
Tenten yang sepertinya masih ingin melanjutkan perkataannya.
“Bahkan ketika Neji masih hidup, ia akan—” ucapan
Tenten terputus tatkala ia sadar dirinya mengacaukannya lagi, mengangkat topik
yang salah.
“Maaf,” ujar Tenten merasa salah berbicara.
Melihat Hinata masih diam, Tenten mencoba mencairkan
suasana. “Hei, kau terlihat bagus dengan
seragam itu. Tenten yang melihat Hinata
menggunakan seragam seni bela diri itu. “Senang melihatmu kembali ojou-sama,”
ujar Tenten.
“Jangan menggodaku,” jawab Hinata tak terpengaruh tapi
kemudian ia tersenyum tipis.
“Memang benarkan? Seharusnya kau yang jadi ketua klub
Karate. Aku sudah cukup repot dengan beladiri dari cina itu.”
Sebenarnya ketua dari klub itu adalah Neji, tapi
setelah ia pergi harusnya Hinata yang menggantikannya, tapi kemudian diserahkan
padanya. Tenten menghela nafas, sebenarnya ia ingin menyerahkan jabatan ketua
itu pada adik kelas, tapi menurutnya belum ada yang pantas.
“Aku tidak bisa. Aku mau fokus sekolah,” ucap Hinata
mencoba menolak secara halus.
“Memangnya aku tidak,” ujar Tenten sambil mengerucutkan
mulutnya, membuat Hinata ingin tertawa, tapi lagi-lagi yang keluar hanyalah
senyum tipis.
Senyum tipis Hinata tergantikan dengan raut wajah
serius. “Tenten,” panggilnya.
“Hmm.” Tenten hanya bergumam.
Hinata mencoba memutar otaknya, memilih diksi yang
tepat, “Apa itu begitu penting? Maksudku, Apakah sebegitu pentingnya? Seperti
apa perubahan itu bagi orang-orang?”
“Apa itu penting untukmu. Hinata yang kukenal tidak
memperdulikan tanggapan orang lain. Kamu tetaplah kamu, mau berubah sifat
seperti apapun, yang aku tahu, hatimu akan tetap baik.”
Hinata merasa hatinya menghangat mendengar perkataan dari
Tenten. Rasanya ia ingin memeluknya saat ini. “Tenten.” Lirih Hinata terharu.
“Ngomong-ngomong, Hinata. Bagaimana caranya kau bisa
masuk kesini?” Tanya Tenten sambil memicingkan matanya curiga. Seingatnya
kuncinya hanya ada satu.
“Uhm… itu, aku bisa jelaskan Tenten.” Hinata menelan
ludah gugup.
“Kau mengambilnya dariku?”
“Kau tahu, aku hanya meminjamnya darimu. Kemarin kau
sibuk menyalin tugas matematika, jadi…” Hinata bangkit berdiri dan mulai
berlari.
“HINATAA, “ teriak Tenten mengejar Hinata. “Tunggu,
jangan kabur.”
Yang Hinata tahu, kalau ia harus kabur dari Tenten,
karena temannya itu pasti akan menceramahinya kalau tindakan yang ia lakukan
itu ceroboh, tidak baik dilakukan, dan sebagainya. Tapi bagi Hinata sendiri,
Tenten saja yang pelupa, kemarin ia sudah bilang, hanya saja ia tidak
diperdulikan, jadi jangan salahkan Hinata kalau ia mengambilnya sendiri dari
tas sekolah Tenten.
.
.
.
Keesokan harinya, Hinata berangkat sekolah seperti
biasa. Dan saperti biasa pula, gadis yang memilih duduk di dekat jendela itu,
kali ini tak lagi beminat mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh Sang
guru, ditandai dengan dirinya yang lebih memiih menopangkan dagunya di atas
meja di tempat duduknya. Baginya, sekolah tak lagi menyenangkan. Rasanya ia
bosan saja, setiap hari menjalani rutinitas yang sama. Tapi juga tak ingin
beranjak keluar dari garis kehidupan semacam itu. Membingungkan, memang.
Hinata mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
sepertinya bukan hanya ia yang bosan. Sama halnya dengan gadis berambut panjang
itu, sepertinya murid-murid lain juga tak lagi berminat dengan penjelasan yang
diberikan oleh Sang guru, Anko Sensei, Guru Bahasa Inggris di kelas ini.
Terbukti dari sikap murid-murid lain yang terlihat menguap dan bicara sendiri.
Jangan salahkan mereka, tapi memang situasi dan kondisi yang membuatnya begitu.
Pelajaran Bahasa Inggris tak lagi menjadi minat ketika
diajarkan di siang hari dengan suara merdu Sang guru. Ditambahkan sinar
matahari yang memantulkan efek berlebih sehingga meningkatkakan suhu
ruangan. Padahal pelajaran itu penting.
Ya Sudahlah.
Hari itu sekolah diakhiri dengan kata-kata dari Sang
guru tentang libur musim panas yang sebentar lagi akan datang.
“Selama libur musim panas, saya harap kalian
mengerjakan tugas yang diberikan dan tetap belajar dengan giat.” Jelasnya.
Belajar dengan giat? Apa mungkin itu dilakukan ketika
libur telah datang? Yah, pemikiran orang berbeda-beda.
.
.
.
Kali ini Hinata juga pulang sendiri. Gadis berambut
indigo itu lebih memilih pulang lebih cepat dari biasanya karena ia tidak tahan
dengan terik matahari yang menurutnya begitu menyengat. Ia berjalan kaki ke
tempat halte bus dekat sekolah yang biasa ia naiki. Kali ini tempat duduk halte
bus ramai dan penuh. Jadi ia memilih berdiri di ujung halte.
Telinganya berkedut, mendengar bisikan orang-orang di
samping yang berdiri sama sepertinya.
“Kau lihat mata gadis itu?”ucap gadis berambut
panjang.
“Uhm, matanya aneh.” Kali ini gadis berambut pendek
ikal yang menjawab.
“Apa dia buta?” Tanya gadis yang pertama berbicara.
“Tapi kurasa, tadi ia bisa berjalan dengan baik.”
Hinata tersentak, tatkala ada seseorang yang
memasangkan headset telepon genggamnya padanya. Membuat ia tak lagi
mendengarkan obrolan dari dua gadis di sampingnya yang ia kira sebagai adik
kelas yang baru melihatnya.
Hinata menengokkan kepala ke kanan untuk melihat orang
yang dengan sesuka hatinya memasangkan headset padanya. Hinata hanya
mengerjapkan matanya bingung ketika pemuda itu—orang itu yang ternyata
laki-laki— berambut merah tersenyum manis kepadanya. Dengan parasnya yang
Hinata akui tampan, tak ayal membuat orang-orang di sekitarnya
memperhatikannya. Begitu pula, dengan gadis-gadis tadi yang berada di
sampingnya, sepertinya sekarang lebih tertarik melihat pemuda itu.
Hinata baru menyadari kalau sedari tadi headset yang
dipasangkan kepadanya belum terlepas. Masih berada di telinga kanannya dan yang
satunya terhubung di telinga kiri pemuda itu. Hinata mengernyit, tapi ada yang
aneh, headset itu tidak berbunyi.
Lamunannya buyar ketika pemuda itu berkata, “Kau tidak
naik?” tanyanya sambil menunjuk bus yang baru datang dan ramai dinaiki
orang-orang.
Hinata menggeleng, lebih memilih bus selanjutnya yang
akan datang. Hinata melepas headsetnya. Dengan masih memegang headset tadi, ia
memandang bingung pada pemuda di sebelahnya. Hinata rasa tingkah lakunya tak
sopan, tapi apa boleh buat ia penasaran dengan pemuda itu, ah maksudnya dengan
headset yang tak berbunyi yang berada di tangannya.
Pemuda berambut merah tadi yang mengerti tatapan dari
Hinata, berkata, “ Tapi itu berfungsikan?”
“Kau bisa menipu orang-orang dengan itu,” ucapnya lagi
sambil menunjukkan telepon genggamnya yang sengaja ia matikan yang tersambung
pada headset.
Hinata mengangguk, ia mengerti maksud dari pemuda itu.
Bukannya bermaksud membohongi orang-orang. Namun, terkadang ada hal-hal yang
tak ingin kita dengar dan tak harus kita dengarkan, misalkan saja, gunjingan
orang-orang. Itu hanya akan mengotori hati kita yang harusnya bersih.
“Arigatou,” ucap Hinata lirih sambil melirik pemuda
yang tak ia kenal itu dengan ujung matanya.
Bus selanjutnya yang ditunggu Hinata, datang lebih
cepat. Hinata melangkahkan kakinya ke arah bus. Tapi baru selangkah ia berbalik
untuk bertanya, “Kau tidak naik?” Tanya Hinata pada pemuda yang sepertinya
seumuran dengannya.
Bukannya bermaksud apa-apa, Hinata hanya menawarkan.
Ia juga bingung pada dirinya, biasanya ia tidak peduli pada orang lain tapi
pemuda itu tadi menolongnya, walaupun secara tehnik tidak dapat dikatakan
menolongnya, tapi tindakan pemuda itu cukup membantunya dan membuatnya mengerti
untuk menghindari orang-orang yang seperti itu. Yah, mungkin dirinya yang dulu,
perlahan-lahan telah kembali.
“Tidak, aku masih ada urusan,” jawab pemuda itu.
Hinata hanya mengangguk, kemudian menaiki bus dan
mengambil tempat di sisi jendela. Tanpa tahu, kalau ada sepasang mata berwarna
shappire yang memperhatikannya dari jauh.
.
.
.
Naruto berjalan pelan menuju halte yang tadi ia
perhatikan dari jauh. Pemuda itu memicingkan matanya melihat Hinata seperti
nampak akrab berbicara dengan seorang pemuda.
Ketika sampai di tempat tujuan, Naruto mengangkat
sebelah alisnya, di depannya ada—
“Naruto,” panggil pemuda berambut merah itu, melihat
orang yang sedari tadi ditunggunya datang.
“Sasori.” Naruto berkata lirih tapi tegas dalam
bersamaan.
—Salah satu anggota Akatsuki.
“Senang bertemu denganmu,” ucap Sasori.
Naruto tak ingin berlama-lama berbicara dengannya, “Langsung
saja, katakan apa maumu.”
“Seperti biasa, kau tidak bisa diajak berbasa basi
ya,” ujar Sasori tersenyum tipis.
“Kau tahu itu, jadi cepat katakan apa maumu.” Lanjut
Naruto sambil menatap Sasori tajam.
“Gadis tadi sepertinya menarik. Bagaimana kalau ku
jadikan manekin perco—“ sebelum melanjutkan perkataanya, ucapan Sasori terputus
manakala Naruto sudah mengangkat kerah pemuda itu.
“Jangan macam-macam, Sasori” ucap Naruto dengan
tatapannya yang tajam.
Sebenarnya Sasori hanya menebak-nebak karena sedari
tadi Naruto memandangnya dari jauh. Tadinya Sasori pikir, yang dilihat Naruto
adalah dirinya tapi sepertinya perkiraannya tidak meleset bahwa Naruto
mempunyai hubungan dengan gadis berambut indigo tadi. Entah hubungan macam apa,
ia tidak peduli.
“Santai, Naruto. Aku kesini hanya ingin mengatakan
pesan dari Ketua.”
“Apa?” kata-kata Sasori membuatnya melepaskan kerah
pemuda itu.
Sasori merapikan bajunya sambil menyeringai tipis kemudian
berkata, “Genjatan senjata.”
Naruto hanya tertawa remeh.
.
.
.
TBC
.
.
AN: Well, Maaf jika hasilnya kurang memuaskan.
Saya
sedang belajar menulis, dan masih belajar tentang banyak hal. Saya kurang tahu
mengenai plot, konflik dan semacamnya.
Saya
pikir di cerita saya ini hanya ada konflik ringan saja.
Then,
Terima kasih sudah membaca. Karena dengan membaca, itu artinya Anda sedikit
tertarik.
Terima
kasih juga untuk yang berkenan memberikan review.
Merci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar