Hold My Hand
.
.
.
Kenangan baik akan selalu diawali
dengan pertemuan baik. Pertemuan-pertemuan yang menyenangkan itu akan membentuk
serangkaian peristiwa. Peristiwa itu yang kemudian akan membekas, membuatnya
menjadi segenggam kenangan. Dan kenangan itulah yang akan berdiam diri disudut
organ bernama otak. Entah itu kenangan baik ataupun buruk, keduanya berebut
untuk memiliki tempat. Kenangan yang paling banyak menumpuk itulah yang akan
menuntunku membentuk kepribadian. Pribadi itulah yang sekarang sedang aku cari.
Orang-orang menyebutnya jati diri. Aku berharap akan menemukannya sesegera
mungkin. Atau seperti itulah harapanku
beberapa menit yang lalu.
Sesaat sebelum aku menutup buku
tulisku yang penuh dengan kalimat harapanku. Sebelum teriakan ayahku yang
menyuruhku untuk turun menemuinya di lantai pertama karena kamarku berada di
lantai dua.
Aku menuruni anak tangga satu per
satu. Teriakan ayah biasanya adalah pertanda. Pertanda hal penting akan
terjadi. Entah itu baik atau buruk untukku. Aku hanya dapat menduga-duga. Aku
berharap akan ada hal baik yang datang.
Namun seperti biasanya dugaanku benar-benar melenceng jauh dari kenyataan.
Saat ayah memberiku tatapan
matanya yang dalam juga memelas. Ketika dia mulai menarik napas dan membuka
mulutnya perlahan. Aku hanya mampu terpaku melihat bola matanya. Ketika ayah
mengatakan kalimatnya, aku hanya mengangguk. Mataku mengikuti langkah kaki ayah yang
menjauh keluar dari rumah. Setelahnya aku berkedip dan otakku baru menyampaikan
pesan yang diterimanya. Aku kemudian tersadar dari keterpakuan. Aku menghembuskan
nafas panjang dan melangkah menaiki tangga dengan lemas sampai ketika aku
menemukan kamarku yang kusayangi. Aku membukanya dan menutup pintu itu dengan
keras.
Aku membaringkan diri di kasurku
dengan posisi terlentang. Menatap langit-langit putih kamar yang sejak aku
kecil warnanya selalu sama.
“Kita akan pindah, Rere. Ayah
minta, kamu kemasi barang-barangmu mulai sekarang.” Kalimat yang dilontarkan
ayah masih mendengung di kepalaku. Kalimat itu seolah diputar beberapa kali
seperti kaset yang rusak. Pindah, pindah, dan pindah. Hanya satu kata yang
teringat dengan jelas dalam kepalaku.
Aku kemudian berguling menghadap
kanan. Ku lihat boneka burung hantuku yang terpajang manis. Ku tatap boneka
itu. Matanya seolah bertanya, apa kau akan membuangku nantinya? Tentu saja
tidak, jawabku dalam hati kemudian mulai menariknya ke dalam pelukanku. Boneka
ini adalah salah satu benda kesayanganku. Aku kemudian melirik laci kecil di
samping tempat tidurku itu. Di atasnya terdapat buku tulisku yang penanya masih
bertengger dengan manis. Kuambil buku itu, membukanya dan kemudian mulai
membacanya perlahan. Kemudian dengan pena, ku coret semua tulisan tentang
harapan masa depan yang telah kurencanakan.
Kutulis dengan rangkaian kata
yang baru, selamat tinggal dan selamat datang perjalananku yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar