Rabu, 17 Oktober 2018

Hold My Hand


Hold My Hand
.
.
.
Kenangan baik akan selalu diawali dengan pertemuan baik. Pertemuan-pertemuan yang menyenangkan itu akan membentuk serangkaian peristiwa. Peristiwa itu yang kemudian akan membekas, membuatnya menjadi segenggam kenangan. Dan kenangan itulah yang akan berdiam diri disudut organ bernama otak. Entah itu kenangan baik ataupun buruk, keduanya berebut untuk memiliki tempat. Kenangan yang paling banyak menumpuk itulah yang akan menuntunku membentuk kepribadian. Pribadi itulah yang sekarang sedang aku cari. Orang-orang menyebutnya jati diri. Aku berharap akan menemukannya sesegera mungkin. Atau seperti itulah harapanku beberapa menit yang lalu.

Sesaat sebelum aku menutup buku tulisku yang penuh dengan kalimat harapanku. Sebelum teriakan ayahku yang menyuruhku untuk turun menemuinya di lantai pertama karena kamarku berada di lantai dua.

Aku menuruni anak tangga satu per satu. Teriakan ayah biasanya adalah pertanda. Pertanda hal penting akan terjadi. Entah itu baik atau buruk untukku. Aku hanya dapat menduga-duga. Aku berharap akan ada hal  baik yang datang. Namun seperti biasanya dugaanku benar-benar melenceng jauh dari kenyataan.

Saat ayah memberiku tatapan matanya yang dalam juga memelas. Ketika dia mulai menarik napas dan membuka mulutnya perlahan. Aku hanya mampu terpaku melihat bola matanya. Ketika ayah mengatakan kalimatnya, aku hanya mengangguk.  Mataku mengikuti langkah kaki ayah yang menjauh keluar dari rumah. Setelahnya aku berkedip dan otakku baru menyampaikan pesan yang diterimanya. Aku kemudian tersadar dari keterpakuan. Aku menghembuskan nafas panjang dan melangkah menaiki tangga dengan lemas sampai ketika aku menemukan kamarku yang kusayangi. Aku membukanya dan menutup pintu itu dengan keras.

Aku membaringkan diri di kasurku dengan posisi terlentang. Menatap langit-langit putih kamar yang sejak aku kecil warnanya selalu sama.

“Kita akan pindah, Rere. Ayah minta, kamu kemasi barang-barangmu mulai sekarang.” Kalimat yang dilontarkan ayah masih mendengung di kepalaku. Kalimat itu seolah diputar beberapa kali seperti kaset yang rusak. Pindah, pindah, dan pindah. Hanya satu kata yang teringat dengan jelas dalam kepalaku.

Aku kemudian berguling menghadap kanan. Ku lihat boneka burung hantuku yang terpajang manis. Ku tatap boneka itu. Matanya seolah bertanya, apa kau akan membuangku nantinya? Tentu saja tidak, jawabku dalam hati kemudian mulai menariknya ke dalam pelukanku. Boneka ini adalah salah satu benda kesayanganku. Aku kemudian melirik laci kecil di samping tempat tidurku itu. Di atasnya terdapat buku tulisku yang penanya masih bertengger dengan manis. Kuambil buku itu, membukanya dan kemudian mulai membacanya perlahan. Kemudian dengan pena, ku coret semua tulisan tentang harapan masa depan yang telah kurencanakan.

Kutulis dengan rangkaian kata yang baru, selamat tinggal dan selamat datang perjalananku yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terrarium