Kamis, 18 Oktober 2018

Different


Different
A fanfiction from Marigold2425/ Karizzta
Disclaimer: Naruto ÓMasashi Kishimoto
Warning : AU, typo, OOC, dll.
.
.
.

Aku dan kamu berbeda
Karena itulah kita saling membutuhkan, bukan?

Jika hanya Hinata lebih beruntung saat ini. Hinata tidak akan mengutuk cicak yang jatuh menimpa kepalanya pagi ini. Tetapi sekarang ini sudah masuk siang atau malah menjelang sore hari. Bel tanda pulang sekolah bahkan sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.

Dua kaleng minuman terjatuh menggelinding dengan bebas di lantai koridor sekolah.  Pemilik kaleng itu juga terjatuh sama halnya dengan benda itu. Kacamatanya jatuh meluncur dengan bebas mengikuti wajahnya yang mencium lantai sekolah.  Memungut benda miliknya itu kemudian memasangnya kembali pada hidung kecilnya. Menepuk roknya yang berdebu sebentar lalu berdiri untuk melihat pelaku penyerangan. Hinata, Si Korban menengok ke belakang untuk melihat seseorang yang menyengkalnya dengan kaki ketika ia berjalan melewati sebuah kelas.

“Si Nenek Sihir,” gumam Hinata.
“Apa kau bilang?!” tanya Shion dengan suara lantang.
Shion, Si Pelaku Penyerangan merasa tidak terima. Faktanya meski Hinata bergumam dengan suara lirih namun masih mampu didengar oleh orang yang berada di dekatnya. Shion bersidekap dada, ia melirik Hinata yang mengacuhkannya.

Hinata tak peduli dengan Shion yang sepertinya tidak terima dengan sebutan yang diberikan olehnya. Hinata menemukan benda yang dicarinya, dua buah kaleng minuman yang tadi dibelinya. Sekarang benda itu berada di dekat tempat sampah. Hinata memungutnya kemudian berlalu pergi tanpa menghiraukan Shion yang berteriak kepadanya. Hinata sengaja mempercepat jalannya, hampir seperti berlari. Ia melirik dari sudut bola matanya, memastikan kalau Shion dan dua orang bodyguardnya tidak mengejarnya. Hinata bernapas lega.

Hinata melihat tempat yang ditujunya ada di depan mata. Sebuah ruangan atau lapangan basket indoor. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam ruangan itu. Hinata menarik napas dalam-dalam sebelum berencana masuk ke dalam ruangan yang tertutup itu. Pintu terbuka tepat di depan hinata membuat Hinata terkejut.  Sebelum sempat melihat seseorang yang membuka pintu itu, pelakunya telah mengucapkan kalimatnya tanpa sempat Hinata cegah.

“Hinata... ,” panggilnya  dengan suara keras.
Hinata mengangguk dengan cepat untuk merespon. Masih setengah bingung dengan teriakan Kiba yang membuat telinganya sakit. Pasalnya, sesaat setelah membuka pintu, bahkan sebelum Hinata sempat melihat Kiba dikarenakan perbedaan tinggi mereka yang membuat Hinata hanya melihat dada Kiba, Kiba telah menyapanya. Dengan jarak 30 centimeter itulah Kiba berhasil mengecoh proses otaknya. Jangan ditanya, Kiba, Si Pelaku Peneriakan hanya tersenyum tanpa dosa di depannya.

Dari balik tubuh Kiba, Hinata memandang ke dalam ruangan yang terlihat ramai. Kiba yang terusik dengan tingkah Hinata yang menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mulai merasa jengah. Kemudian Kiba menggeser tubuhnya sehingga ia tidak berada di pintu masuk.
“Kenapa?” tanya Kiba.
“Apa?” tanya balik Hinata.
Hinata kali ini dapat memandang langsung ruangan basket indoor itu dengan leluasa. Namun langkah kakinya seolah berhenti. Tubuhnya terpaku di tempat. Hinata kemudian teringat suatu hal.
 “Kenapa tidak jadi masuk?” tanya Kiba lagi.
“Emm... tidak jadi.” Hinata menjawab lalu menyerahkan dua buah benda. “Ini.”
“Apa?” tanya Kiba.

Hinata mengernyit, agak sebal dengan respon Kiba. Kiba itu memang tidak tahu atau pura-pura tidak mengetahuinya. Kiba pasti mengetahui kalau Hinata sering kesini hanya untuk memberi minuman kepada Kiba dan juga seseorang.
“Ini untuk Kiba. Satu lagi...”
“Satunya?” tanya Kiba dengan alis terangkat.
“Uhm... satunya aku titip. Tolong berikan kepada orang itu.”
Hinata meneguk ludah,  gugup menghampirinya. Oh ayolah, Hinata! Kendalikan dirimu. Itu hanya Kiba. Kiba itu temanmu sejak kecil.  Lalu mengapa dirinya sampai malu  hanya karena ditanya hal seperti itu? Hinata tidak mengerti.
“Emm... bagaimana ya.” Kiba bersidekap kemudian satu jari telunjuk bertopang pada dahu seolah berpikir.
“Tidak mau, ya sudah,” ujar Hinata, pura-pura marah lalu merebut kembali minumannya.
“Oke-oke, jangan cemberut begitu.” Kiba panik melihat Hinata mulai berbalik pergi.

Hinata tidak sungguh-sungguh marah. Dia hanya bersikap seperti itu agar Kiba tak lagi menggoda dirinya. Kiba itu sangat usil terhadap dirinya. Hinata harus bersikap seperti ini di depan Kiba. Hinata berbalik kemudian tersenyum puas.

Kiba yang melihat hal itu berkata, “Oh, trap.”
 Benar Hinata menjebak Kiba. Bukan hanya Kiba yang pandai menggoda. Hinata juga bisa. Lalu ketika Kiba akan kabur dari depannya. Hinata dengan cepat memasang puppy eyes terbaiknya membuat Kiba melirik dua buah kaleng minuman isotonik yang masih berada di tangan Hinata. Sebelum Kiba mengambilnya dari tangan Hinata, Kiba berbisik di telinga Hinata.

“Okay, dengan satu syarat.”
Kemudian Hinata mengangguk ragu.
Hinata tidak tahu bahwa dari detik ke menit dimana Kiba membuka pintu, ada wajah-wajah penasaran ingin tahu percakapan apa yang terlibat diantara keduanya. Terutama bagi seseorang yang bermata biru.
000
Hinata menunggu seseorang di balik gerbang sekolah. Tubuhnya dia sandarkan pada dinding batu bata milik sekolahnya. Mengetuk-ngetuk ujung sepatunya dengan tidak sabar. Lalu dalam hati, dirinyamenghitung angka satu sampai seratus untuk mengusir rasa bosan. Hinata mengambil jam tangan yang tidak dipakainya untuk melihat angka yang tertera disana. Lima menit lagi atau kutinggal, pikir Hinata dalam hati. Hinata harus pulang ke rumah tepat waktu atau ayahnya yang galak itu akan menduga yang tidak-tidak.

Hinata melirik dan orang yang ditunggu Hinata telah datang. Orang yang Hinata tunggu adalah Kiba. Syarat yang diberikan Kiba tadi kepada Hinata adalah pulang bersama. Sebagai ganti untuk memberikan minuman itu kepada orang yang Hinata tuju. Hinata dan Kiba berjalan kaki menuju halte bus di dekat sekolah. Tidak ada percakapan diantara keduanya sampai bus yang ditunggu mereka telah datang.
“Kiba, berhenti mengikutiku.” Hinata menghentikkan langkahnya.
Kiba yang sedang berjalan sambil menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celananya tak menyadari tubuh di depannya yang berhenti sehingga dia menubruk Hinata. Kiba mulai mengikuti Hinata setelah turun dari halte yang berada di dekat komplek perumahan Hinata.
Hinata berbalik.
“Kiba, pulanglah,” ucap Hinata lirih.
“Mana bisa, kalau terjadi apa-apa bagaimana. Aku tidak rela.”
“Apa maksudmu?” tanya Hinata.
“Akhir-akhir ini sering terjadi penculikan dan pemerkosaan. Aku tidak mau temanku menjadi korbannya.”
Lagi, apa maksudnya itu? Berarti kalau yang menjadi korban bukanlah temannya, ia baik-baik saja begitu? Lagipula, bukankah Kiba sedang buru-buru saat ini? Tadi ia bilang akan memeriksakan Akamaru bukan? Hinata menggeleng pelan tidak mengerti.
“Kau bilang, Akamaru sedang sakit tadi.”
“Benar, Akamaru memang sedang sakit. Dia tidak mau makan tadi pagi. Aku sudah membujuknya dengan ayam panggang kesukaanku tapi dia tetap tidak mau.”
“karena itulah aku tidak ikut latihan. Tapi aku sudah izin kepada pelatih. ” Lanjut Kiba lagi.

Kiba bercerita mengenai Akamaru, anjing kesayangannya itu. Anjing berbulu putih yang sudah ada bersamanya sejak kecil. Keluarga Kiba secara turun temurun merawat Anjing. Kiba juga mengatakan alasan engenai mengapa dirinya tidak mengikuti latihan basket sepulang sekolah tadi.

Hinata mendesah. Lalu mengapa Kiba masih bersikeras mengantarnya pulang ke rumah? Memang masih cukup jauh komplek perumahan Hinata. Masih harus berjalan sekitar setengah kilometer lagi dan melewati beberapa blok perumahan Elit. Baiklah, untuk kali ini saja Hinata akan menerima kebaikan hati Kiba.

Kali ini Kiba berjalan sejajar dengan Hinata.
Hinata melirik dari sudut matanya, kemudian memanggil, “Kiba.”
“Aku pandai bela diri.” Hinata menyatakan diri.
“Aku tahu. Tapi lebih pandai aku.” Kiba menjawab dengan cepat. Pandangannya ke depan.
Hinata melirik dari kedut di sudut bibirnya, kemudian memanggil lagi, “Kiba.”
“Hmm.”
“ Sudah kau berikan minumanku tadi?” tanya Hinata pelan.
“Sudah.”
“Kiba,”
“Ya?” Kiba menjawab dengan geraman tertahan. Kemudian melangkah cepat di depan Hinata.
“Kib—“
Satu delikan mata dari yang dipanggil namanya menjawab segalanya.

Pemandangan ini sebenarnya lucu. Hinata menahan tawa gelinya melihat temannya yang satu itu sepertinya mulai bosan ditanya-tanya.  
Di jalanan tepi sungai bersama kilau senja yang menemani. Juga semilir angin yang menyelinap dalam sepi. Sebuah kata-kata tak lagi terasa begitu dibutuhkan.

Tbc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium