By Your Side Chapter 1
.
Hari masih pagi ketika Hinata membuka loker untuk mengganti sepatu
sekolahnya dengan sepatu yang biasa dipakai di kelas. Memasuki kelasnya, Hinata
menyapa Tenten, teman yang bangkunya terletak di samping kanannya yang tidak biasanya sudah
ada di kelas. Bangku Tenten terletak persis di dekat pintu masuk kelas. Hinata
mengernyitkan dahi ketika melihat Tenten tersenyum manis sambil memelas, kedua
telapak tangannya di tengadahkan seperti meminta sesuatu. Hinata yang belum duduk di bangkunya, menaruh tasnya
dan membukanya untuk mengambil sebuah bukunya dan diberikan kepada Tenten.
Tenten tersenyum senang.
Hinata duduk dibangkunya sambil menopang dagu dengan sebelah
tangannya. Sepertinya ia sudah tahu niat ‘baik’ di balik alasan Tenten yang
berangkat pagi. Tapi setidaknya biarkanlah Hinata duduk terlebih dahulu sebelum
memintanya seperti itu. Telinga Hinata menangkap sesuatu, samar-samar suara
berisik mulai terdengar. Hinata mengedarkan pandangannya ke belakang dan baru menyadari
kalau ternyata kelas telah terisi sebagian. Hinata mengernyitkan dahi lagi,
Hinata berpikir mengenai mengapa dirinya baru menyadari kelasnya sudah ramai
atau karena Hinata terlalu sering menunduk ketika berjalan atau karena bangku
miliknya berada di baris pertama dari deret kedua dekat pintu masuk kelas yang
ada di sebelah kanan.
“Kalau kau mengernyit seperti itu terus, kau akan cepat tua
Hinata.” Tenten berucap tanpa melihat ke arah Hiinata.
“Bagaimana kau tahu Tenten?” Hinata tidak mengerti darimana Tenten
mengetahui ekspresinya, padahal pandangan Tenten sedang tertuju pada pada dua
buah buku, buku miliknya dan milik Tenten sendiri.
“Apa yang tidak aku ketahui. Target incaranmu saja aku tahu siapa.”
Tenten mengendikkan bahunya sebentar, berkata sambil menyalin tugas yang ia
tadi pinjam dari Hinata. Tangan kanannya sibuk mencatat di lembar buku
miliknya, namun matanya sesekali melirik ke arah Hinata.
“T-target incaran apa maksudmu?”
Pipi Hinata memerah, Namun tak urung Hinata menjawab meskipun dengan sedikit
gagap, kebiasaannya yang sulit dihilangkan ketika ditanyai hal-hal tertentu
yang membuatnya gelisah ataupuun malu.
“Tentunya, seseorang yang separuh derajat berbeda denganmu.” Ini
hanya perasaan Tenten, atau memang benar Hinata seolah menantang dirinya untuk
mengatakannya.
Lagi-lagi Hinata mengernyit mendengar kosa kata yang digunakan oleh
Tenten, apa Tenten sudah bosan menggunakan kata seratus delapan puluh derajat
sehingga menggunakan kata separuh derajat? Tapi Hinata tak lagi memusingkannya.
Hinata tidak begitu menyukai hari paginya berubah menjadi suasana
yang tidak menyenangkan. Walaupun sebenarnya tak begitu buruk, ketika membahas
tentang dia, namun cukup membuatnya gelisah. Maka dirinya mengalihkan
pembicaraannya. Tenten pun sepertinya mengetahui hal itu, karena ia tak
berkata-kata lagi.
“Ngomong-ngomong, ini hari apa Tenten?” Hinata bertanya berusaha
mengalihkan pembicaraan.
“Apa maksudmu? Ini hari selasa Hinata, apa kau jadi pikun karena
keseringan belajar?”
Hinata merengut, “Maksudku, apa hari ini hari mengerjakan tugas
sekolah sedunia?”
Mau tak mau Tenten terkekeh. “Kau seperti tidak mengetahui kami
saja Hinata, libur musim panas kemarin, kami terlalu sibuk menyusun agenda ke
berbagai tempat.”
“Hingga melupakan tugas sekolah?”
“Tepat sekali. Untuk kasusku sendiri, aku sibuk bekerja sambilan
sampai lupa mengenai hal itu. Lagipula, aku punya seseorang yang bisa
diandalkan disini. “ Tenten berkata sambil menunjuk Hinata dengan pena di
tangan kanannya dan mengerlingkan matanya. Rasanya menyenangkan dapat menggoda
temannya pemalunya yang satu itu.
Hinata menggeleng melihat kelakuan temannya yang satu itu kemudian mengangguk,
mencoba memakluminya, mungkin teman-teman sekelasnya juga mempunyai alasannya
sendiri untuk diri mereka masing-masing. Pagi itu dimulai dengan Kurenai-sensei,
guru Bahasa Inggris yang masih terlihat muda di usianya yang sudah sebaya
tersebut.
[.]
Bel berbunyi tanda istirahat, semua siswa menghentikan kegiatan
belajarnya untuk sementara. Begitu pula Hinata, ia sudah mempersiapkan kotak
bekal makan untuk makan siangnya. Hinata melirik Tenten sekejap yang ternyata
sedang melakukan hal yang sama dengannya, mengambil bekal makan siangnya. Sebelum
sempat Hinata berkata-kata, Tenten sudah terlebih dahulu bertanya.
“Hinata, mau makan siang bersama?”
Hinata mengangguk lalu bertanya, “Mau makan dimana?”
“Ikut saja denganku.” Tenten tersenyum tipis dan Hinata mempunyai
perasaan tidak enak. Sebelum sempat menyatakan keikutsertaannya, Tenten sudah
menyeretnya melewati koridor sekolah.
Ketika Hinata dan Tenten berjalan di koridor sekolah, tanpa sengaja
bertemu dengan pemuda bermata biru dan gadis bermata emerald. Pemuda itu
tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi-giginya, menyapanya, “Yo, Hinata.”
Hinata hanya meliriknya sekilas, kemudian berlalu pergi. Tak ia
acuhkan sapaan dari pemuda tadi, membuat pemuda itu bingung. Pemuda itu hanya
tidak tahu saja kalau kalau jantung Hinata berdegup lebih cepat dari
seharusnya, dan itu merupakan hal yang tidak baik untuk Hinata, karenanya
membuat Hinata gugup dan tak bereaksi seperti seharusnya.
Samar-samar Hinata mendengar percakapan dua orang yang tadi
dilewatinya.
“Apa yang kau lakukan? Dia takut padamu, bodoh,” ujar gadis
berambut merah muda.
“Enak saja,” jawab pemuda berambut pirang itu.
Dalam langkah kakinya, Hinata berpikir, Tidak, itu tidak benar,
Hinata tidak takut pada pemuda itu, Hinata hanya terlalu terkejut dengan
sapaannya tanpa sempat membalasnya. Dan
lagi, senyum pemuda itu mematikan, membuat denyut jantung Hinata berdetak tak
beraturan. Hinata akui, Hinata memang terkadang melakukan tindakan bodoh saat
berada di depan pemuda itu.
Tenten membuka sebuah pintu dengan kasar tanpa belas kasihan.
Tetapi Hinata memaklumi tingkah laku Tenten berhubung gadis itu mengikuti klub
Karate yang sama dengan Neji, sepupunya. Mungkin Tenten tak bermaksud bertindak
seperti itu, tapi mungkin telah menjadi kebiasaan baginya berperilaku seperti
itu.
Hinata menatap ke depan, hamparan pemandangan atap rumah warga dan
langit biru yang berawan, menutupi sinar mentari begitu terasa dekat untuknya.
Tempat yang sekarang ada di depannya dan dimaksud oleh Tenten tadi adalah atap
sekolah.
“Jadi, bagaimana?” Tenten bertanya dengan penasaran setelah mereka
berdua duduk tanpa beralaskan apapun. Hinata dan tenten kemudian mulai membuka
satu persatu kotak bekal milik makan siang mereka.
“Apanya?” Hinata menjawab dengan ketidaktahuannya tapi kemudian
menyimpulkan suatu hal yang mungkin ingin ditanya oleh Tenten, mengenai
pemandangan atap sekolah. Hinata melanjutkan berkata, “Oh.. benar disini
menyenangkan. Kupikir, tempat ini akan menjadi tempat favoritku nanti.”
Tenten memutar bola matanya. “Bukan itu, Hinata,” ucap Tenten.
“Lalu?” Hinata menatap Tenten dengan wajah bingung.
“Bagaimana perkembangan ceritamu dengan dia?”
“Oh.”
Tenten tidak percaya Hinata hanya menjawabnya dengan satu kata.
Lama-lama Tenten merasa kalau Hinata mirip dengan seseorang bermarga Uchiha.
Apa jadinya kalau Hinata bersama dengan sesseorang dari marga Uchiha? Mungkin
mereka akan saling diam mendiamkan. Oh, itu hal yang tidak baik. Tapi kalau
dipikir-pikir, apa bedanya dengan yang sekarang? Kenapa Hinata mempunyai selera
yang aneh hingga membuat dirinya sendiri kesulitan? Tenten hanya bisa menghela
nafasnya untuk hal yang tak bisa diubahnya itu.
Setelah memakan makan siangnya sebagian, Hinata baru menjawab,” Aku
sudah berusaha, Tenten.”
“Aku tidak tahu kalau yang kau maksud dengan berusaha itu adalah
dengan diam dan hanya memperhatikannya dari jauh.”
Hinata menghela nafasnya, kemudian menurunkan kotak nasi yang tadi
diangkatnya sewaktu makan. “Aku tidak bisa melakukannya lagi seperti waktu,
Tenten. Aku merasa seperti stalker saat itu.”
Hinata mengingat dirinya saat sekolah menengah pertama. Ia selalu
memperhatikan seorang pemuda dari kejauhan, tidak berani bicara padanya, dan
hanya berani memberikan sesuatu melalui lokernya.
“Bukan seperti lagi, tapi benar-benar stalker sejati.”
Hinata merengut, “Tenten.”
Tenten tersenyum geli ketika Hinata cemberut dengan lucu, “ah,
maaf, Hinata.”
Melihat Tenten yang tersenyum, mau tak mau Hinata ikut tersenyum
juga. Apapun yang terjadi, Hinata harap dirinya dapat terus berteman dengan
Tenten.
[.]
Terdengar desing gesekan besi yang nyaring dan suara-suara bergema
mengumumkan sesuatu. Saat ini, Hinata sedang berada di stasiun untuk pulang ke
rumah. Hinata menggunakan alat transportasi yang satu ini karena menurutnya
alat transportasi ini yang paling cepat, meskipun seringkali Hinata harus
berdesak-desakan pada waktu-waktu tertentu seperti saat jam berangkat sekolah.
Hinata sedang berdiri menunggu kereta yang ditunggunya datang
ketika tiba-tiba Hinata melihat siluet seorang pemuda yang tak asing baginya
sedang berdiri di samping kirinya. Pemuda itu juga melirik ke arahnya kemudian
mengangkat tangannya, memberi salam padanya dengan menyebut namanya. Baru saja
Hinata ingin membalas salam pemuda itu, dering telephone genggamnya tiba-tiba
berbunyi, mengantarkan tanda sebuah pesan telah sampai.
Hinata membuka pesan tersebut dan membacanya dalam hati. Matanya
meredup ketika membaca deretan tulisan yang tertera disana.
‘Tou-san pulang malam hari ini. Tidak perlu menunggu Tou-san
seperti malam kemarin. Pastikan saja kau makan malam tepat waktu.’
Walaupun Hinata sudah mengetahui sifat ayahnya yang seperti ini.
Entah kenapa, Hinata merasa sedikit kesal dan sedih. Ayahnya akan pulang malam
lagi untuk kesekian kali dan melewatkan makan malam bersama di rumah. Diliputi
perasaan yang tidak menentu, seketika Hinata melihat pemuda berambut pirang
yang masih berdiri di sebelahnya. Entah pikiran macam apa yang merasuki Hinata
hingga kemudian Hinata bertanya pada Naruto.
“Naruto, boleh aku pergi bermain ke rumahmu?”
Pertanyaan Hinata datang bersamaan dengan desing kereta yang
berbunyi tepat di depannya, menandakan kereta yang ditunggunya telah datang.
“Eh?” Naruto terkejut, bola matanya sedikit membulat. Naruto
mengerjapkan matanya sekali, agak tidak mempercayai apa yang didengarnya dari
gadis di depannya. Naruto pikir, mungkin saja desing kereta menulikan
telinganya saat ini.
[.]
By Your Side Chapter 2
.
Hinata memandang sebuah pintu di hadapannya. Hari telah menjelang
sore terlihat dari mentari yang tanpa malu-malu turun ke peraduannya ketika
Hinata sampai di apartement milik Naruto. Dari sudut matanya, Hinata melihat
Naruto sedang mencari kunci apartement di saku celananya. Ketika Naruto telah
menemukan kunci itu, ia nampak ragu untuk membuka pintu.
Tiba-tiba Naruto bertanya. “Apa kamu yakin ingin benar-benar
masuk?”
Hinata berpikir sejenak dan
menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Hinata tahu kemungkinan besar ia
akan menyesali keputusannya ini, tetapi Hinata telah terlanjur sampai kemari.
Pantang mundur adalah prinsip yang Hinata yakini, tetapi sepertinya tidak
sesuai dengan situasi saat ini.
“Jangan pingsan setelah masuk ya,” ucap Naruto setelah membuka
pintu miliknya, sedang Hinata hanya menatapnya bingung.
Tiba-tiba Naruto dan Hinata terdiam. Hinata hanya dapat ternganga
setelah kakinya melangkah masuk. Naruto memang telah memperingatkannya saat di
kereta kalau dirinya belum membersihkan apartementnya sehingga kemungkinan
berantakan. Tapi Hinata tidak menyangka kalau kamar Naruto sangatlah
berantakan. Bungkus snack dan sisa makanan berserakan dimana-mana. Buku-buku dan baju kotor Naruto
sudah tak lagi berada di tempat seharusnya.
“Berantakan ya? Seperti kapal pecah?” tanya Naruto sambil melangkah
masuk lebih dalam.
“Benar. Seperti baru ada gempa bumi,” ucap Hinata dengan nada
bercanda, sambil melihat sekeliling.
Naruto merengut kemudian ikut tertawa juga. Kemudian Naruto mulai
memunguti satu persatu benda yang ada di hadapannya. Tetapi Hinata tahu Naruto
tidak sungguh-sungguh marah padanya.
“Ayo, aku bantu kamu membereskan semuanya,” ucap Hinata lagi,
sambil tersenyum.
Naruto terlihat terkejut dengan tawaran Hinata tetapi dia langsung
menerimanya dengan sukacita. Sejujurnya, apartement milik Naruto tidaklah luas,
hanya apartemen sederhana dengan dua ruangan. Satu ruangan yang lebih besar
untuk kamar tidur dan satunya untuk dapur.
Kamar tidur terhubung langsung dengan ruang TV atau ruang tamu di
apartemen.
Ketika Hinata sedang membereskan buku-buku yang berserakan yang
ternyata koleksi komik milik Naruto.
Hinata mau tak mau tersenyum ketika membaca salah satu judul yang tertera pada
komik tersebut. Hinata hanya tidak menyangka Naruto menyukai komik bergenre
seperti ini.
“Hinata, ada apa?” tanya Naruto curiga. Naruto ternyata
memperhatikan wajah Hinata dari sudut matanya.
Hinata menggeleng kemudian mengalihkan pandangan agar Naruto tidak
melihat wajahnya. Naruto kemudian melihat komik yang sedang dipegang Hinata dan
Naruto sepertinya mengetahui apa yang membuat Hinata tersenyum begitu.
“Ada yang salah dengan itu?” tanya Naruto dengan menunjuk komik
yang dipegang Hinata yang berjudul Doraemon meskipun dengan wajah agak tersipu.
“Tidak,” jawab Hinata cepat. “Hanya saja....”Hinata menghentikan
kata-katanya.
“Hanya saja?” Naruto yang penasaran mengulang kalimat yang
diutarakan Hinata.
Hanya saja Hinata tidak menyangka Naruto yang memiliki postur tubuh
dan usia yang tergolong dewasa masih menyukai hal-hal seperti itu. Dan bagi
Hinata, itu lucu dengan tingkah lakunya yang terlihat polos.
“Tidak ada. Lupakan,” jawab Hinata.
Naruto mengernyit, gadis yang berada di depannya membuatnya
penasaran. Tapi Naruto memilih menyerah karena Hinata sepertinya tidak ingin
melanjutkan pembicaraan ini.
Hinata menyadari satu hal dari Naruto. Naruto tidak malu mengatakan
segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri meskipun itu bagi orang lain
memalukan. Dengan kata lain, Naruto apa adanya. Dan sisi inilah yang Hinata
sukai dari seorang Naruto.
Tunggu, berbicara mengenai kata suka, Hinata baru menyadari kalau
ia sedang berada di kamar milik pemuda yang ia sukai, sendirian, dan hanya
berdua. Menyadari hal itu, wajah Hinata mulai memanas.
Mungkin ini adalah hal tergila yang pernah dilakukan Hinata selama
ini. Jika sampai Neji, Kakak sepupunya yang protektif itu mengetahuinya, Hinata
tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
[.]
Saat ini Hinata dan Naruto duduk berdua berhadapan dalam diam. Acara bersih-bersih telah selesai sedari
tadi. Mereka berdua duduk dilantai yang dilapisi karpet dengan meja kecil
sebagai batas mereka berdua. Hinata
memandang gelas yang isinya tinggal separuh setelah ia minum. Dari sudut
matanya, Hinata merasa Naruto ingin menanyakan sesuatu, maka ia menunggu dalam
diam.
“Ehm.” Naruto berdehem untuk mengurangi kecanggungan dan
mengalihkan perhatian Hinata dan sepertinya itu berhasil. Hinata kini
menatapnya.
“Em... Hinata, sebelumnya terima kasih karena sudah membantuku
tadi. Tapi, apa boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Naruto.
Hinata mengangguk. Kemudian menjawab, “Uhm. Boleh”
“Apa kau sedang ada masalah?”
“Ti-tidak ada,” jawab Hinata. Hinata merutuki dirinya yang sering
berbicara gagap ketika gugup dan gelisah. Tapi bagaimana Naruto dapat
menyimpulkan sesuatu seperti itu. Apa wajah Hinata mudah ditebak? Atau Naruto
dapat membaca pikirannya? Hinata menggeleng mengenai menghapus pemikiran yang
sempat terlintas itu.
“Kau tahu, kau bisa cerita kepadaku kalau ada masalah atau apapun
yang ingin kau bicarakan. Walau terlihat seperti ini, aku bisa dipercaya lho,”
umbar Naruto sambil tersenyum lebar.
Hinata tersenyum tipis kemudian menjawab dengan nada bercanda,
“Baiklah-baiklah.”
“Kenapa? Kau tidak percaya?” tanya Naruto, pura-pura cemberut.
Mau tak mau Hinata tersenyum geli. Dan pemandangan itu membuat Naruto
merasa lebih nyaman. Satu hal yang Naruto sadari, senyum Hinata itu manis.
“Naruto mengkhawatirkanku?” tanya Hinata tiba-tiba. Hinata juga
tidak tahu darimana pikiran ini berasal.
“Eh? ya-ya... kita kan teman. Teman harus saling membantu
kan?” Naruto menjawab dengan sebelah
tangannya mengusap tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
“iya,” balas Hinata dengan lirih. Benar, Bagi Naruto, dirinya
hanyala seorang teman. Bagian mana yang salah dari fakta itu sehingga membuat
Hinata merasa sedikit aneh pada dadanya.
“Sebenarnya, Aku hanya sedikit bosan belajar. Maaf merepotkan,
Naruto.”
“Tidak masalah,” jawab Naruto sambil tersenyum lebar. “Ternyata,
Hinata bisa bosan belajar juga? Aku pikir Hinata suka belajar,” lanjutnya.
“Aku suka, tapi aku juga
manusia, Naruto.”
Naruto terkekeh, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Hinata
hanya memperhatikan Naruto yang terlihat berjongkok sambil mencari- cari
sesuatu.
“Ketemu,” kata Naruto yang masih terdengar oleh Hinata.
“Mau main playstation?”
Hinata mengerjap, sepanjang hidupnya ia belum pernah mencoba
permainan yang satu itu. Hinata tidak pernah membelinya karena larangan orang
tuanya dan tidak pernah ada yang mengajaknya bermain. Hinata mengangguk
mengiyakan tawaran Naruto.
“Naruto, suka sepak bola?” tanya Hinata ketika ia duduk berdua
dengan Naruto di depan televisi.
“Ya, aku juga ikut klub sepak bola loh,” ujar Naruto.
“Aku tahu,” jawab Hinata.
“Eh?”
Awalnya, Hinata tidak benar-benar mempunyai pikiran untuk bermain
di apartemen Naruto. Tapi sepertinya keadaan berkata sebaliknya. Meskipun
sebelumnya, dari dulu mereka selalu satu sekolah tetapi Hinata jarang pergi
bermain dengan yang lainnya.
Sore itu, Hinata habiskan dengan bermain bersama Naruto.
[.]
Langit malam tanpa bintang mungkin adalah hal yang biasa bagi
siapapun. Termasuk bagi Hinata, gadis berambut panjang yang memiiki mata
sewarna amethyst kini sedang berjalan
berdua dengan pemuda berambut pirang bernama Naruto.
Hembusan angin malam rasanya tak mampu menembus pertahanan kulit
Hinata, apalagi jantungnya. Organ dalam yang berdenyut itu tak biasanya
berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun rasanya Hinata tahu penyebabnya.
Hinata menyentuh dadanya dengan sebelah tangannya, dadanya agak berdebar, tapi
bukan debar yang menakutkan.
Tiba-tiba Naruto bertanya, “Hinata, ada apa?”
Rupanya Naruto memperhatikan tingkah laku Hinata dari sudut bola
matanya. Hinata berjalan di belakangnya dengan lambat dan sebelah tangannya
menyentuh dadanya. Naruto menatapnya khawatir. Hinata menggeleng,
mengisyarakatkan pada Naruto kalau ia tidak apa-apa.
“Kalau begitu, berjalanlah di sampingku,” pinta Naruto.
“ Eh, apa boleh?”
“Tentu saja boleh. Ayo ,”
ucap Naruto.
Naruto tidak tahu, tetapi ia merasa pertanyaan Hinata mempunyai
maksud yang lain. Tapi Naruto tak memusingkannya. Sejujurnya, rumah Hinata
hanyalah berjarak beberapa blok dari apartemen Naruto dan masih dalam satu
kompleks. Namun Naruto merasa harus mengantar Hinata pulang.
Hinata melirik pemuda yang berjalan di sebelah kanannya dari sudut
matanya. Dapat ia lihat kalau pemuda itu sedang memasukkan kedua tangannya ke
dalam saku celananya sambil berjalan ke depan. Hinata tidak tahu apa yang
dipikirkan Naruto. Tapi jika bersama Hinata, dirinya merasa Naruto lebih tenang
dari biasanya. Karena tidak biasanya Naruto seperti ini, biasanya Naruto akan
bercerita panjang lebar dan berisik seperti saat bersama —
“Hinata, sudah sampai.” panggil Naruto. Panggilan Naruto
membuyarkan lamunan Hinata.
—
gadis
itu.
Hinata mengangguk kemudian berterimakasih dengan membungkukkan
badannya sebentar. Naruto hanya mengangguk dan kemudian menggaruk kepalanya
dengan sebelah tangannya tanda tidak terbiasa dengan hal itu.
Naruto belum juga beranjak pergi membuat Hinata berpikir bahwa
Naruto menunggunya masuk ke dalam rumah.
Baru selangkah Hinata membalikkan tubuhnya, Naruto memanggil. Hinata
menatap Naruto bingung. Naruto terlihat ingin mengatakan sesuatu sehingga
Hinata memutuskan menunggu.
“Awalnya, aku pikir Hinata adalah gadis aneh. Tapi setelah bersama
Hinata seharian ini, orang seperti Hinata, aku menyukainya juga.”
Naruto berbalik melambaikan tangan, sambil tersenyum. Meninggalkan
Hinata dengan perasaan tak karuan.
[.]
Hinata berlari di stasiun dengan cepat. Hinata melirik jam di
pergelangan tangannya . Jika bisa mengumpat saat ini, maka Hinata ingin
mengumpat. Namun sayang, itu bukanlah bagian dari kebiasaannya. Hinata mempercepat langkah kakinya saat
menuruni anak tangga, tak ia hiraukan bahaya apabila ia tersandung atau
terjatuh. Prioritasnya saat ini adalah berharap masih ada kereta yang menuju ke
arah sekolahnya sehingga ia tidak perlu menunggu kereta lagi.
Pagi ini, Hinata terlambat bangun karena jam bekernya berbunyi pada
waktu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sebenarnya, Hinata bingung, ia
merasa telah memasang alarm pada waktu yang tepat, namun anehnya ketika ia
bangun, jam menunjukkan angka yang berbeda. Dari situ, Hinata menarik sebuah
kesimpulan, bahwa ada seseorang yang menjahilinya, dan sepertinya Hinata tahu
siapa orangnya.
Hinata memperlambat larinya ketika ia melihat di depan masih
tersisa sebuah kereta. Namun Hinata terkejut ketika pintu kereta tiba-tiba
mulai menutup. Hinata berlari sekuat tenaga untuk menggapainya. Sedikit lagi,
pikir Hinata. Hinata hampir saja memutuskan menyerah ketika tiba-tiba sebuah
tangan terulur dari dalam kereta, menarik tubuhnya ke dalam kereta.
“Hampir saja,” ucap seseorang yang tadi menarik Hinata. Hinata
belum melihat wajahnya karena Hinata masih harus mengatur nafasnya yang tidak
beraturan. Tapi dari suaranya Hinata merasa tidak asing.
Ketika Hinata mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat orang itu. Nafas Hinata tercekat, Hinata
menatapnya dengan mata melebar ketika melihat laki-laki itu.
“Na-naruto?” Hinata berkata sambil tergagap.
Kereta yang melaju kencang dengan kereta yang terisi banyak orang
membuat orang-orang saling berdesak-desakan, membuat tubuh Naruto terdorong ke
arah Hinata. Gadis itu membutuhkan waktu beberapa detik sampai menyadari suatu
hal. Naruto yang menolong Hinata bukanlah masalah. Tapi posisi mereka yang
bermasalah.
Hinata tepojok. Tubuhnya terhimpit tubuh besar Naruto dan dinding
kereta di belakangnya. Naruto menghadapnya dengan kedua tangannya berada di jendela. Dengan posisi
seperti ini, Hinata harus betul-betul
melihat ke atas jika ingin melihat wajah Naruto karena mereka berdiri terlalu
dekat. Tapi dari jarak sedekat ini, Hinata dapat mencium aroma citrus dari
Naruto, dan itu adalah hal yang tidak baik untuk pernapasan Hinata.
“Ah, gomen Hinata. Bertahanlah sebentar,” ucap Naruto pelan sambil
tersenyum tipis.
Hinata mengangguk, sambil menunduk. Hinata berharap jantungnya bisa
bertahan dengan situasi seperti ini. Hinata tidak mau mempunyai kelainan
jantung seperti aritmia atapun takikardi. Namun yang membuat Hinata tidak
nyaman adalah hembusan nafas Naruto terhembus persis di depan telinga kiri
Hinata. Hinata kini tampak seperti menerima aliran listrik setiap beberapa
detik.
Zzzzzzzttt... zzzzzttttt... zzzzztttt...
[.]
Slots & casino - DrMCD
BalasHapusThe best casino games you can play 파주 출장마사지 with your favorite slot 대구광역 출장마사지 machines 강릉 출장샵 and Slots.lv – The only casino 충청북도 출장샵 game we list with 순천 출장마사지 the highest odds of success and