Bagi sebagian orang, masa sekolah adalah masa-masa yang
menyenangkan. Penuh persaingan, persahabatan dan juga cinta. Ngomong-ngomong
soal cinta, hal itu juga berlaku bagi
seorang Hyuuga Hinata. Gadis pendiam dan pemalu berambut panjang ini dan ia
sedang bingung dengan nasib kisah cintanya yang bahkan belum ia mulai.
Seorang gadis berambut panjang bermata amethyst berdiri di sebuah
jembatan panjang yang dibawahnya terdapat sungai. Hinata Hyuuga, nama gadis
itu, melihat ke arah bawah dengan sedikit ngeri, pasalnya sungai yang berada
dibawahnya terlihat deras, seolah mampu menenggelamkan apapun yang terjatuh ke
dalamnya atau mungkin faktor hujan yang turun semalam. Tapi tak apa, ia tidak
sedang mencoba bunuh diri sekarang.
Hari ini cerah, tapi tak secerah perasaanya sekarang. Hinata, gadis
itu, berdiri seorang diri sambil
menyandarkan tubuh bagian depannya di jembatan. Kedua tangannya melewati pagar
jembatan yang digunakan sebagai pembatas sambil menggumamkan sesuatu.
“Buang.”
“Tidak.”
“Buang.”
“Tidak. “
“Buang… Tidak.” Ujarnya pelan dengan menggenggam sebuah benda,
sebuah kotak.
Hinata memandang kotak persegi di depannya dengan resah. Kotak
berwarna biru tua dengan pita senada yang melingkar membungnyasnya rapi. Berkali-kali
dirinya mencoba bergelut dengan pikirannya. Sebagian besar logika Hinata
menyuruhnya untuk membuangnya, sebagian kecil hati nuraninya menolak.
Besok hari libur. Hinata baru pulang sekolah dan menyempatkan diri
kemari. Hinata berdiri di sebuah jembatan yang sepi, tepat di bawahnya sebuah
sungai yang bagusnya tidak lagi jernih, mengalir dengan arus pelan.
“Buang saja deh.”
Berharap dengan membuang sebuah kotak ini, Hinata bisa melupakan
semua harapannya yang hanya dapat ia pendam dari dulu. Memejamkan matanya,
Hinata merasakan angin bertiup, membuat seragam sekolah dan rambut panjangnya
berkibar pelan. Hinata menarik nafas dalam, nya coba untuk berfikir bahwa Hinata
tidak akan menyesali keputusan ini walaupun dari dalam hatinya Hinata tahu Hinata akan menyesali perbuatannya
setelah ini.
Nyabuka matHinata perlahan, dan memantapkan niat, nyacoba
mendekatkan diri lebih dekat dengan pagar jembatan berbahan besi yang diukir
sedemikian rupa. Nyalihat air sungai mengalir, cunyap dalam untuk membuat
seseorang sepertinya tak kelihatan, jika saja Hinata mencoba menenggelamkan
diri.
Tarik nafas dan menghembuskannya kasar, nya coba memandang lagi,
air yang mengalir di sungai. Tepat ketika Hinata akan membuangnya, seseorang
berteriak memanggilnya, membuatnya kaget dan tanpa sadar melepaskan sebelah
tangannya yang menggenggam kotak. Membuat benda itu hampir terlepas dan jatuh.
Jantungnya berdegup kencang, hampir saja pikirnya dalam hati. Untuk sekejap Hinata
berpikir bahwa Hinata tidak rela melepas semua ini. Namun nya tepis jauh-jauh
pikirannya. Hinata rela, sungguh. Hanya saja, Hinata tidak rela jika caranya
seperti ini, dikagetkan.
Suara itu memanggilnya lagi, kali ini cunyap keras, “HINATAAA.”
Teriak suara itu, yang nyatahu dari jenis suaranya adalah seorang pemuda.
Nya palingkan wajahnya ke arah sumber suara, dan yang nya dapat
adalah seorang pemuda berambut pirang jabrik, bermata biru yang terlihat habis
berlari, tepat berada di depannya.
Napasnya yang pendek-pendek terdengar begitu jelas sebab jaraknya
yang begitu dekat dengannya. Ketika dia berhasil mengatur napasnya dia
bertanya, “Apa yang kau lHinatakan?” tanyanya masih dengan suara yang keras,
yang dapat membuatnya menutup telinga jika saja Hinata tidak dalam kondisi
terkejut.
Hinata mengerjap-ngerjapkan matHinata. Ketika beberapa detik, Hinata
berpikir, seharusnya Hinata yang bertanya seperti itu, apa yang dilHinatakan
pemuda itu disini? Pikirnya dalam hati.
Dia yang tak nyanjung mendapat jawaban akhirnya bertanya lagi, “
Apa yang kau pikirkan, Hinata? Kau tidak harus melHinatakan ini.”
Masih dalam mode bingung, Hinata bertanya pada pemuda di depannya
ini, “MelHinatakan apa?”
“Bunuh diri.” Ucapnya ragu tapi terdengar jelas di telingHinata.
Krik. Krik. Krik. Untuk sekejap hening di antara kami. Setelah
beberapa detik, Hinata sadar kami salah paham, atau hanya pemuda di depannya
ini yang salah paham.
“Hinata tidak… maksudnya, siapa yang mau bunuh diri?” ujarnya agak
kesal, melupakan fakta bahwa sebenarnya Hinata pemalu.
“Kau tidak..?” Mata birunya memandangnya aneh, tapi ada rasa lega
di wajahnya. Setelah mengerti apa maksudnya, ia bertanya lagi, “Lalu kenapa kau
ada disini?”
Hinata menghela nafasnya lelah. Bukan sifatnya sebenarnya
menunjukkan hal itu di depan orang, hanya saja untuk sekejap Hinata merasa
kesal padanya. Memangnya orang yang berdiri di jembatan dan melihat sungai ke
bawah selalu identik dengan bunuh diri ya, pikirnya.
Hinata melihat pemuda di depannya ini dari atas ke bawah. Ia sama
dengannya, masih mengenakan seragam sekolah dengan tas yang ia sampirkan di
bahunya. Nya alihkan pandangannya darinya, memilh menatap lurus ke depan
sungai. Kedua tangannya masih menggengam kotak persegi. Tampaknya pemuda itu
juga tertarik dengan benda yang nya pegang namun enggan bertanya. Hinata
tersenyum tipis, mencoba sebuah ide yang tiba-tiba saja muncul.
Entah darimana Hinata mendapat keberanian. Memandangnya lagi dan
mencoba berwajah serius, Hinata bertanya, “Kau mengkhawatirkannya ya?”
“Eh, apa?” Entah ini hanya firasatnya, tapi tampaknya dia gugup.
Memalingkan wajah lagi ke posisinya tadi, memandang lurus ke depan
sungai, Hinata menunduk pelan, dan berkata dengan nada lirih, “Sebenarnya tadi,
sempat terlintas di pikirannya soal bunuh diri.”
Hinata tidak bohong soal hal ini, terkadang di waktu-waktu terberatnya
ketika Hinata putus asa, Hinata berfikiran untuk bunuh diri, tapi Hinata sadar,
hal itu tidak akan membuatnya terlepas dari semua beban dan hanya akan membuat
sedih orang-orang terdekatnya.
“Kalau tadi nya lHinatakan,
paling-paling besok kau akan di wawancarai beberapa polisi dan wartawan.”
Lanjutnya lagi. Dia bergidik ngeri, sepertinya membayangkan hal yang aneh-aneh.
Mellihat ekspresinya yang aneh, Hinata tertawa pelan. Seolah sadar,
Hinata mengerjainya, dia berkata, “Kau ini benar-benar.” Ucapnya dibuat-buat
seolah marah kepadHinata. Dia menampilkan ekspresi cemberut, dan baginya itu
lucu.
“Berhenti tertawa, apanya yang lucu?” ujarnya, dengan nada kesal,
yang Hinata tahu itu cuma pura-pura.
“Tidak ada.” Hinata menggeleng tapi tetap terkikik pelan. Nya lihat
dia juga inyat tersenyum.
“Ayo kesana.” Jarinya menunjuk pada sebuah bangnya di pinggir
sungai. Yah sebenarnya jembatan dan nyarsi-nyarsi yang tersedia ini masih dalam
kawasan taman kota, walaupun letaknya di pinggir kota. Sehingga tampak sepi. Beberapa
pohon besar nan rindang tampak menghiasi ujung jalan jembatan.
Entah sadar atau tidak tapi ia menggenggam tangan kanannya, dan
menuntunnya berjalan pelan. Untuk pertama kalinya, ada seorang pemuda selain
dari keluargHinata yang memegang tangannya. Hatinya bergetar, rasanya aneh tapi
menyenangkan, genggamannya hangat dan Hinata tidak ingin melepasnya.
Tapi memang beginilah hidup, semua harapan tak selalu terkabul. Dia
melepasnya saat kami sudah duduk. Kami duduk di bangnya panjang menghadap
sungai. Hinata berada di sebelah kanannya. Untuk pertama kalinya juga, Hinata
tidak merasa gugup saat berbicara dengan seorang pemuda dalam jarak sedekat ini.
Entahlah suasananya mendunyang dan membuatnya nyaman.
Untuk beberapa saat, Hinata dan Naruto, nama pemuda itu, hanya
duduk diam, saling melirik menggunakan ujung mata. Hinata sendiri bingung mau
memulai pembicaraan seperti apa. Mengingat walau satu sekolah, Hinata hampir
tidak pernah terlihat bercakap-cakap dengannya. Setelah cunyap lama, akhirnya pemuda itu memecah keheningan dengan bertanya,
“Mau cerita apa masalahmu?”
“Masalah apa?” Jawabnya pelan, seolah merasa tidak ada yang harus
diceritakan. Sebenarnya Hinata hanya enggan menceritakan masalahnya kepada
orang lain. Apalagi soal yang satu ini.
“Jika itu tentang ujian sekolah. Tidak perlu dipikirkan. Satu atau
dua mata pelajaran nilaimu turun itu tidak akan masalah, berbeda dengannya.”
Ujar Naruto dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya.
Benar, untuk sesaat Hinata melupakan fakta bahwa dia satu kelas
dengannya. Kami kelas tiga Senior High School dan sebentar lagi akan
lulus. Dalam hati Hinata berkata, Hinata
tidak mempermasalahkan ujian sekolah, dan tunggu, dilihat dari mimik wajahnya,
kenapa sekarang dia yang merasa frustasi?
Melihat wajahnya yang seperti itu membuatnya ingin tertawa, tapi Hinata
menahannya.
“Apa?” Naruto yang melihatnya sepertinya tahu apa yang Hinata
sembunyikan.
Entah kenapa melihatnya lagi, tawHinata lolos begitu saja. Hinata
melihat dia masih kesal, jadi Hinata menghentikan tawHinata. Hinata menghela
nafas pelan. Berfikir, menimbang-nimbang mungkin tidak ada salahnya menceritakannya
pada Naruto. Kelihatannya dia dapat dipercaya. Memandang lurus ke depan tanpa
melihat ke arah Naruto, Hinata berkata dengan lirih, “ Ya. Ada.”
“Apa?” sepertinya Naruto tidak mendengar karena suarHinata
terlampau pelan.
“Masalah itu… Hinata juga memilikinya. Tapi kenapa Hinata harus
menceritakannya padamu?” Hinata hanya ingin tahu kenapa ia peduli padHinata,
berikan Hinata sebuah alasan untuk mempercayainya.
“Entahlah, Hinata… hanya ingin meringankan bebanmu.” Pandangannya
intens menatapnya, dan biru di matanya itu membuatnya sulit bernafas hingga Hinata
memalingkan wajahnya.
“Supaya kau tidak mencoba bunuh diri lagi, mungkin.” Setelah
mengakhiri kalimatnya, Naruto tersenyum lebar.
Hinata mendengar nada jahil di suaranya, jadi Hinata membalas,
“Mungkin lain kali, Hinata akan mengajakmu terjun juga.” Hinata tersenyum dan
Naruto berhenti tersenyum dan cemberut lagi, mengerucutkan bibirnya lucu.
Setelah beberapa lama, Hinata mencoba memulai percakapan. Darimana
ya harus memulainya.
“Naruto.” Panggilnya. Naruto yang mendengar nada serius dari suarHinata
memalingkan wajahnya padHinata. “Apakah kau pernah jatuh cinta?” Lanjutnya
lagi.
“Eh?” Mata birunya agak melebar, tapi kemudian mampu beradaptasi
lagi.
Hinata tidak tahu mengapa ekpresinya terlihat terkejut begitu.
Apakah dia tidak menyangka Hinata akan membahas topik ini? Secara Hinata begitu
pendiam dan tertutup. Bahkan Hinata jarang berbicara pada teman lelaki di
kelas.
Setahunya bukankah Naruto
menyukai sahabatnya, gadis berambut merah jambu senada dengan warna SHinatara,
seperti namanya. Mengingat hal itu, membuat hatinya menjadi aneh, tapi Hinata
tidak mau memikirkannya. Tapi Naruto hanya diam, seolah berfikir, jadi Hinata
melanjutkan ucapannya lagi.
Menghela nafas lagi. Entah ke berapakali pada hari ini Hinata melHinatakannya.
Ada mitos yang mengatakan kalau menghela nafas dapat memperpendek umur. Nya
pikir bukan menghela nafasnya yang membuat masalah tapi stressnya itu. Kalau
kita punya koping yang bagus untuk masalah-masalah di sekitar kita. Tentunya
kita akan jarang menghela nafas bukan? Sudahlah, lupakan soal itu.
“A-Hinata… ada seseorang
yang Hinata sukai. Sudah begitu lama, Hinata selalu memperhatikannya dalam
diam. Berharap suatu hari ia sadar, Hinata menyukainya. Hinata bodoh ya.” Gagapnya
kambuh lagi.
Dengan gugup, Hinata memainkan jari-jarinya di atas pangnyaannya.
Tasnya Hinata taruh di pangnyaannya, menutupi seragam sekolah bawahnya yang
pendek di atas lutut. Tidak mudah menceritakan masalah pada orang lain. Apalagi
ini tentang perasaan. Tapi Hinata tahu orang seperti apa Naruto. Lebih dari tahu
sebenarnya.
“Karena itu… Hinata ingin membuang perasaan ini jauh-jauh jika
bisa.” Lanjutnya lagi. Seolah Hinata sudah lelah dengan semua ini. Andai Naruto
tahu siapa yang sedang nyabicarakan, Hinata ingin tahu bagaimana reaksinya.
“Kau tahu bagaimana caranya?” Hinata tahu ini aneh atau bisa
disebut bodoh, menanyakan hal ini pada Naruto. Tapi mau bagaimana lagi, ketika Hinata
mengatakan hal ini padanya. Hal ini membuatnya perlahan-lahan melepas sedikit
demi sedikit penat yang nyarasa.
“Kau ingin menyerah?” tanyanya. Kata-kata yang Hinata tak tahu akan
keluar dari seorang Naruto. Hinata memandangnya dan mata biru itu balik menatapnya
dalam seolah mencari jawaban.
Hinata memalingkan wajahnya kemudian menunduk. Jujur saja Hinata
tak tahu. Rasa ini masih begitu kentara, masih begitu terasa. Haruskah Hinata
menghapusnya? Membuangnya atau menghilangkannya? Jantungnya bahkan masih
berdegup begitu kencang saat didekatnya. Dan hanya dia, orang yang nyasuka yang
dapat melHinatakannya.
Hinata menggeleng pelan. “Hinata tidak tahu.” Ujarnya pada
akhirnya. Naruto memasang mode berfikir yang menurutnya ekspresinya untuk
kesekian kali itu lucu.
“Menurutnya, Berikan dia satu kesempatan lagi, dan cobalah lebih
dekat dengannya. Mungkin, dia hanya belum sadar ada seorang gadis baik hati
yang jatuh hati padanya.” Kata Naruto dengan tersenyum.
MatHinata melebar mendengarnya, lalu meredup kembali. Senyum Naruto
begitu hangat dan menenangkan. Hinata ingin mempercayai kata-katanya dan melHinatakannya.
Hinata tahu kalau Hinata yang nantinya akan rugi jika melHinatakan ini. Tapi Hinata
juga belum bisa membuang perasaan ini jauh-jauh. Biarlah… biarlah apa yang akan
terjadi nanti.
“Orang bilang, gadis baik akan bersanding dengan pemuda baik
begitupun sebaliknya. Hinata percaya akan hal itu. Dan menurutnya Hinata adalah
gadis yang baik.” Lanjut Naruto.
MatHinata memanas mendengarnya. Hinata hanya bisa mengucapkan,
“Arigatou, Naruto-nyan.”
Terimakasih untuk waktu yang kau berikan karena waktu adalah hal
yang tidak akan bisa kau kembalikan dan akan menjadi kenangan. Terima kasih
karena memberinya sedikit kenangan yang menyenangkan. Karena mungkin lain kali Hinata
belum tentu mendapatkannya lagi.
Naruto tersenyum lebar, ia meggaruk kepalanya yang tidak gatal dan
berkata, “Sama-sama. Hinata hanya mengatakan hal yang Hinata tahu.” Hinata
tersenyum mendengarnya.
Sebenarnya itu adalah kalimat biasa, tapi entah kenapa ketika
Naruto yang mengatakannya, begitu menenangkan. Rasanya berbeda saja, mungkin karena
Naruto tidak pernah berbohong tentang hatinya. Orang-orang mungkin berkata dia
polos, naif ataupun bodoh, namun ia hanya mengatakan apa yang ia rasakan.
Berbanding terbalik dengan orang-orang yang menyembunyikan perasaannya. Misalnya
sepertinya mungkin.
Mengambil tinta dan selembar kertas dari dalam tas. Hinata menulis
sesuatu dan nyamasukkan ke dalam kotak yang nyaletakkan di sebelah kanannya. Hinata
melirik jam tangannya, sudah hampir malam. Langit mulai berhiaskan awan gelap. Hinata
harus cepat pulang sebelum ayah mengomel panjang lebar. Em… maksudnya
menasehatinya agar tak pulang malam. Nyarasa Hinata harus memikirkan sebuah
alasan juga.
Hinata bangkit perlahan, menaruh kotak di pangnyaan Naruto dan
mengatakan, “Untukmu, nyarasa Hinata tidak akan membutuhkannya lagi.” Sambil
berjalan mundur ke belakang, Hinata berteriak, “Jangan dibuka ya, buka saat kau
sudah sampai di rumah.” Ucapnya kemudian berbalik badan dan melambaikan tangan
tanpa menengoknya lagi.
Naruto yang ditinggalkan Hinata hanya memandang ke arah kotak dan
ke arah Hinata yang mulai menjauh. Ia memandang kotak dengan rasa penasaran,
sebenarnya isinya apa, bukankah benda ini yang dipegang Hinata di jembatan
tadi, pikir Naruto dalam hati.
.
.
.
Ketika sampai di rumahnya, Naruto membuka kotak yang diberi oleh
Hinata. Ia buka kotak persegi itu perlahan. Kotak itu mirip kotak untuk
menyimpan sepatu, hanya saja dilapisi kertas berwarna dan bergambar. Ketika ia
selesai membuka mata, bola matanya melebar. Sepertinya ia banyak terkejut hari
ini. Tapi jujur karena suatu hal, hari ini menjadi begitu menyenangkan,
pikirnya dalam hati.
Kotak itu kosong, hanya ada secarik kertas. Naruto mengangkat
kertas itu untuk dibaca. Tulisan tangan Hinata. Berisi, “ Maaf tidak memberimu apa-apa. Lain kali, kalau kau menolongnya dari
percobaan bunuh diri lagi, Hinata akan mentlaktirmu makan.”
Dibawahnya ada tulisan lagi. “p.s
: Jangan dibuang ya, kotak ini mahal. Hinata beli di toko depan sekolah.”
Naruto menggeleng tidak percaya.
[.]
Hinata memandang sebuah benda di depannya dengan dalam. Tak nyaperdulikan
adiknya satu-satunya sedang memandangnya aneh dari ujung pintu kamarnya yang
terbuka. Hinata tak peduli kalau Hanabi berkata Hinata gila atau apa karena
melihatnya bermonolog sendiri di depan sebuah benda. Benda itu sebuah bunya. Bunya
harian yang berisi perasaannya selama ini, yang tadinya akan Hinata letakkan di
dalam kotak yang nantinya akan Hinata buang. Tapi tidak jadi karena ada Si
Rambut Pirang Jabrik itu. Hinata rasa, dia harus bertanggung jawab karena
membuatnya gagal. Gagal dalam membuang perasaan menyesakkan tapi menyenangkan
ini. Setelah lulus sekolah, Hinata mungkin tidak akan melihatnya lagi. Hinata
akan merindukannya. Uzumaki Naruto itu.
Ini belum berakhir, percayalah. Ini baru saja dimulai. Hinata pikir
mulai sekarang, Hinata akan berusaha lebih keras. Ketika seseorang yang
membuatmu merasakan suatu rasa bernama cinta mendatangimu tanpa diminta.
Bagaimana kau dapat menolaknya? Ketika ia malah tanpa sadar membuatnya memberi
sebuah kesempatan padanya dan juga pada dirinya sendiri? Hinata harus berusaha
dan percaya bahwa yang namanya asa itu selalu ada asalkan kita tidak menyerah.
[.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar