Seorang gadis berambut panjang berdiri di sebuah halte dekat sekolahnya.
Mata amethystnya berkali-kali melirik handphonenya. Entah sudah ke berapa kali
ia menghubungi kakak sepupunya, tapi tak ada balasan. Kakak
sepupunya yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri tadi mengirimkan pesan,
mengatakan akan menjemputnya. Tapi ini sudah setengah jam berlalu, kakak
sepupunya itu tak kunjung datang. Gelisah menghampirinya, ini sudah hampir
malam. Matahari mulai tenggelam, menyisakan warna merah bercampur jingga di
langit.
Tuk.Tuk.Tuk.
Mengetuk-ngetuk kaki kanannya yang diselubungi sepatu, mencoba mengalahkan
detak jantungnya sendiri. Dengan tidak sabar, ia juga menggigit ibu jarinya
ketika yang ditunggu tak kunjung datang. Sekarang ia cemas bukan main, pasalnya
kakaknya hampir tak pernah mengingkari janji. Jika kakaknya itu tidak bisa
datang maka ia akan mengatakan atau menghubunginya terlebih dahulu. Ia
mengedarkan pandangannya lurus ke depan, jalanan sepi, tak biasanya.
Beberapa menit
berlalu, gadis berambut panjang itu masih setia menanti. Angin bertiup,
menerbangkan beberapa helai rambut hitam kebiruannya. Ia melihat ke atas,
langit sekarang gelap diliputi awan, padahal tadinya masih cerah walau tak
dihiasi bintang. Rintik hujan turun perlahan, membasahi jalan. Ia teringat, bus yang lewat tadi adalah bus
terakhir yang melewati jalan di sekolahnya. Perasaannya mulai tak enak. Lagi,
ia melihat ke jalanan yang sepi. Ia memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki.
Berlari pelan sambil melihat sekeliling, barangkali ia dapat bertemu kakaknya
di jalan.
[.]
Hosh. Hosh. Hosh.
Seorang gadis
berlari kencang, tak memperdulikan seragam sekolahnya yang basah. Hujan turun
dengan deras. Mungkin orang-orang akan berpikir ia bodoh, dimana ia bisa naik
bus atau berteduh di depan toko. Tapi baginya itu sudah terlanjur. Jika basah,
basah saja sekalian. Lagipula ia tadi berniat sekalian mencari kakaknya.
Syukur-syukur ketemu.
Melewati jalan
yang biasa ia lalui untuk pulang ke rumahnya. Tiba-tiba langkah kakinya
berhenti. Telinganya mendengar suara aneh, seperti suara benda terjatuh dan
teriakan seseorang. Ia merasa familiar dengan teriakan itu. Memfokuskan
telinganya, ia mendengar suara-suara itu dari gang di depannya. Ada banyak gang
di perumahan ini. Tapi suara itu berasal dari gang sebelah kiri di depannya.
Tap. Tap. Tap.
Pelan, pelan,
pelan. Melangkahkan kakinya perlahan mungkin, ia mencoba menengokkan kepalanya.
Dan yang ia lihat adalah sekumpulan pemuda yang babak belur. Satu orang yang
mencoba berdiri dari tubuhnya yang telungkup, tiga orang yang masih memukuli
seseorang yang sudah terbaring tidak berdaya. Dan yang paling membuat matanya
terbelalak, orang yang terbaring bersimbah darah itu adalah—
“Niisan,”
Teriaknya.
—kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar