Don’t Fall in Me
Disclaimer
: Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Kriiing....
Bunyi jam beker menggema di kamar tidurku, membuatku mencari-cari
untuk mematikannya tanpa menjatuhkan segala benda yang berada di sekitarku.
Setelah mematikan alarm itu, aku mengerjapkan mataku dengan pelan. Kucoba
mengumpulkan separuh nyawaku yang sepertinya masih berada di alam bawah
sadarku. Memandang langit-langit kamarku yang masih gelap tanpa ada cahaya
lampu yang menyinari. Kebiasaanku saat tidur di malam hari.
Aku bangun dan melangkah pelan ke arah jendela. Kubuka tirai yang
menyelimuti jendela itu hingga terlihat pemandangan luar yang masih tampak
gelap. Aku berjalan ke arah lemari. Kucari handuk dan pakaian untuk ganti nanti
setelah mandi. Di dalam kamar tidurku tidak ada kamar mandi. Kamar mandi terletak
di depan kamar tidurku. Aku bergegas keluar kamar. Keramas di pagi hari mungkin
dapat menghilangkan rasa kantukku.
PLOK! Aku mendengar sesuatu terjatuh tepat di atas kepalaku setelah
membuka pintu kamar mandi. Tangan kananku menggapai untuk mengambil sesuatu
yang belum kuketahui namanya. Tangan kananku memegangnya, kurasakan sesuatu itu
bergerak-gerak mencoba melepaskan diri. Dengan jarak tiga puluh centimeter dari
wajah, ku lihat sesuatu itu yang ternyata adalah seekor cicak. Dan aku memegang
ujung ekornya yang mulai bergerak-gerak meronta meminta untuk dilepas.
Kujatuhkan cicak itu tanpa diminta dan ia bergegas kabur melarikan diri.
Aku tidak takut pada cicak. Hanya saja geli melihatnya berada di
genggaman tanganku. Aku menghela nafas panjang setelah sekitar satu menit tetap
terdiam di tempat. Baru teringat, kalau aku harus mencuci rambutku untuk kedua
kalinya menghilangkan bau yang tersisa atas insiden kecil tadi. Bagus, cicak
menambah pekerjaannya di pagi hari. Kata orang, jatuh tertimpa cicak adalah
tanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Oh iya satu lagi, menghela nafas akan
memperpendek umur seseorang. Oh lupakan hal itu, terkadang otakku sering
menyimpan hal yang tidak penting.
Setelah acara mandi selesai, aku mematut diri di depan cermin.
Kulihat tampilan bayang seorang gadis yang menguncir rambut panjangnya, poni
rambutnya ia jepit ke belakang menggunakan jepit rambut. Seragam sekolah yang
tampak pas di badan dan rok kurang dari lima centimeter berada diatas lutut
menghiasinya. Aku tersenyum, tampak puas dengan penampilanku hari ini. Segera setelahnya,
ku ambil tas sekolah dari atas meja belajarku. Juga tak lupa, sebuah jaket yang
akan kugunakan pagi ini.
Aku membuka pintu kamar dan bergegas ke ruang makan. Ruang makan
dekat dengan dapur. Kulihat ada satu orang yang duduk di meja makan, dia adikku,
Hanabi. Usianya lebih muda 3 tahun dariku. Sekarang ini dia masih sekolah
menengah pertama tahun kedua. Ia hanya diam melihatku datang. Aku juga tak
berkata apa-apa padanya. Aku mengambil dua buah sandwich yang disediakan di
meja makan dan menaruhnya di kotak makan. Kemudian bergegas pergi ke depan
untuk memakai sepatu.
Di rumah ini aku tinggal berdua dengan adikku dan ayahku. Ayah
menyewa seorang pelayan yang akan datang setiap hari untuk menyiapkan makanan
dan membersihkan rumah tetapi akan pulang setiap sore. Berbicara tentang ayah,
ia tidak terlihat tadi saat di ruang makan. Aku pikir sudah tahu penyebabnya.
Sudah hal biasa untuk ayah tidak hadir saat sarapan di pagi hari. Juga bukan
sebuah kebiasaan untuk keluarga ini sarapan bersama. Mengenai ibu, ia sudah
tiada sejak Hanabi lahir. Perdarahan hebat setelah melahirkan menjadi penyebabnya.
Aku tidak mempunyai kenangan yang banyak mengenai ibu. Seingatku, dulu aku
lebih sering diasuh oleh pelayan yang ditugaskan menjagaku.
Aku duduk di depan teras rumah, memasang sepatu sekolah berwarna
hitam dan kaos kaki putih. Kukenakan jaket yang tadi kuambil dan mulai
melangkah pelan, pergi menuju sekolah. Aku berjalan pergi ke sekolah dengan
berjalan kaki. Butuh satu jam lamanya untuk sampai sekolah karenanya aku memilih
berangkat lebih awal. Aku menghembuskan nafasku pelan. Aku melihat salju yang turun perlahan. Aku
harap, aku tidak mati kedinginan sebelum sampai di sekolah.
[.]
Saat ini, aku sedang berada di koridor sekolah menuju kelasku untuk
mengambil nilai akhir ujian sekolahku atau mungkin melihatnya dulu di papan
pengumuman. Yap, mulai semester depan, aku akan naik ke kelas tiga. Aku
berharap, nilai ujianku tidaklah memuaskan. Aku berjalan dengan tegap ke depan.
Mulutku masih mengunyah permen karet rasa strawberry yang kukira sebentar lagi
tak berasa. Dan benar, setelah kukunyah beberapa kali, permen ini tak lagi ada
rasa.
Kakiku berhenti tepat di depan anak tangga pertama menuju lantai
dua. Kelasku berada di lantai dua. Namun ku urungkan berjalan lagi ketika ku
dengar derap langkah kaki seseorang menuruni tangga. Kemudian, aku bersembunyi
di bawah tangga, di balik dinding. Samar-samar aku mendengar percakapan dari
orang yang menuruni tangga.
“Aku tidak percaya, Si Hyuuga itu yang mendapat rangking satu.”
“Benar, jika hanya rangking satu di kelas, mungkin masih bisa
diterima. Tapi rangking satu dari satu angkatan di sekolah itu hal yang
mustahil di lihat dari sikapnya selama ini.”
“Apa mungkin ia mencotek saat ujian? Atau mengancam guru untuk
memberinya kunci jawaban? Aku tahu dia anak donatur sekolah, apa karena itu
guru bermurah hati padanya?”
“Jika benar itu yang terjadi, kita tidak bisa tinggal diam, Hotaru.”
Aku mengernyit, sepertinya aku pernah mendengar nama itu entah
dimana. Permen karet yang masih kukunyah dengan pelan kujadikan gelembung yang
kemudian pecah di bibirku. Sudah cukup mendengar percakapan tadi yang membuat
telingaku sedikit gatal. Aku baru berpikir untuk naik ke atas setelah
orang-orang itu pergi.
Untuk kedua kalinya, aku menghentikan langkahku untuk sekedar
melihat siluet dua orang tadi yang pergi berbelok ke arah kanan yang ternyata
dua orang perempuan. Aku tidak melihat wajah mereka, aku hanya melihat punggung
mereka. Baru saja, aku akan naik ke lantai namun ku urungkan niatku. Aku
berniat untuk mencari tempat sampah di sekitarku terlebih dahulu untuk membuang
permen karet yang sudah tak berasa yang berada dimulutku.
Namun baru sebentar aku berjalan, aku mendengar suara teriakan
seseorang. Kuurungkan niat awalku dan kemudian berjalan ke arah teriakan tadi
dengan perlahan. Aku melihat, ada seseorang yang terjatuh tepat di depan dua
orang yang tadi sempat ku lihat.
“Kau buta ya? Kalau jalan
pakai mata.”
“Gomen,” ucap seorang gadis yang terjatuh itu.
Dari jarak dua meter dari arah mereka, aku menghentikkan langkahku.
Berkali-kali hatiku mengatakan untuk tidak terlibat dengan hal-hal semacam ini.
Namun nyatanya saraf otonomku mengambil alih otakku, menggerakan salah satu
indera dan anggota tubuhnya.
“Hei,” teriakku mengalihkan perhatian mereka hingga mereka
berbalik menghadapku. Aku mendekat, dari jarak kurang dari satu meter lemparan
manis kuberikan pada mereka.
PLUK! Permen karetku menempel sebentar pada wajah dari salah
seorang tadi yang sempat membentak kemudian dengan cepat turun ke bawah, jatuh
mengenai lantai.
“Ah, my bad,” ucapku dengan
nada seperti menyesal. Benar, aku ingat wajah yang sedang menahan kesal itu,
dia teman satu kelasku dan yang satunya lagi sahabatnya.
Aku sudah bersiaga barangkali ada adegan seperti di film-film
dimana mereka saling menarik rambut satu sama lain. Tapi syukurlah, tidak
terjadi apa-apa, rambutku tetap selamat batinku berkata. Gadis itu menggeram
namun dengan segera mengajak temannya pergi. Aku punya perasaan aneh saat ia
pergi.
[.]
Perasaan aneh itu menjadi kenyataan. Gadis itu memang diam lalu
pergi sejak insiden itu terjadi. Namun sepertinya dia pergi ke ruang guru
sehingga aku dipanggil ke kantor guru saat ini. Dipanggil guru ke kantor
merupakan hal yang biasa bagiku. Satu kali, dua kali, tiga kali, tapi aku rasa
sudah lebih dari lima kali. Entahlah aku tak ingat. Guru wali kelasku melotot
padaku, hampir-hampir saja bola matanya keluar kalau saja ia tak sempat
mengedipkan matanya. Aku berdiri di depannya yang duduk di ruangannya. Kulihat
dari sudut bola mataku, ia menghela nafas panjang.
Guru laki-laki yang usianya sebaya dengan ayahku itu kulihat mulai
melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Sepertinya sedang menilai penampilanku
hari ini. Mungkin saja ia temukan keganjilan seperti waktu lalu dimana aku
mengecat rambutku, menggunakan sepatu bebas, menggulung lengan kemejaku atau
menggunakan sesuatu apapun itu yang bertentangan dengan peraturan sekolah. menggunakan tas Apa? Ucapku tanpa kata-kata.
Aku hanya mengatakannya lewat bahasa mata. Hari ini, aku hanya menggunakan
lensa kontak berwarna biru muda. Guru itu sepertinya mengerti dan mulai
menghela nafas lagi setelah memastikan aman atau tidak ada hal-hal yang
mengganggunya.
“Hinata, kau tahu—,” ucap guruku yang belum sempat bicara lebih
lanjut sudah kupotong kalimatnya.
“Tidak tahu,” jawabku cepat yang mendapat delikan mata dari sang
guru.
“Aku tahu kau anak donatur sekolah, nilaimu juga yang paling
tinggi, kau juga anak baik.”
“Terima kasih.” Aku menjawab dengan cepat. Lagi-lagi memotong
kalimatnya.
“Itu bukan pujian,” jawab guru itu cepat pula. Tangan kanannya
mengambang menunjukku dengan kertas karton panjang yang entah aku tidak tahu
didapatnya darimana. Kertas itu ia bentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk
gulungan. Sepertinya itu senjatanya untuk memukulku.
“ Tapi aku tidak tahu kenapa kau melakukan hal-hal yang tidak
berguna seperti saat ini. Karena itu, minta maaf pada orang yang bersangkutan
dan tulis dua puluh lembar surat permintaan maaf. Berikan padaku besok pagi dan
kuanggap semuanya tidak pernah terjadi.” Perintah sang guru mutlak.
“Aku tidak bersalah,” jawabku sambil menunduk. Takut-takut guru
wali kelasku itu akan memukulku dengan buku yang ia pegang, meskipun aku tahu
tidak akan sakit sekalipun dipukul menggunakan kertas.
“Hinata.” Guru itu mulai berbicara tegas. Sepertinya ia mulai kesal
dengan sikap membantahku.
“Aku tidak sengaja. Sudah aku bilang, aku hanya mencari tempat
untuk membuang permen karetku dan ia tepat dihadapanku menghalangi jalan.” Tak
kupedulikan pandangan beberapa guru yang ada di sekitar situ yang mulai merasa
terganggu dengan nada suaraku yang tinggi.
“Hinata,” teriaknya membuat pandangan beberapa guru yang ada disitu
“Aku tidak mau,” Jawabku mutlak, tetap gigih menolak keputusan yang
diberikan guru itu padaku. Dua puluh lembar hanya untuk seorang seperti mereka
yang tidak tahu sopan santun, yang salah satunya adalah anak kepala sekolah, aku
tidak akan mau melakukannya. Dan mulai berjalan pelan meninggalkan ruang guru.
“Hinata, kalau besok kau tidak melakukan seperti yang kuperintahkan,
kau akan diskors,” ucapnya diakhiri dengan ancaman.
“Terserah.” Aku membalikkan tubuhku sebentar untuk menjawab
kemudian berlalu pergi. Aku sudah bosan bernegosiasi. Terserah apa yang akan
dilakukan pihak sekolah.
Ini bahkan belum tengah hari ketika aku berjalan tak tentu arah di
jalanan setelah meninggalkan kawasan sekolah. Aku mengusap rambutku yang tak
gatal dengan sebelah tangan. Itu adalah keputusan terbodoh yang pernah
kulakukan, pergi sebelum negosiasi tercapai. Biasanya aku hanya akan
mendengarkannya dan melakukan seperti yang diperintahkan. aku pikir, aku akan
menyesali keputusanku ini.
Diskors juga adalah hal yang biasa bagiku. Aku hanya akan berangkat
sekolah seperti biasa tanpa ayah mengetahui bahwa aku diskors. Aku akan
berangkat setiap pagi dan berkeliling kota sebelum pulang pada waktunya pulang
sekolah. Hal itu juga yang akan kulakukan saat ini. Bulu kudukku meremang,
entah karena hawa dingin yang mulai menyentuh permukaan kulit yang bertugas
sebagai pertahanan utamaku atau entah karena aku merasakan firasat buruk.
[.]
Kubuka pintu pagar rumah yang
berbahan kayu dengan perlahan, memasukinya dengan hati-hati.
“Bagaimana dengan nilaimu?” Ayah bertanya dengan nada suaranya yang
datar seperti biasa. Ia berdiri di depan di depan pintu kamarku.
“Baik-baik saja.” Aku menjawab dengan menunduk memilih memandangi
kakiku, juga belum sempat membuka pintu kamar saat ini. Aku tak berani
menatapnya langsung. Aku hanya merasa kalau tatapan ayah berbeda dari biasanya.
Juga bukan hal yang biasa bagiku untuk ayah berbicara langsung dengan datang ke
kamarku seperti ini.
“Sepertinya memang baik.” Ayah melanjutkan kata-katanya sambil mengulurkan
tangannya dengan selembar kertas. Aku mengambil selembar kertas dengan
hati-hati yang ternyata berisi nilai ujianku.
“Bagaimana dengan diskorsmu?”
“Ba—“ untuk kedua kalinya, aku akan menjawab baik-baik saja sebelum
aku menghentikkan perkatakaanku setelah otakku memproses apa yang terjadi.
Ting! Seperti ada sinyal berbahaya yang mengingatkanku dengan
sebuah kebenaran yang menyakitkan. Ayah akhirnya mengetahuinya, mengetahui
tentang diskorsku entah darimana. Aku hanya diam membisu. Aku terdiam terpaku,
memutar otak mencari-cari tersangka dibalik semua ini.
“Pihak sekolah meneleponku, mengangguku yang sedang bekerja dengan hal
yang tidak bermanfaat seperti ini.” Suara ayah begitu tegas, membuatku diam
membisu saat ini.
Aku hanya bisa diam sambil mengeratkan genggaman tangan kiriku
sedang tangan kanan kugunakan untuk memegang selembar kertas tadi.
Aku diam, ayah pun tak berkata apapun. Setelah setengah menit
setelahnya ayah kemudian mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
“Kemasi barang-barangmu saat ini.” Aku mendongak kaget dengan kalimat yang ayah
ucapkan padaku. Aku ingin menanyakan sesuatu saat ini, namun seperti ada
sesuatu ditenggorokanku, membuatku sulit mengucapkan sesuatu, lidahku terasa
kelu. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidah ditelan kembali sebelum di
muntahkan.
“Ambil seperlunya dan taruh di koper. Aku akan menjelaskannya besok
pagi.”
Apa aku akan diusir dari rumah? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Sedang ayah pergi, meninggalkanku dengan ketidakpastiannya.
[.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar