Different
A fanfiction from Marigold2425/ Karizzta
Disclaimer: Naruto ÓMasashi Kishimoto
Warning : AU, typo, OOC, dll.
.
.
.
Aku dan
kamu berbeda
Karena
itulah kita saling membutuhkan, bukan?
Jika
hanya Hinata lebih beruntung saat ini. Hinata tidak akan mengutuk cicak yang
jatuh menimpa kepalanya pagi ini. Tetapi sekarang ini sudah masuk siang atau
malah menjelang sore hari. Bel tanda pulang sekolah bahkan sudah berbunyi
sepuluh menit yang lalu.
Dua kaleng minuman terjatuh menggelinding dengan bebas di
lantai koridor sekolah. Pemilik kaleng
itu juga terjatuh sama halnya dengan benda itu. Kacamatanya jatuh meluncur
dengan bebas mengikuti wajahnya yang mencium lantai sekolah. Memungut benda miliknya itu kemudian
memasangnya kembali pada hidung kecilnya. Menepuk roknya yang berdebu sebentar
lalu berdiri untuk melihat pelaku penyerangan. Hinata, Si Korban menengok ke
belakang untuk melihat seseorang yang menyengkalnya dengan kaki ketika ia
berjalan melewati sebuah kelas.
“Si Nenek Sihir,” gumam Hinata.
“Apa kau bilang?!” tanya Shion dengan suara lantang.
Shion,
Si Pelaku Penyerangan merasa tidak terima. Faktanya meski Hinata bergumam
dengan suara lirih namun masih mampu didengar oleh orang yang berada di
dekatnya. Shion bersidekap dada, ia melirik Hinata yang mengacuhkannya.
Hinata tak peduli dengan Shion yang sepertinya tidak terima
dengan sebutan yang diberikan olehnya. Hinata menemukan benda yang dicarinya,
dua buah kaleng minuman yang tadi dibelinya. Sekarang benda itu berada di dekat
tempat sampah. Hinata memungutnya kemudian berlalu pergi tanpa menghiraukan
Shion yang berteriak kepadanya. Hinata sengaja mempercepat jalannya, hampir
seperti berlari. Ia melirik dari sudut bola matanya, memastikan kalau Shion dan
dua orang bodyguardnya tidak mengejarnya. Hinata bernapas lega.
Hinata melihat tempat yang ditujunya ada di depan mata.
Sebuah ruangan atau lapangan basket indoor. Sayup-sayup terdengar suara dari
dalam ruangan itu. Hinata menarik napas dalam-dalam sebelum berencana masuk ke
dalam ruangan yang tertutup itu. Pintu terbuka tepat di depan hinata membuat
Hinata terkejut. Sebelum sempat melihat
seseorang yang membuka pintu itu, pelakunya telah mengucapkan kalimatnya tanpa
sempat Hinata cegah.
“Hinata... ,” panggilnya dengan suara keras.
Hinata mengangguk dengan cepat untuk merespon. Masih setengah
bingung dengan teriakan Kiba yang membuat telinganya sakit. Pasalnya, sesaat
setelah membuka pintu, bahkan sebelum Hinata sempat melihat Kiba dikarenakan
perbedaan tinggi mereka yang membuat Hinata hanya melihat dada Kiba, Kiba telah
menyapanya. Dengan jarak 30 centimeter itulah Kiba berhasil mengecoh proses
otaknya. Jangan ditanya, Kiba, Si Pelaku Peneriakan hanya tersenyum tanpa dosa
di depannya.
Dari balik tubuh Kiba, Hinata memandang ke dalam ruangan yang
terlihat ramai. Kiba yang terusik dengan tingkah Hinata yang menengokkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri mulai merasa jengah. Kemudian Kiba menggeser
tubuhnya sehingga ia tidak berada di pintu masuk.
“Kenapa?” tanya Kiba.
“Apa?” tanya balik Hinata.
Hinata kali ini dapat memandang langsung
ruangan basket indoor itu dengan leluasa. Namun langkah kakinya seolah
berhenti. Tubuhnya terpaku di tempat. Hinata kemudian teringat suatu hal.
“Kenapa tidak jadi masuk?” tanya Kiba lagi.
“Emm... tidak jadi.” Hinata menjawab
lalu menyerahkan dua buah benda. “Ini.”
“Apa?” tanya Kiba.
Hinata mengernyit, agak sebal dengan respon Kiba. Kiba itu
memang tidak tahu atau pura-pura tidak mengetahuinya. Kiba pasti mengetahui
kalau Hinata sering kesini hanya untuk memberi minuman kepada Kiba dan juga
seseorang.
“Ini untuk Kiba. Satu lagi...”
“Satunya?” tanya Kiba dengan alis
terangkat.
“Uhm... satunya aku titip. Tolong
berikan kepada orang itu.”
Hinata meneguk ludah,
gugup menghampirinya. Oh ayolah, Hinata! Kendalikan dirimu. Itu hanya
Kiba. Kiba itu temanmu sejak kecil. Lalu
mengapa dirinya sampai malu hanya karena
ditanya hal seperti itu? Hinata tidak mengerti.
“Emm... bagaimana ya.” Kiba
bersidekap kemudian satu jari telunjuk bertopang pada dahu seolah berpikir.
“Tidak mau, ya sudah,” ujar Hinata,
pura-pura marah lalu merebut kembali minumannya.
“Oke-oke, jangan cemberut begitu.” Kiba
panik melihat Hinata mulai berbalik pergi.
Hinata tidak sungguh-sungguh marah. Dia hanya bersikap
seperti itu agar Kiba tak lagi menggoda dirinya. Kiba itu sangat usil terhadap
dirinya. Hinata harus bersikap seperti ini di depan Kiba. Hinata berbalik
kemudian tersenyum puas.
Kiba yang melihat hal itu berkata,
“Oh, trap.”
Benar Hinata menjebak Kiba. Bukan hanya Kiba yang pandai
menggoda. Hinata juga bisa. Lalu ketika Kiba akan kabur dari depannya. Hinata
dengan cepat memasang puppy eyes terbaiknya membuat Kiba melirik dua buah
kaleng minuman isotonik yang masih berada di tangan Hinata. Sebelum Kiba
mengambilnya dari tangan Hinata, Kiba berbisik di telinga Hinata.
“Okay, dengan satu syarat.”
Kemudian Hinata mengangguk ragu.
Hinata tidak tahu bahwa dari detik ke menit dimana Kiba
membuka pintu, ada wajah-wajah penasaran ingin tahu percakapan apa yang
terlibat diantara keduanya. Terutama bagi seseorang yang bermata biru.
000
Hinata menunggu seseorang di balik gerbang sekolah. Tubuhnya
dia sandarkan pada dinding batu bata milik sekolahnya. Mengetuk-ngetuk ujung
sepatunya dengan tidak sabar. Lalu dalam hati, dirinyamenghitung angka satu
sampai seratus untuk mengusir rasa bosan. Hinata mengambil jam tangan yang
tidak dipakainya untuk melihat angka yang tertera disana. Lima menit lagi atau
kutinggal, pikir Hinata dalam hati. Hinata harus pulang ke rumah tepat waktu
atau ayahnya yang galak itu akan menduga yang tidak-tidak.
Hinata melirik dan orang yang
ditunggu Hinata telah datang. Orang yang Hinata tunggu adalah Kiba. Syarat yang
diberikan Kiba tadi kepada Hinata adalah pulang bersama. Sebagai ganti untuk
memberikan minuman itu kepada orang yang Hinata tuju. Hinata dan Kiba berjalan
kaki menuju halte bus di dekat sekolah. Tidak ada percakapan diantara keduanya
sampai bus yang ditunggu mereka telah datang.
“Kiba, berhenti mengikutiku.” Hinata
menghentikkan langkahnya.
Kiba yang sedang berjalan sambil
menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku
celananya tak menyadari tubuh di depannya yang berhenti sehingga dia menubruk
Hinata. Kiba mulai mengikuti Hinata setelah turun dari halte yang berada di
dekat komplek perumahan Hinata.
Hinata berbalik.
“Kiba, pulanglah,” ucap Hinata lirih.
“Mana bisa, kalau terjadi apa-apa
bagaimana. Aku tidak rela.”
“Apa maksudmu?” tanya Hinata.
“Akhir-akhir ini sering terjadi
penculikan dan pemerkosaan. Aku tidak mau temanku menjadi korbannya.”
Lagi,
apa maksudnya itu? Berarti kalau yang menjadi korban bukanlah temannya, ia
baik-baik saja begitu? Lagipula, bukankah Kiba sedang buru-buru saat ini? Tadi
ia bilang akan memeriksakan Akamaru bukan? Hinata menggeleng pelan tidak
mengerti.
“Kau bilang, Akamaru sedang sakit
tadi.”
“Benar, Akamaru memang sedang sakit.
Dia tidak mau makan tadi pagi. Aku sudah membujuknya dengan ayam panggang
kesukaanku tapi dia tetap tidak mau.”
“karena itulah aku tidak ikut
latihan. Tapi aku sudah izin kepada pelatih. ” Lanjut Kiba lagi.
Kiba
bercerita mengenai Akamaru, anjing kesayangannya itu. Anjing berbulu putih yang
sudah ada bersamanya sejak kecil. Keluarga Kiba secara turun temurun merawat
Anjing. Kiba juga mengatakan alasan engenai mengapa dirinya tidak mengikuti latihan
basket sepulang sekolah tadi.
Hinata mendesah. Lalu mengapa Kiba masih bersikeras
mengantarnya pulang ke rumah? Memang masih cukup jauh komplek perumahan Hinata.
Masih harus berjalan sekitar setengah kilometer lagi dan melewati beberapa blok
perumahan Elit. Baiklah, untuk kali ini saja Hinata akan menerima kebaikan hati
Kiba.
Kali ini Kiba berjalan sejajar dengan
Hinata.
Hinata melirik dari sudut matanya, kemudian memanggil, “Kiba.”
“Aku pandai bela diri.” Hinata menyatakan diri.
“Aku tahu. Tapi lebih pandai aku.” Kiba menjawab dengan
cepat. Pandangannya ke depan.
Hinata melirik dari kedut di sudut bibirnya,
kemudian memanggil lagi, “Kiba.”
“Hmm.”
“ Sudah kau berikan minumanku tadi?”
tanya Hinata pelan.
“Sudah.”
“Kiba,”
“Ya?” Kiba menjawab dengan geraman
tertahan. Kemudian melangkah cepat di depan Hinata.
“Kib—“
Satu delikan mata dari yang dipanggil
namanya menjawab segalanya.
Pemandangan ini sebenarnya lucu. Hinata menahan tawa gelinya
melihat temannya yang satu itu sepertinya mulai bosan ditanya-tanya.
Di
jalanan tepi sungai bersama kilau senja yang menemani. Juga semilir angin yang
menyelinap dalam sepi. Sebuah kata-kata tak lagi terasa begitu dibutuhkan.
Tbc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar