Rabu, 17 Oktober 2018

Hold Into Me


Hold Into Me
.
.
Blurb :
“Love is not adaptabel, but it is adeshif.”
“So won’t you hold into me?”
Rere terdiam.  Ia bimbang. Antara percaya tidak percaya. Tapi dapat dipastikan 95% tidak percaya. Kalimat itu keluar dari bibir Haidar! Sekali lagi, dia Haidar! Cowok jutek yang suka duduk di pojok kelas bahkan terkadang keberadaannya tak terasa. Lalu bagaimana dengan Arka, cowok keren, cinta pertamanya?
[.]

Prolog
Tok. Tok.Tok. Suara pintu terketuk membuat bising di dalam rumah. Aku bangun dari tempat tidurku. Mendudukkan diri dengan kaki yang menapak pada lantai. Mencoba mengumpulkan kesadaranku setelah tidur siang. Aku menguap pelan, rasa berat masih terasa pada bola mataku. Aku menyipitkan mataku untuk  melihat jam dinding. Jarum kecil itu tepat berada pada angka enam, sedang jarum panjangnya berada di angka dua belas.

Ketukan itu terasa semakin keras. Hampir-hampir membuat gema di dalam rumah. Aku menuruni tangga karena kamarku berada di lantai dua. Aku berjaan lamat-lamat, perbuatan yang kusengaja.  Tak peduli nantinya, seseorang yang mengetuk pintu dari luar itu akan merasa marah atau kesal terhadapnya. Ingin rasanya, nanti kuberikan penjelasan kepada orang itu mengenai adab bertamu.
Aku berjalan menuju pintu depan rumah. Aku mengernyitkan dahi, berfikir tentang siapa orang yang datang. Pagar rumah yang terbuat dari besi sepertinya telah kukunci, lalu bagaimana orang ini dapat masuk, pikirku dalam hati. Ketukan pintu berhenti dan aku membuka pintu dengan memutar kuncinya. Dengan terkejut, aku menghindarkan diri dari kepalan tangan yang hampir mengenaiku jikalau aku tidak waspada. Orang ini benar-benar tidak sabaran.

Aku memandangnya dari atas ke bawah. Dia laki-laki. Tingginya melebihi diriku. Dia mengenakan setelan jas dan bertopi hitam. Saat mataku bertemu dengan matanya, aku tersadar. Aku mengenalnya dengan jelas. Aku tersenyum dan dia membalas dengan delikan tajam. Aku meneguk ludah. Kupikir orang dihadapanku telah marah padaku sehingga aku menyiapkan wajah memelasku sebisa mungkin.

“Sorry, ” ucapku sambil menyengir lebar. Baru kuucapkan satu kata dan dia telah mendekapku dengan erat.
“Aku rindu kamu,” bisiknya pelan. Nafasnya yang hangat menyapu leherku. Dia menyandarkan kepalanya pada bahuku, memelukku erat menggunakan kedua lengannya. Seolah-olah tak ingin melepaskan. 

Aku membalasnya dengan melingkarkan kedua tanganku pada pinggangnya, menyelipkan tangan diantara jas yang dipakainya. Merasakan hangat  dan aroma familiar yang kuketahui beberapa tahun ini. Kemudian setelah beberapa detik, aku melepasnya dan dia merengut.
Aku tak sempat terkikik geli akan tingkahnya karena setelahnya dia telah melenggang pergi menaiki tangga menuju kamarku. Aku menggelengkan kepala pelan melihat perilakunya. Dia telah benar-benar menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri. Aku menutup pintu dan menguncinya kembali.

Setelah berada dikamarku, dia merebahkan dirinya di kasur dengan bantal sebagai landasan kepalanya. Topi dan jasnya telah dia sampirkan di meja belajarku.Kulangkahkan kakiku pelan dan  duduk pada satu-satunya kursi yang ada di dalam kamar. Kursi yang  sepasang dengan meja belajar. Meja belajar itu berada di sebelah kanan setelah kamarku.

“Kamu sebaiknya tidak tidur disini,” ucapku  padanya melihat dia yang baru saja menutup mata. Aku mendengar dia mendesah. Kemudian membuka matanya kembali untuk memandangku yang berada di sisi kanannya.
“Kamu itu suka sekali merusak mimpi indahku,” katanya pura-pura merajuk. Tapi aku mengetahui kalau dia tidak benar-benar marah padaku.
“well, I’m sorry sir, but this is not Hotel. This is my room.” Aku mengucapkannya dengan nada seperti resepsionis kepada pelanggan yang belum membayar.
“Nanti juga akan menjadi kamarku.” balasnya dengan nada bangga atau mungkin bahagia. Ada binar di matanya.

Aku menggeleng pelan, “tergantung,” ucapku. Baru saja aku ingin berdiri, dia menarik sebelah tanganku membuatku berada di depan wajahnya. Dia masih tidur terlentang, sedang tangan kanannya dia gunakan untuk menggenggam tangan kiriku, membuatku berada dekat dengan wajahnya. Oh, sial. Sepertinya aku telah membuatnya benar-benar kesal.



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium