My Partner
A fanfiction about Anezaki Mamori and Hiruma Youichi
.
.
Seorang
gadis berambut pendek sebahu tengah berlari menaiki tangga. Nafasnya cepat
namun teratur. Mata birunya memandang sekeliling untuk mencari seseorang yang
dirinya ingin temui. Seseorang yang selalu saja membuat dirinya khawatir tanpa
dia sadari.
Mamori —nama
gadis itu— berhenti di sebuah ruangan. Ruangan itu nampak sepi namun masih ada
secercah cahaya disana. Matahari senja itu telah turun keperaduan. Petang
datang menghadang. Itulah yang membuat ruangan itu sepi tanpa seorangpun
disana. Kelas telah selesai satu jam yang lalu. Para mahasiswa Saikyodai
nampaknya melewatkan hari ini dengan pulang bergegas ke rumah dengan cepat.
Hanya terlihat beberapa orang yang masih berada di wilayah kampus.
Mamori
membuka pintu ruangan itu sepelan mungkin. Tak ingin membuat seseorang yang
berada di dalam ruangan itu terganggu. Meski Mamori meyakini bahwa tak akan ada
orang yang berada di dalamnya. Tetapi Mamori tak ingin melewatkan kemungkinan
sedikitpun. Kemungkinan bahwa seseorang yang Mamori cari berada disana.
Mamori
melangkah pelan, memandang ke depan tanpa mencoba berkedip sementara waktu.
Satu hal yang dia yakini dengan mata kepalanya sendiri saat ini dia melihat
seseorang duduk disana, di bangku kuliah. Dia tampak sendirian dan tenang.
Sebuah laptop tepat berada di depannya.
Mamori
mendekat ke arah orang itu. Setelah jaraknya dengan orang itu kurang lebih dari
setengah meter. Mamori tersenyum tipis. Mamori menemukan seseorang yang dia
cari saat ini. Benar, itu dia. Tidak salah lagi. Siapa lagi orang yang
mempunyai rambut pirang dengan piercing seperti itu? Atau dengan sikap bad
boynya itu yang walaupun sekarang tidak kelihatan. Tidak ada, tidak ada lagi
selain Hiruma Youichi.
Mamori
melangkah lebih dekat lagi. Sekarang baru dia ketahui alasan mengapa ruangan
ini tampak sepi. Juga alasan mengapa tak ada balasan akan langkah yang Mamori
jejaki beberapa detik yang lalu. Dari jarak kurang lebih 30 centimeter, Mamori
melihat bahwa pemuda itu sedang menutup mata. Nafasnya teratur. Tampak dari
matanya bahwa dia terlihat lelah. Laptop di depannya yang masih menyala
menunjukkan bukti penyebab kerutan di wajah tampan pemuda itu.
Tampan? Iya,
tampan. Sadar akan pemikirannya barusan, pipi Mamori memerah. Pompa darahnya
dalam sekejap sepakat untuk berkumpul sebentar untuk berada di salah satu
bagian wajahnya trrsebut. Kemudian Mamori lebih memilih menjauh dan duduk di
samping Hiruma. Mamori melatakkan kepalanya di depan meja. Kedua tangannya dia
jadikan bantalan kepala.
Seperti
Dejavu, rasanya Mamori pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Namun
dalam tempat dan waktu yang berbeda.
Mamori
memejamkan matanya sebentar. Dia hirup oksigen dalam-dalam dan mengeluarkannya
perlahan. Dia miringkan kepalanya kemudian Mamori membuka matanya hanya untuk
melihat pemuda itu tepat berada disampingnya. Dengan jarak sedekat ini, dia
pandangi wajah Hiruma dalam-dalam. Dari mulai poni rambut yang menghalangi
wajah Hiruma yang tertidur bersandarkan pada bangku sehingga dia akan
terantuk-antuk apabila dia tidak tidur dengan tenang. Melihatnya Mamori
benar-benar tak tega.
Mamori
bangkit dari posisinya tadi lalu menggeser letak laptop sebelum mematikannya.
Tentu sudah dia pastikan bahwa semua dokumen tersimpan atau nyawanya akan
terancam. Mamori melepas jaket yang dikenakannya lalu melipatnya rapi dan
menaruhnya di depan meja. Mamori menggapai kepala Hiruma dengan pelan. Dengan
kedua tangannya yang berada di masing-masing sisi wajah Hiruma, Mamori menaruh
kepala Hiruma pada jaketnya. Tak lupa dia miringkan wajah Hiruma agar menghadap
sisi kanan. Melihat posisi tidur Hiruma yang nampak lebih nyaman. Untuk kedua
kalinya, Mamori tersenyum tipis.
Lagi, Mamori
meletakkan kepalanya di meja. Tak lupa dia miringkan kepalanya ke sisi kiri.
Kali ini tanpa kedua tangannya yang menjadi bantalan kepala. Dia tempelkan
langsung pipinya ke meja. Kali ini jarak wajahnya sangat dekat dengan Hiruma.
Mamori dapat dengan leluasa memandang Hiruma.
Mamori
melihat lagi wajah di depannya itu. Dia kemudian berniat meneruskan apa yang
tadi tengah dilakukannya namun tertunda. Menelusuri wajah Hiruma. Meski dia
akui bahwa dia malu melakukan hal ini namun Mamori tahu bahwa kesempatan
seperti ini tidak datang untuk kedua kali.
Mamori
melihat alis mata Hiruma, lalu turun ke arah telinga Hiruma yang nampak sedikit
panjang seperti telinga Elf. Kemudian begeser ke hidung Hiruma. Mamori
memandangnya dalam. Dia merekamnya dalam ingatan jangka panjang. Memunculkan
memori itu ketika dibutuhkan.
Mamori
memandang Hiruma yang tertidur dengan tenang. Wajahnya nampak damai. Tak
telihat bekas-bekas kekejaman yang telah Hiruma lakukan. Andai saja hal ini
berlangsung juga saat wajah itu membuka matanya. Namun sepertinya itu mustahil.
Tetapi Mamori mengetahui bahwa bukan tanpa alasan Hiruma melakukan hal-hal aneh
ataupun jahat itu. Mamori tahu Hiruma akan selalu mempunyai alasan dibalik
semua yang dilakukannya. Mamori percaya pada Hiruma meski terkadang Mamori
merasa hal yang dilakukan Hiruma terkadang di luar batas kewajaran atau aturan.
Namun jika itu masih dalam aturan, maka itu bukan Hiruma namanya. Mamori
tersenyum kecil.
Namun senyum
itu tak bertahan lama. Dia pandangi wajah itu dalam lagi. Dia mungkin tak akan
lagi melihat wajah itu untuk waktu yang sangat lama. Kabar yang dia terima
kemarin lusa benar-benar mengejutkannya. Namun harus dia terima dengan lapang
dada.
Dalam kepala
Mamori saat ini, ada banyak hal yang ingin Mamori tanyakan. Ada banyak hal yang
masih belum sempat dia utarakan pada pemilik wajah di depannya ini. Sungguh,
Mamori tentu saja berharap bahwa Hiruma bahagia dengan pilihannya. Tapi Mamori
juga berharap bahwa dia akan terus ada dalam jalan yang dituju Hiruma.
Mamori
menarik napas dalam. Hal yang belum sempat dia utarakan atau mungkin tidak akan
bisa dia utarakan itu juga termasuk tentang perasaannya. Rasa aneh yang
menjalar ke hatinya tiap kali bersama Hiruma. Rasa hangat yang ada setiap kali
Hiruma menolongnya. Juga rasa sesak yang dirasakannya saat ini.
Mamori
bahkan tidak tahu sejak kapan dia memiliki perasaan seperti ini. Semuanya
mengalir begitu saja. Hari-hari yang dia lalui selama ini. Selama bersama
Hiruma. Mamori tidak benar-benar menyadarinya kecuali sampai saat ini. Sampai
hari ini.
Sejak kapan
Hiruma menjadi penting dalam kehidupannya? Sejak kapan Mamori selalu ingin Hiruma
berada dalam langkah yang dilaluinya? Sejak kapan pemuda itu membuatnya gelisah
tak menentu seperti ini? Mamori tak mengerti.
Mamori
menghela nafas lelah. Hal-hal seperti ini cukup membuat kepalanya terasa berat.
Mamori melihat jam yang berada di tangannya. Kemudian memutuskan untuk sebentar
saja memejamkan matanya. Benar sebentar saja. Mungkin satu jam. Dia tarik
nafasnya dalam hitungan satu,dua, tiga, lalu pergi menuju alam mimpi. Tanpa
mengetahui bahwa seseorang yang dia tatap sedari tadi akhirnya membuka matanya
tanpa sepengetahuannya.
000
Mamori
memandang punggung yang berada di depannya. Punggung yang terlapisi jaket
berwarna hitam. Sedang jaket milik Mamori yang berwarna putih telah
dikenakannya sendiri. Mamori berjalan lamat-lamat. Memang sengaja dirinya
lakukan. Bukti kekesalannya pada pemuda berambut pirang itu. Tidak mau tahu
kalau seseorang yang dia pandangi sedari tadi merasakan tatapannya yang menusuk
seperti menghantarkan aliran listrik.
Hiruma
berhenti berjalan. Membuat Mamori juga ikut menghentikan langkahnya. Hiruma
berjarak beberapa langkah di depannya. Mamori harus mendongak untuk melihat
wajah itu. Hiruma sepertinya merasakan tatapan yang diberikan kepadanya. Dia
membalikkan tubuhnya.
"Kau
berjalan seperti siput! Berjalanlah lebih cepat lagi Manager Sialan,"
ucapnya yang lebih seperti perintah.
Namun satu
kalimat yang dilontarkannya tak urung membuat Mamori ingin berjalan dengan
cepat. Tubuh tegap pemuda itu berbalik lagi untuk mulai berjalan. Namun
langkahnya terhenti sesaat setelah dia rasakan bahwa gadis yang berjalan
dengannya malam ini tak kunjung bergegas. Wajahnya kemudian menengok ke
belakang.
"Apa
yang kau tunggu, Manager Sialan," ujarnya dengan muka kesal. Namun
setelahnya berbalik untuk tersenyum kecil. Kecil sekali sampai tak kelihatan di
malam ini. Dia hanya suka dengan respon yang diberikan Managernya saat ini.
Mamori
menggelembungkan pipinya, tanda bahwa dia kesal. Mamori memandang Hiruma yang
kali ini berjalan dengan pelan. Bagaimana Mamori dapat mensejajarkan langkahnya
dengan kaki panjang yang dimiliki Hiruma? Oh, Ayolah. Tapi Mamori tahu itu
hanya sebuah alasan yang diberikan untuk dirinya sendiri.
Mamori lalu
berjalan dengan cepat. Dalam sekejap dia sudah berdiri di samping Hiruma.
" Salah
siapa kau tidak membangunkanku, Hiruma-kun. Seharusnya kau membangunkanku jika
kau bangun lebih awal." Mamori mengungkapkan semua kekesalannya.
Mamori
melirik Hiruma dari sudut matanya. Dapat dia tangkap raut wajah datar yang
tertera disana. Sejujurnya, Mamori tidak benar-benar kesal dengan Hiruma, dia
tidak marah. Mamori hanya merasa heran. Dia bertanya-tanya dalam hati. Sejak
kapan Hiruma bangun dari tidurnya saat itu? Berapa lama Mamori tertidur? dan
bagaimana caranya pintu ruangan di kampus belum terkunci padahal sudah malam? Untuk
pertanyaan terakhir itu sepertinya Mamori tahu jawabannya.
Mamori
melirik jam yang tertera disana. Hampir pukul sepuluh malam. Tadi dia dan
Hiruma naik bus dan sekarang sedang berjalan menuju rumah Mamori. Mamori ingin
bertanya mengenai mengapa Hiruma mengantarkannya ke rumah padahal arah rumah
Mamori dan Hiruma benar-benar berbeda. Tapi Mamori tak mendapat jawaban yang
memuaskan. Beberapa menit Mamori telah sampai di depan rumahnya. Hiruma hendak
berbalik pergi sebelum mendengar suara Mamori.
"Hiruma..
" panggil Mamori lirih namun masih terdengar jelas di keheningan malam.
"Kau
benar-benar harus pergi?" tanyanya lagi.
"Keh,
kenapa? Apa kau nantinya akan merindukanku Manager Sialan?" tanyanya
menggoda.
Dalam
sekejap wajahnya tepat berada di depan Mamori. Menundukkan badannya agar setara
dengan Mamori. Namun dia terkejut mendapati wajah serius yang ditunjukkan gadis
itu. Mamori tak menjawab. Ingin sekali dia mengangguk namun lehernya serasa
kaku. Pandangannya serasa terjerat pada lensa Hiruma.
"Mengapa
menjawab pertanyaan dengan balik bertanya?" tanya Mamori. Akhirnya dirinya
hanya dapat menjawab pertanyaan Hiruma dengan kalimat seperti ini.
Hiruma
menjauhkan wajahnya dan tanpa disangka menepuk kepala Mamori. Satu kali, dua
kali, tiga kali tepukan, mungkin. Mamori tak benar-benar menghitungnya dalam
hati atau bisa dibilang dia tak dapat berkonsentrasi kali ini. Dia hanya ingin
mendengar kata-kata yang akan dilontarkan oleh Hiruma. Entahlah Mamori hanya
merasakan sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.
"Kau tidak
perlu khawatir. Khawatirkan saja Si Chibi." Katanya tersenyum kecil lalu
berbalik pergi. Dia lambaikan sebelah tangannya tanpa menengok ke belakang
lagi.
Benar, sejak
dulu memang Sena yang selalu dia khawatirkan. Juga karena Senalah dia masuk ke
Klub Amefuto. Tapi kali ini berbeda. Sena yang sekarang sudah cukup dewasa dan
mempunyai keluarga yang akan selalu mendukung dan mengkhawatirkannya. Tapi
Hiruma, Mamori selalu melihatnya sendirian. Walau terkadang dia memang
dikelilingi teman-temannya. Hiruma memang selalu bersikap keras dan tegar. Tapi
Mamori ingin Hiruma dapat bergantung pada seseorang yang berada didekatnya.
Meskipun itu sangat sulit.
000
Mamori
berjalan di tepi sungai. Kemudian langkahnya terhenti untuk memandang sebuah
mahakarya yang selalu tersedia di setiap senja yang menemani. Mamori melihat
biar sinar yang terlihat indah memantul pada air di permukaan sungai itu.
Kilaunya memanjakan mata. Terdapat beberapa burung yang bermain-main dengan air
yang tenang namun terlihat cukup dalam itu. Cukup dalam untuk menggali ingatan
Mamori pada sore itu. Beberapa tahun yang lalu.
Di tepi
sungai, seorang gadis terlihat menunduk. Dia pandangi sepatu hitamnya. Tas yang
terselip diantara bahunya, dia biarkan jatuh di atas tanah. Tiba-tiba saja
bahunya bergetar. Matanya memanas. Angin sore itu mengibarkan surainya yang
pendek. Senja hari itu tak lagi dapat menenangkan hatinya. Kabar yang dia
terima benar-benar memukul telak ulu hatinya.
"Hiks..
Hiks.." Mamori ingin menjerit namun rasanya tak mampu. Dia jatuhkan
dirinya ketika lututnya tak lagi mampu menopang dirinya. Duduk bersimpuh
sendirian.
Setelah
kepergian pemuda itu ke Amerika beberapa minggu yang lalu. Mamori juga tak
berharap banyak jika pemuda itu akan mengabarinya terlebih dahulu sebelum kembali
ke tanah air. Dia sadar bahwa Mamori mungkin bukan siapa-siapa bagi pemuda itu.
Tapi Mamori harap, dia tak akan mendapat kabar yang membuat harinya buruk.
Namun hari
yang dia tunggu-tunggu telah sirna. Tepat beberapa hari yang lalu, pemuda itu
harusnya pulang. Namun pesawatnya jatuh dan terbakar. Para penyelam dan tim
penyelamat mencoba yang terbaik untuk menemukan dan memberi kabar pada keluarga
korban. Namun sampai hari ini, tak ada nama Hiruma Youichi sebagai korban yang
ditemukan. Apa yang terjadi padanya? Mamori selalu bertanya-tanya dalam
hatinya. Kepalanya selama beberapa hari itu hanya terisi nama Hiruma, Hiruma,
dan Hiruma. Tidak ada hal lain selain dirinya.
Suara desing
kereta di dekat jembatan yang berada di sungai mengantarkan kembali kenyataan
yang terjadi pada hari ini. Sudah empat tahun berlalu sejak kejadian itu.
Sampai kapanpun Mamori menunggu orang itu. Jika pada kenyataannya orang itu
tiada maka Mamori tidak akan dapat menemuinya kan? Mamori menghela nafasnya.
Tapi entah
kenapa, Mamori ingin melihat lebih dekat sungai itu. Maka dari itu, dia
menuruni anak tangga yang menjadi jalan untuk menuju sungai. Dia menuruninya
dan sekarang berada di dekat sungai itu. Dia pandangi sungai itu yang terdapat
bayangannya sendiri. Dia pandangi lebih dalam wajah yang tertera di dalam debur
ringan arus sungai itu. Pandangannya kosong.
"Kau
mau bunuh diri ya?"
Suara
seseorang dari belakangnya sedikit mengejutkan Mamori. Dia balik badannya untuk
melihat lebih jelas seseorang itu.
"Kalau
mau bunuh diri, jangan libatkan aku." Orang itu mengatakannya dengan
keras. Topi yang dikenakannya menutup hampir setengah wajahnya. Angin bertiup
mengibarkan surai orang itu.
Surai...
Mengingat kata itu membuat Mamori menyipitkan matanya. Beberapa detik kemudian,
matanya melebar. Surai orang itu pirang. Pirang itu mengingatkannya pada
Hiruma. Mungkinkah?
"Ada
apa, Manager Sialan?" orang itu berkata sambil melepas topinya dengan
tangan kanannya. Dia melangkah menuruni anak tangga lalu berhenti disana.
Mamori
melotot. Dia terkejut tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Dia ingin
berkata-kata namun tidak bisa. Suara itu... suara yang dirindukannya selama
ini. Dan wajah itu, Mamori ingin menyentuhnya. Mamori tidak salah lihat kan?
Mamori tidak dalam delusinya kan? Mamori melangkah maju. Masih tidak percaya,
dia berjalan pelan. Sedang orang itu tersenyum kecil.
Mamori
melangkah maju menaiki anak tangga. Dia berjalan pada anak tangga yang lebih
tinggi dari Hiruma sehingga tinggi mereka berada pada jarak yang kurang lebih
sepadan. Mamori mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh pipi Hiruma. Hiruma
yang disentuh hanya mengerutkan alis matanya.
Tuhan... ini
nyata. Orang di depannya benar-benar seseorang yang selama ini dia rindukan.
"Yokatta...
Yokatta ne," ucap Mamori dengan menunduk.
Butiran air
mata dengan perlahan menuruni pipinya lalu terjatuh. Kemudian dalam sekejap
mata, Mamori merasakan pelukan seseorang. Hiruma memeluknya ringan,
melingkarkan pinggangnya dengan tangan kirinya. Topi yang dia pegang dengan
tangan kanannya sudah terjatuh di dekat kakinya. Tangan kanannya dia gunakan
untuk menepuk lembut rambut Mamori yang telah memanjang.
Mamori
menenggelamkan wajahnya pada bahu Hiruma. Tidak peduli tangisnya membasahi baju
Hiruma. Dia hanya ingin merasakan keberadaan orang itu. Keberadaan orang itu
yang menenangkan dirinya.
Hiruma
menjauhkan dirinya untuk mengambil topi yang berada di kakinya. Mengambil topi
itu kemudian mengenakannya pada Mamori. Memakaikannya hampir membuat wajah
Mamori tertutupi sebagian.
"Wajahmu
jelek, Manager Sialan. Jangan perlihatkan wajah seperti itu lagi padaku
nanti." Hiruma berkata sambil menaiki tangga. Kedua tangannya dia selipkan
pada saku celananya.
Mamori tidak
mengangguk, tidak juga menggelengkan kepalanya. dia memandangi dalam-dalam
punggung Hiruma yang akan pergi berjalan. Hiruma yang sudah berada di jalan
utama menengokkan kepalanya memandang wajah Mamori. Dia menghela nafas.
"Manager
Sialan..." Hiruma mengulurkan sebelah tangannya. Mamori ingin menyambut
uluran tangannya namun tertahan dengan kalimat yang kemudian dikatakan Hiruma.
"Ayo
sekali lagi, jadi partnerku," Lanjutnya.
"Partner
Hidup?" tanya Mamori pelan.
Hiruma tanpa
sadar mengangguk. Lalu beberapa detik kemudian wajahnya pucat.
"Eh?"
Hiruma terkejut namun dengan segera mengatur ekspresinya kembali.
Mamori
tertawa renyah. Tidak disangkanya Hiruma dapat dia kelabui. Mamori bahkan tak
menyadari sejak kapan tangisnya berhenti. Dia juga tak sempat malu akan
kelakuannya.
"Aku
bercanda," katanya tersenyum lalu berjalan mendahului Hiruma.
Hiruma dapat
melihat ada getir dalam nada suaranya. Ada kelabu dalam mata birunya. Ada
senyum tak lengkap yang terlukis dibibirnya. Dia melihat punggung Mamori lalu
melihat tangannya. Tangan yang tadi sempat diulurkannya namun belum sempat
tersambut. Hiruma merasa kosong dalam genggamannya.
"Kenapa
tidak, Mamori Sialan?"
"Bukan
ide yang buruk," kata Hiruma lalu mensejajarkan langkahnya dengan Mamori.
"Eh?"
Mamori mendongakkan kepalanya untuk melihat Hiruma. Mamori tidak mengerti.
"Asal
kau tidak keberatan anak-anakmu jadi iblis nantinya," ucapnya lalu
tersenyum lebar. Menampakkan gigi-giginya yang runcing. Dia seperti menemukan
satu tujuan yang baru.
Satu detik,
dua detik, tiga detik... otak Mamori berproses, hanya untuk menemukan jawaban
atas kalimat Hiruma. Namun pada akhirnya pipinya memerah. Mamori baru menyadari
sekarang bahwa pertanyaannya tadi lebih seperti sebuah lamaran. Oh...Tuhan,
harus ditaruh dimana wajah Mamori sekarang.
Dalam
langkah pelannya, ditemani semilir angin yang menemani mereka berdua. Mamori
mengangguk. Dia ingin sekali lagi menjadi partner dari orang di sampingnya ini.
Langkah mereka yang sejajar menawarkan berbagai hal. Salah satunya satu tujuan
yang telah tercapai. Senja hari itu, menghantarkan hangat pada setiap sel
ditubuh mereka.
The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar